Minggu, 31 Agustus 2008

Otitis Eksterna

OTITIS EKSTERNA
Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology - Head & Neck Surgery

KUNCI DIAGNOSIS
Otalgia, otorrhea, pruritus, penurunan pendengaran, riwayat paparan air .
Perih pada pinna dan canal; canal erythema, edema, dan debris purulent.
Kultur untuk kasus refrakter.

Pendahuluan
Otitis externa merupakan proses peradangan dan infeksi pada EAC (External Auditori Canal). Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus merupakan organisme yang paling sering ditemukan pada infeksi ini. Bakteri yang lebih jarang yang diisoloasi termasuk spesies Proteus, Staphylococcus epidermidis, diphtheroids, dan Escherichia coli. Otitis eksterna akibat jamur tidak dibahas pada artikel ini dan dijelaskan lebih lanjut di seksi lainnya (Otomikosis)

Pathogenesis
Pada stadium preinflamasi, telinga terpapar dengan faktor predisposisi, termasuk panas, kelembaban, luka (maserasi), absennya serumen, dan pH yang basa. Hal ini dapat menyebabkan edema pada stratum korneum dan oklusi pada unit apopilosebaseus. Pada stadium inflamasi, terjadi pertumbuhan bakteri, disertai dengan edema progresif dan nyeri yang semakin berat. Resolusi yang tidak sempurna atau inflamasi persisten selama lebih dari 3 bulan dikategorikan sebagai stadium inflamasi kronik.

Penemuan Klinis
Gejala otitis eksterna dapat beragam, tergantung dari stadium dan perluasan penyakit. Diagnosis klinis ditegakkan dengan adanya keberadaan otalgia, otorrhea, rasa penuh, pruritus, nyeri pada palpasi, dan beragam derajat oklusi pada EAC. Pasien juga dapat datang dengan penurunan pendengaran yang terjadi akibat oklusi pada EAC karena edema dan debris. Tanda otitis eksterna termasuk nyeri pada penyentuhan pinna; adanya eritema, edema, otorrhea, pembentukan krusta pada EAC; dan pada keadaan yang lebih berat, limfadenopati pada nodus limfe periauricular dan servikal anterior. Perubahan kulit akibat selulitis dapat pula muncul. Pada keadaan kronis, kulit EAC dapat menebal. Kultur dapat bermanfaat untuk kasus infeksi berulang untuk menetukan penanganan yang tepat.

Gambaran CT-Scan resolusi tinggi memperlihatkan edema jaringan lunak pada kanalis auditoris eksternal yang merupakan gambaran otitis eksterna.

Penatalaksanaan


Penanganan otitis eksterna termasuk debridement atraumatik pada EAC yang teliti dengan bantuan mikroskop. Untuk analgesia dapat diberikan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), opioids, atau preparat steroid topikal. Setelah pembersihan selesai, preparat tetes telinga yang bersifat antiseptis, mengasamkan, atau antibiotic (atau kombinasi dari ketiga sifat tersebut) sebaiknya diberikan. Jika derajat stenosis kanal berat, sebuah sumbu diletakkan secara hati-hati untuk menyalurkan tetesan pada bagian medial dari kanal.

Preparat antiseptic yang tersedia, termasuk asam acetic dan boric, ichthammol, phenol, aluminum acetate, gen­tian violet, thymol, thimerosal (mis, Merthiolate), cresylate, dan alkohol. Preparat antibiotic yang dapat digunakan termasuk ofloxacin, ciprofloxacin, colistin, polymyxin B, neomycin, chloramphenicol, gentamicin, dan tobramycin. Polymyxin B dan neomycin biasanya digunakan bersamaan untuk penanganan infeksi akibat S aureus dan P aeruginosa. Ofloxacin dan ciprofloxacin merupakan antibiotic tunggal dengan spectrum yang sangat luas untuk hampir semua bakteri pathogen yang menyebabkan otitis eksterna. Preparat steroid dapat membantu mengurangi edema dan otalgia. Antibiotik sistemik diindikasikan untuk infeksi yang menyebar melewati EAC. Untuk otitis eksterna kronis, kanalplasty dapat diindikasikan untuk penebalan kulit yang menyebabkan obstruksi kanal. Pasien diminta untuk menghindari manipulasi EAC atau paparan air jika mereka memiliki riwayat otitis eksterna

Sabtu, 30 Agustus 2008

E-book Kedokteran Terbaru

Link untuk mendownload E-books Kedokteran berkualitas kembali penulis berikan. Dibawah ada beberapa ebooks cetakan terbaru dan semoga berguna bagi teman-teman sekalian, okay here we go...

1. Mechanisms of Disease: An Introduction to Clinical Science

Cambridge University Press | 2008-04-21 | 0521818583 | 340 p | PDF | 13.4 Mb

download:http://rapidshare.com/files/113797383/Mechadiease.zip

To reflect the changing face of undergraduate and postgraduate medical education, this new edition emphasises the principles of disease processes and their underlying mechanisms, bringing the content up to date with the latest developments from the fields of molecular and cellular biology. The focus is on describing the fundamental features of pathophysiological processes with examples to illustrate the similar mechanisms underlying apparently diverse clinical conditions. By understanding the cellular interactions in one disease area, similar principles can be applied to other disease groups and to the scientific basis of medical management and treatment strategies. Throughout, the student is encouraged to evaluate and integrate the evidence critically, developing skills for self-directed learning and the application of knowledge. To further encourage the reader to integrate the theory with clinical practice, each chapter concludes with a series of clinical scenarios and MCQs, with answers provided

2. Kochar's Clinical Medicine for Students

Lippincott Williams & Wilkins | 2008-02-01 | 0781766990 | 800 p | CHM | 27 Mb

Download:

http://rapidshare.com/files/113802213/Kochar_s_Clinical_Medicine.zip

Substantially revised, reorganized, and updated for its Fifth Edition, this concise textbook is ideal for medical students in internal medicine clinical clerkships. This edition’s content reflects current guidelines from the Clerkship Directors in Internal Medicine and the National Board of Medical Examiners on topics necessary for this rotation. The organization and presentation of the material is divided into three sections: the diagnostic and clinical approach to common presenting complaints with particular attention to elements of the differential diagnosis; diseases and disorders frequently encountered in medicine, formally described in a logical and structured manner; and principles of ambulatory medicine.

3. Cecil Medicine, 23rd Edition (Cecil Textbook of Medicine)

Publisher: Saunders
Number Of Pages: 3120
Publication Date: 2007-08-29
ISBN / ASIN: 1416028056

linknya :
Part 1. http://mihd.net/exhy9rk/
Part 2. http://mihd.net/0slmfxr/
Part 3. http://mihd.net/l1coxg2/

Book Description:
Faster reference...better practice! If you aren't already getting your medical information from Cecil Medicine, it's time for you to start. The 23rd Edition is quite simply the fastest and best place to find all of the clinical answers you need! Both inside the remarkably user-friendly printed version of this Expert Consult title and on its fully searchable web site, you'll find definitive, unbiased, evidence-based guidance on the evaluation and management of every medical conditionfrom a veritable "who's who" of preeminent leaders in the field.
| Tags: Cardiology, Neurology, Gastroenterology, Endocrinology, Immunology, Haematology, Infectious Disease, Nephrology, Pulmonology, Rheumatology |

4. Textbook of Surgery Fifth Edition, Blackwell Publishing

Publisher: Wiley-Blackwell

Number Of Pages: 720
Publication Date: 2006-01-31
ISBN-10 / ASIN: 1405126272
ISBN-13 / EAN: 9781405126274
Binding: Paperback

Product Description:
Textbook of Surgery is a core book for medical and surgical students providing a comprehensive overview of general and speciality surgery. Each topic is written by an expert in the field.
The book focuses on the principles and techniques of surgical management of common diseases. Great emphasis is placed on problem-solving to guide students and junior doctors through their surgical training.
Throughout the book are numerous reproducible line drawings, tables and boxes that will prove invaluable for learning and revision. In addition there are detailed guidelines provided for surgical management.
Up-to-date and ideal for medical students and junior doctors on surgical attachments and a perfect refresher for RACS and MRCS candidates.

link
http://rapidshare.com/files/132655216/sur3.rar

Untuk sementara 4 buku dulu ya, tunggu link download ebook-ebook lainnya diCetrione*PustakaMedikaIndo, semoga berkenan di hati, salam sejawat...

Senin, 18 Agustus 2008

Anemia Aplastik

ANEMIA APLASTIK

from Harrison's Principle of Internal Medicine 17th Ed. 2008

Definisi

Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas sum-sum tulang. Anemia aplastik didapat (Acquired qplastic anemia) berbeda dengan iatrogenic marrow aplasia, hiposelularitas sum-sum setelah chemotherapy sitotoksik intensif. Anemia aplastik dapat pula diturunkan : anemia Fancani genetic dan dyskeratosis congenital, dan sering berkaitan dengan anomaly fisik khas dan perkembangan pansitopenia terjadi pada umur yang lebih muda, dapat pula berupa kegagalan sum-sum pada orang dewasa yang terlihat normal. Anemia aplastik didapat seringkali bermanifestasi yang khas, dengan onset hitung darah yang rendah secara mendadak pada dewasa muda yang terlihat normal; hepatitis seronegatif atau pemberian obat yang salah dapat pula mendahului onset ini. Diagnosis pada keadaan seperti ini tidak sulit. Biasanya penurunan hitung darah moderat atau tidak lengkap, akan menyebabkan anemia, leucopenia, dan thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi tertentu.

Epidemiologi

Insiden terjadinya anemia aplastik didapat di Eropa dan Israel adalah dua kasus per 1 juta populasi setiap tahunnya. Di Thailand dan Cina, angka kejadiannya yaitu lima hingga tujuh orang per satu juta populasi. Pada umumnya, pria dan wanita memiliki frekuensi yang sama. Distribusi umur biasanya biphasic, yang berarti puncak kejadiannya pada remaja dan puncak kedua pada orang lanjut usia.

Etiologi

Asal anemia aplastik telah dihubungkan dengan beberapa kejadian klinis terkait (Table 2); namun, hubungan ini seringkali tidak tepat dan mungkin bukan etiologi. Walaupun kebanyakan kasus anemia aplastik bersifat idiopatik, adanya riwayat medis memisahkan kasus idiopatik dari kasus dengan dugaan etiologi seperti paparan obat.

Tabel 1 Klasifikasi anemia aplastik dan Sitopenia tunggal.

Didapat

Diturunkan

Anemia Aplastik

Sekunder

Anemia Fanconi's

Radiasi

Dyskeratosis congenita

Obat dan zat kimia

Sindrome Shwachman-Diamond

Efek Reguler

Reticular dysgenesis

Reaksi idiosinkronasi

Amegakaryocytic thrombocytopenia

Virus

Anemia aplastik familial

Epstein-Barr virus

Preleukemia (monosomy 7, etc.)

Hepatitis (Hepatitis non-A, non-B, non-)

Sindrom nonhematologic (Down's, Dubowitz, Seckel)

Parvovirus B19 (transient aplastic crisis, PRCA)


HIV-1 (AIDS)


Penyakit Imun


Eosinophilic fasciitis


Hypoimmunoglobulinemia


Thymoma/Karsinoma thymus


Graft-versus-host disease pada immunodefisiensi


Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria


Kehamilan


Idiopatik


Cytopenias

PRCA (Lihat Table 4)

PRCA kongenital (Diamond-Blackfan anemia)

Neutropenia/Agranulocytosis


Idiopathic

Kostmann's Syndrome

Obat, Toxin

Sindrom Shwachman-Diamond

Pure white cell aplasia

Reticular dysgenesis

Thrombocytopenia


Drugs, toxins

Amegakaryocytic thrombocytopenia

Amegakaryocytic idiopathix

Thrombocytopenia tanpa radii

Note: PRCA, pure red cell aplasia.

Radiasi

Aplasia sum-sum merupakan sekuele akut utama dari radiasi. Radiasi merusak DNA; jaringan bergantung pada mitosis aktif yang biasanya terganggu. Kecelakaan nuklir tidak hanya melibatkan pekerja namun juga pegawai rumah sakit, laboratorium, dan industri (sterilisasi makanan, radiography metal,dll), begitupula dengan orang lain yang terpapar secara tidak sengaja. Sementara dosis radiasi dapat diperkirakan melalui angka dan derajat penurunan hitung darah, dosimetri dengan rekonstruksi paparan dapat membantu memperkirakan prognosis pasien dan dapat pula melindungi tenaga medis dari kontak dengan jaringan radioaktif dan secret. MDS dan leukemia, namun kemungkinan bukan anemia aplastik, merupakan efek lambat dari radiasi.

Zat Kimia

Benzena merupakan penyebab yang diketahui dari kegagalan sum-sum tulang. Banyak data laboratorium, klinis, dan epidemiologi yang menghubungkan antara paparan benzene dengan anemia aplastik, leukemia akut, dan abnormalitas darah dan sum-sum tulang. Kejadian leukemia kurang berkaitan dengan paparan kumulatif -namun kecurigaan tetap diperlukan- karena hanya sebagian kecil dari pekerja yang terpapar terkena benzene myelotoksisitas. Rwayat pekerjaan penting diketahui, terutama pada insdustri dimana benzene digunakan biasanya sebagai pelarut. Penyakit darah terkait benzene telah menurun insidennya karena adanya peraturan mengenai paparan industrial. Walaupun benzene tidak lagi digunakan sebagai pelarut pada pemakaian rumah tangga , paparan terhadap metabolitnya dapat terjadi pada makanan dan lingkungan sekitar. Keterkaitan antara kegagalan sum-sum dengan zat kimia lain kurang bermakna.

Obat-obatan

Banyak obat kemoterapi yang mengsupresi sum-sum sebagai toksisitas utamanya; efeknya tergantung dengan dosis dan dapat terjadi pada semua pengguna. Berbeda dengan hal tersebut, reaksi idiosinkronasi pada kebanyakan obat dapat menyebabkan anemia aplastik tanpa hubungan dengan dosis. Hubungan ini berdasarkan dari laporan kasus dan suatu penelitian internasional berskala besar di Eropa pada tahun 1980 secara kuantitatif menilai pengaruh obat, terutama analgesic nonsteroid, sulfonamide, obat thyrostatik, beberapa psikotropika, penisilamin, allopurinol, dan garam emas. Tidak semua hubungan selalu menyebabkan hubungan kausatif: obat tertentu dapat digunakan untuk mengatasi gejala pertama dari kegagalan sum-sum (antibiotic untuk demam atau gejala infeksi virus) atau memprovokasi gejala pertama dari penyakit sebelumnya (petechiae akibat NSAID yang diberikan pada pasien thrombositopenia). Pada konteks penggunaan obat secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi walaupun pada beberapa orang terjadi dengan sangat buruk. Chloramphenicol, merupakan penyebab utama, namun dilaporkan hanya menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000 pengobatan dan kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko selalu lebih besar ketika berdasar kepada kumpulan kasus kejadiannya; walaupun pengenalan chloramphenicol dicurigai menyebabkan epidemic anemia aplasia, penghentian pemakaiannya tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi kegagalan sum-sum tulang). Perkiraan resiko biasanya lebih rendah ketika penelitian berdasarkan populasi.

Table 3 Beberapa Obat dan Zat Kimi yang Berkaitan dengan Anemia Aplastik .

Agen yang secara rutin menyebabkan depresi sum-sum sebagai toksisitas utama pada dosis biasa atau paparan yang normal.

Obat sitotoksik yang digunakan dalam kemoterapi kanker : alkylating agents, antimetabolites, antimitotics, beberapa antibiotic

Agen yang biasanya namun tidak mutlak menyebabkan aplasia sum-sum:

Benzene

Agen yang terkait dengan anemia aplasia namun dengan kemungkinan yang relative rendah

Chloramphenicol

Insektisida

Antiprotozoa: quinacrine dan chloroquine, mepacrine

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (termasuk phenylbutazone, indomethacin, ibuprofen, sulindac, aspirin)

Anticonvulsants (hydantoins, carbamazapine, phenacemide, felbamate)

Heavy metals (gold, arsenic, bismuth, mercury)

Sulfonamides: beberapa antibiotics, obat antithyroid (methimazole, methylthiouracil, propylthiouracil), obat antidiabetes (tolbutamide, chlorpropamide), carbonic anhydrase inhibitors (acetazolamide dan methazolamide)

Antihistamines (cimetidine, chlorpheniramine)

D-Penicillamine

Estrogens (kehamilan)

Agen yang keterkaitan dengan anemia aplastik belum jelas:

Antibiotik lainnya (streptomycin, tetracycline, methicillin, mebendazole, trimethoprim/sulfamethoxazole, flucytosine)

Sedatives dan tranquilizers (chlorpromazine, prochlorperazine, piperacetazine, chlordiazepoxide, meprobamate, methyprylon)

Allopurinol

Methyldopa

Quinidine

Lithium

Guanidine

Potassium perchlorate

Thiocyanate

Carbimazole

Note: yang tertulis miring memiliki keterkaitan paling besar terhadap anemia aplastik

Infeksi

Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya anemia aplasia, dan kegagalan sum-sum paska hepatitis terhitung 5% dari etiologi pada kebanyakan kejadian. Pasien biasanya pria muda yang sembuh dari serangan peradangan hati 1 hingga 2 bulan sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis biasanya seronegatif (non-A, non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan disebabkan oleh virus baru yang tidak terdeteksi. Kegagalan hepar fulminan pada anak biasanya terjadi setelah hepatitis seronegatif dan kegagalan sum-sum terjadi pada lebih sering pada pasien ini. Anemia aplastik terkadang terjadi setelah infeksi mononucleosis, dan virus Eipsten-Barr telah ditemukan pada sum-sum pada sebagian pasien, beberapanya tanpa disertai riwayat penyakit sebelumnya. Parvovirus B19, penyebab krisis aplastik transient pada anemia hemolitik dan beberapa PRCA (Pure Red Cell Anemia), tidak biasanya menyebabkan kegagalan sum-sum tulang yang luas. Penurunan hitung darah yang ringan sering terjadi pada perjalanan penyakit beberapa infeksi bakteri dan virus namun sembuh kembali setelah infeksi berakhir.

Penyakit Immunologis

Aplasia merupakan konsekuensi utama dan penyebab kematian yang tak terhindarkan pada keadaan transfusion-associated graft-versus-host disease (GVDH), yang dapat terjadi setelah infuse produk darah kepada pasien immunodefisiensi. Anemia aplastik sangat terkait dengan sindroma kolagen vaskuler yang jarang terjadi yang disebut fasciitis eosinophilic, yang ditandai dengan adanya indurasi yang sakit pada jaringan subcutaneous. Pansitopenia dengan hipoplasia sum-sum dapat pula terjadi pada systemic lupus erythematosus.

Kehamilan

Anemia Aplastik sangat jarang terjadi dan sembuh setelah melahirkan atau setelah terjadinya keguguran.

Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria

Mutasi pada gen PIG-A di dalam sel bakal hematopoietic menyebabkan terjadinya PNH, namun mutasi PIG-A kemungkinan pula terjadi pada individu normal. Jika sel bakal dengan mutasi PIG-A berproliferasi, hasilnya adalah defisiensi protein membrane sel terkait glycosylphosphatidylinositol. Sel PNH seperti ini biasanya dapat terlihat dengan flow sitometri dengan ekspresi CD55 atau CD 59 pada granulosit daripada pemeriksaan Ham atau sucrose lysis pada sel darah merah. Beberapa klon yang terganggun dapat terdeteksi pada separuh pasien dengan anemia aplastik pada waktu pemeriksaan (dan sel PNH juga dapat terlihat pada MDS); hemolysis yang jelas dan episode thrombotik terjadi pada pasien dengan klon PH yang besar (>50%). Penelitian fungsional terhadap sum-sum tulang pada pasien PNH, walaupun pada orang yang utamanya bermanifestasi hemolytic, memperlihatkan bukti adanya hematopoiesis yang rusak. Pasien yang pada awalnya memiliki diagnosis klinis PNH, terutama pada individu yang berumur lebih muda, kemungkinan pada suatu saat akan mengalami aplasia sum-sum tulang dan pansitopenia; pasien yang pada awalnya didiagnosis anemia aplastik kemungkinan mengalami PNH hemolytic beberapa tahun setelah normalnya hitung darah. Satu penjelasan anemia aplastik yang populer namun tidak terbukti adalah terpilihnya suatu klon yang terganggu adalah karena sel tersebut mendukung terjadinya proliferasi pada lingkungan yang tidak biasanya karena adanya destruksi sum-sum akibat autoimun.

Gangguan Konstitusi

Anemia Fanconi, suatu gangguan resesif autosomal, bermanifestasi sebagai perkembangan anomaly congenital, pansitopenia progresif, dan peningkatan resiko keganasan. Kromosom pada anemia fanconi, anehnya, beresiko terhadap agen DNA cross-link, dasar dari pemeriksaan diagnostic. Pasien dengan anemia Fanconi biasanya memiliki postur yang pendek, café au lait spots, dan anomaly yang melibatkan jari, radius, dan traktus genitourinaria. Paling tidak sekitar 12 defek genetic berbeda yang telah didapatkan; dan yang paling sering, Anemia Fanconi tipe A, diakibatkan oleh mutasi pada FANCA. Kebanyakan produk gen pada pasien anemia Fanconi membentuk kompleks protein yang mengaktivasi FANCD2 untuk berperan dalam respon seluler pada kerusakan DNA dan menyebabkan cross-linking yang melibatkan BRCA1, ATM, da NBSI.

Dyskeratosis congenita ditandai dengan leukoplasia membrane mucous, dystrophi pada kuku, hiperpigmentasi retikuler, dan perkembangan anemia aplastik pada masa kanak-kanak. Keragaman X-link disebabkan adanya mutasi pada gen DKCI (dyskerin); tipe autosomal dominant yang lebih jarang terjadi akibat mutasi hTERC, yang mengatur kerangka RNA, dan hTERT, yang mengatur reverse transcriptase catalytic, telomerase; produk gen ini bekerja sama dalam perbaikan untuk mempertahankan ukuran telomere. Pada sindrom Shwachman-Diamond, kegagalan sum-sum terlihat pada insufisiensi pankreatik dan malabsorbsi; kebanyakan pasien memiliki mutasi heterozygous compound pada SBDS, dimana berimplikasi pada proses RNA.

Patofisiologi

Kegagalan sum-sum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik. Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat terlihat pada morfologi spesimen biopsy (Gambar 1) dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa “kolam” sel bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.

Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat kegagalan sum-sum dan tanpa anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa.

Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi faktor pertumbuhan.

Kerusakan akibat Obat.

Kerusakan ekstrinsik pada sum-sum terjadi setelah trauma radiasi dan kimiawi seperti dosis tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik. Untuk reaksi idiosinkronasi yang paling sering pada dosis rendah obat, perubahan metabolisme obat kemungkinan telah memicu mekanisme kerusakan. Jalur metabolisme dari kebanyakan obat dan zat kimia, terutama jika bersifat polar dan memiliki keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan degradasi enzimatik hingga menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang disebut intermediate); komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya untuk berikatan dengan makromolekul seluler. Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan quinolon berperan terhadap cedera jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang berlebihan atau kegagalan dalam detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan secara genetic menentukan namun perubahan genetis ini hanya terlihat pada beberapa obat; kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini berperan terhadap kerentanan suatu loci dan dapat memberikan penjelasan terhadap jarangnya kejadian reaksi idiosinkronasi obat.

Jejas Autoimun

Penyembuhan pada fungsi sum-sum pada beberapa pasien yang dipersiapkan untuk transplantasi sum-sum dengan antilymphocyte globulin (ALG) menjelaskan bahwa anemia aplastik kemungkinan dimediasi imun. Seperti dengan hipotesis ini adalah seringnya kegagalan transplantasi sum-sum dari kembar syngeneic, kemoterapi sitotoksik tidak dilakukan, keadaan ini menyangkal absennya sel bakal sebagai penyebab dan keberadaan dari faktor resipien yang menciptakan kegagalan sum-sum. Data laboratorium mendukung peranan penting sistem imun pada anemia aplastik. Sel darah dan sel sum-sum tulang pada pasien dapat menekan pertumbuhan sel bakal normal dan diambilnya sel T yang diamati pada sum-sum tulang pasien anemia aplastik dapat memperbaiki pembentukan koloni in vitro. Peningkatan jumlah sel T sitotoksik yang aktif ditemukan pada pasien anemia aplastik dan biasanya menurun dengan terapi immunosupressif; penukuran sitokin menunjukkan respn imun TH1 (interferon γ dan tumor necrosis factor). Interferon dan TNF memicu ekspresi Fas pada sel CD34, menyebabkan apoptosis.; lokalisasi dari sel T yang teraktivasi pada sum-sum tulang dan produksi lokal pada faktor pelarut kemungkinan penting dalam kerusakan sel bakal.

Kejadian sistem imun dini pada anemia aplastik belum dipahami dengan baik. Analisis ekspresi reseptor sel T menunjukkan oligoklonal dan respon sel T sitotoksik akibat antigen. Banyak antigen exogen berbeda sepertinya mampu untuk menginisiasi respon imun patologis, namun paling tidak beberapa sel T kemungkinan dapat membedakan self-antigen. Jarangnya anemia aplastik walaupun seringnya paparan zat pemicu (obat-obatan dan virus hepatitis) menandakan bahwa respon imun yang ditentukan secara genetic dapat mengkonversi respon fisiologis normal menjadi suatu proses autoimun abnormal yang berkelanjutan, termasuk polymorphisme pada histokompabilitas antigen, gen sitokin, dang en yang mengatur polarisasi sel T dan fungsi efektor.

Manifestasi Klinik

Riwayat/Anamnesis

Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki onset yang berkembang dengan cepat. Perdarahan merupakan gejala awal yang paling sering terjadi; keluhan mudah terjadi memar selama beberapa hari hingga minggu, gusi yang berdarah, mimisan, darah menstruasi yang berlebihan, dan kadang-kadang peteki. Adanya thrombositopenia, perdarahan massif jarang terjadi, namun perdarahan kecil pada sistem saraf pusat dapat berbahaya pada intracranial dan menyebabkan perdarahan retina. Gejala anemia juga sering terjadi termasuk mudah lelah, sesak napas, dan tinnitus pada telinga. Infeksi merupakan gejala awal yang jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada agranulositosis, dimana faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering terjadi pada permulaan penyakit). Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah keterbatasan gejala pada sistem hematologist dan pasien sering merasa dan sepertinya terlihat sehat walaupun terjadi penurunan drastis pada hitung darah. Keluhan sistemik dan penurunan berat badan sebaiknya mengarahkan penyebab pasitopenia lainnya. Adanya pemakaian obat sebelumnya, paparan zat kimia, dan penyakit infeksi virus sebelumnya mesti diketahui. Riwayat kelainan hematologis pada keluarga dapat mengindikasikan penyebab konstitusional pada kegagalan sum-sum.

Pemeriksaan Fisik

Peteki dan ekimosis sering terjadi dan perdarahan retina dapat ditemukan. Pemeriksaan pelvis dan rectal tidak dianjurkan namun jika dikerjakan, harus dengan hati-hati dan menghindari trauma; karena pemeriksaan ini biasanya menyebabkan perdarahan dari servikal atau darah pada tinja. Kulit dan mukosa yang pucat sering terjadi kecuali pada kasus yang sangat akut atau yang telah menjalani transfusi. Infeksi pada pemeriksaan pertama jarang terjadi namun dapat timbul jika pasien telah menjadi simptomatik setelah beberapa minggu. Limfadenopati dan splenomegaly juga tidak sering terjadi pada anemia aplastik. Bintik Café au lait dan postur tubuh yang pendek merupakan tanda anemia Fanconi; jari-jari yang aneh dan leukoplakia menandakan dyskeratosis congenita.

Pemeriksaan Laboratorium

Darah

Apusan menunjukkan eritrosit yang besar dan kurangnya platelet dan granulosit. Mean corpuscular volume (MCV) biasanya meningkat. Retikulosit tidak ditemukan atau kurang dan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit menurun. Keberadaan myeloid immature menandakan leukemia atau MDS; sel darah merah yang bernukleus menandakan adanya fibrosis sum-sum atau invasi tumor; platelet abnormal menunjukkan adanya kerusakan perifer atau MDS.

Sum Sum Tulang

Sum-sum tulang biasanya mudah diaspirasi namun menjadi encer jika diapuskan dan biopsi specimen lemak terlihat pucat pada pengambilan. Pada aplasia berat, apusan dari specimen aspirat hanya menunjukkan sel darah merah, limfosit residual, dan sel strome; biopsy (dimana sebaiknya berukuran >1 cm) sangat baik untuk menentukan selularitas dan kebanyakan menunjukkan lemak jika dilihat dibawah mikroskop, dengan sel hematopoetik menempati <25% style="">

sum-sum yang kosong, sedangkan “hot-spot” hematopoiesis dapat pula terlihat pada kasus yang berat. Jika specimen pungsi krista iliaka tidak adekuat, sel dapat pula diaspirasi di sternum. Sel hematopoietik residual seharusnya mempunyai morfologi yang normal, kecuali untuk eritropoiesis megaloblastik ringan; megakariosit selalu sangat berkurang dan biasanya tidak ditemukan. Sebaiknya myeloblast dicari pada area sekitar spikula. Granuloma (pada specimen seluler) dapat mengindikasikan etiologi infeksi dari kegagalan sum-sum.

Penilitian terkait

Penelitian kerusakan kromosom pada darah perifer menggunakan diepoxybutane atau mitomycin C sebaiknya dikerjakan pada anak-anak dan dewasa muda untuk mengeliminasi diagnoss anemia Fanconi. Analisis genetic untuk menilai kegagalan sum-sum fungsional telah banyak tersedia di laboratorium. Penilitian kromosom pada sel sum-sum tulang biasanya menunjukkan adanya MDS dan biasanya negative pada anemia aplastik tipikal. Essay flow cytometric telah menggantikan test Ham untuk menegakkan diagnosis PNH. Penelitian serologic dapat menunjukkan bukti adanya infeksi virus, seperti Epstein-Barr dan HIV. Anemia aplastik post hepatitis biasanya seronegaif. Ukuran limpa sebaiknya ditentukan melalui pemeriksaan CT-scan atau ultrasound jika pemeriksaan fisik pada abdomen kurang memuaskan. MRI dapat berguna menilai kandugan lemak pada beberapa tulang belakang untuk membedakan aplasia dengan MDS.

Diagnosis

Diagnosis anemia aplastik biasanya dilakukan dengan cepat, berdasar dari kombinasi pansitopenia dengan sum-sum tulang kosong dan berlemak. Anemia aplastik merupakan penyakit dewasa muda dan sebaiknya menjadi diagnosis utama pada seorang remaja atau dewasa yang mengalami pansitopenia. Jika yang terjadi adalah pansitopenia sekunder, diagnosis utama biasanya ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis : pembesaran limpa seperti pada sirosis alkoholik, riwayat metastasis kanker, atau sistemik lupus eritematosus, atau tuberculosis miliar pada gambaran radiology (Table 1)

Masalah diagnosis dapat timbul dengan gambaran penyakit yang atipikal dan merata. Dimana pansitopenia sangat umum terjadi, beberapa pasien dengan hiposelularitas pada sum-sum memiliki penurunan hanya pada satu atau dua dari tiga jenis sel darah, seringkali memperlihatkan perkembangan menjadi anemia aplastik yang jelas. Sum-sum tulang pada anemia aplastik sulit dibedakan secara morfologis dengan aspirat pada penyakit didapat. Diagnosis dapat dipengaruhi oleh riwayat keluarga, hitung jenis darah yang abnormal, atau keberadaan dari anomali fisik yang terkait. Anemia aplasia lebih sulit dibedakan dari variasi hiposeluler dari MDS : MDS ditandai dengan penemuan abnormalitas morfologis, terutama megakariosit dan sel bakal myeloid, dan abnormalitas sitogenik tipikal.

Prognosis

Sifat alami dari perkembangan anemia aplastik adalah penurunan kesehatan dan kematian. Persiapan sel darah merah dan kemudian transfusi sel darah putih serta antibiotic platelet terkadang berguna, namun hanya segelintir pasien memperlihatkan penyembuhan spontan. Penentu utama prognosis adalah hitung darah, beratnya penyakit diindikasikan oleh dua dari tiga parameter ini : hitung netrophil absolute <500/µl,>

Penatalaksanaan Anemia Aplastik

Anemia aplastik dapat disembuhkan dengan penggantian sel hematopoietik yang hilang ( dan sistem imun) dengan transplantasi stem cell, atau dapat diringankan dengan penekanan sistem imun untuk mempercepat penyembuhan fungsi sum-sum tulang residual. Faktor pertumbuhan hematopoietik memiliki keterbatasan manfaat dan glukokortikoid tidaklah bermanfaat. Paparan obat atau zat kimia yang dicurigai sebaiknya dihentikan dan dihindari; namun, penyembuhan spontan dari penurunan sel darah yang berat jarang terjadi, dan periode menunggu sebelum memulai penanganan tidak dianjurkan kecuali hitung jenis darah hanya sedikit menurun.

Jumat, 15 Agustus 2008

Infeksi Telinga dan Obesitas

Infeksi Telinga dapat Meningkatkan Resiko Obesitas

Kerusakan Pada Saraf Perasa Kemungkinan Berperan, Menurut Para Peneliti
By Salynn Boyles
WebMD Health News
Diterjemahkan oleh Husnul Mubarak,S.Ked

Aug. 14, 2008 – Apakah anak dengan infeksi telinga yang rekuren mempunyai peningkatan resiko untuk menjadi gemuk pada masa akan datang ?

Penelitian terkini menyatakan sedemikian, dan kerusakan terhadap saraf yang mengendalikan indra perasa merupakan faktor utama.

Penelitian ini dipresentasikan untuk pertama kalinya pada konvensi tahunan American Psychological Association yang ke-116 di Boston

Peneliti indra perasa ini, Linda M. Bartoshuk, PhD, dari University of Florida College of Dentistry, berkata kepada WebMD bahwa seiring waktu, infeksi telinga yang rekuren dapat merubah persepsi rasa dengan cara meningkatkan keinginan terhadap makanan berlemak tinggi dan dengan kandungan gula yang ringgi, dimana, akan menyebabkan obesitas.

"Infeksi telinga berhubungan dengan indra perasa karena salah satu saraf indra perasa berjalan melalui telinga tengah sebelum masuk menuju ke otak,” lanjutnya.

Saraf perasa lainnya terletak pada tenggorokan, Bartoshuk berkata, dan peneliti juga mempresentasikan penemuan yang menunjukkan peningkatan resiko obesitas pada anak yang memiliki riwayat tonsillektomi.

Infeks Telinga dan Obesitas

Bartoshuk berkata ia pertama kali mencurigai adanya hubungan antara infeksi telinga dan obesitas sekitar 6 tahun yang lalu setelah menganalisa penemuan dari suau survey yang ia lakukan untuk meneliti indra perasa dan kesehatan.

Sekitar 6.600 orang dewasa –kebanyakan merupakan akademisi- menyelesaikan survey tersebut, yang menyangkutkan pertanyaan mengenai riwayat infeksi telinga dan index massa tubuh (IMT) terkini, suatu tolak ukur dalam menilai obesitas.

Individu dengan riwayat infeksi telinga rekuren ternyata 62% lebih sering menjadi obese dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki riwayat infeksi telinga.

"Kami tidak menyangka bahwa infeksi telinga ternyata terkait dengan IMT, namun itulah yang kami temukan,” Ia berkata.

Bartoshuk kemudian melihat data penilitian lainnya yang memasukkan informasi mengenai riwayat infeksi telinga dan berat badan.

Beberapa penilitian ini telah dipresentasikan pada symposium terkini, bersamaan dengan penilitan Bartoshuk's.

Pada suatu penelitian yang melibatkan wanita-wanita dewasa yang diperiksa sensitivitas perasanya, terbukti bahwa wanita dengan riwayat kerusakan pada indra perasa cenderung lebih menyukai makanan berlemak dan berkadar gula tinggi dibandingkan dengan wanita normal tanpa kerusakan indera perasa. Mereka pula cenderung memiliki pinggul yang lebih besar.

Pada penilitan lainnya, anak umur prasekolah dengan riwayat infeksi telinga terbukti cenderung lebih kurang memakan sayur-sayuran dan lebih banyak makanan bergula dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat infeksi telinga. Mereka juga cenderung lebih gemuk.

Epidemiologis, Kathleen Daly, PhD, dari University of Minnesota-Twin Cities, melaporkan penilitannya pada anak dibawah umur 2 tahun, menyatakan bahwa infeksi telinga kronis pada umur ini berkaitan dengan IMT yang lebih tinggi pada ulang tahun ke 2 tahun.

"Semua ini menarik dan misterius, namun kita tidak mengetahui apakah ini bermakna atau tidak,” Kata Daly.

Akhirnya, pemeriksaan ulang dari suatu survey kesehatan nasional yang besar yang dilakukan pada tahun 1960 menemukan adanya peningkatan resiko obesitas sebesar 30% pada anak yang telah menjalani tonsillektomi.

Penelitian yang dipresentasikan di Boston secara luas melibatkan analisis ulang dari database yang telah ada.

Semuanya setuju bahwa penelitian yang secara spesifik menjawab pertanyaan apakah infeksi telinga kronis dan bedah tonsil berperan dalam perkembangan obesitas dibutuhkan untuk membuktikan hipotesis ini.

"Diketahui bahwa epidemic dari obesitas di negara ini dan bukti bahwa anak-anak semakin menjadi lebih gemuk pada umur yang lebih muda, hal ini sebaiknya kita lebih perhatikan dengan seksama,” kata Daly kepada WebMD.

Namun spesialis telinga John W. House, MD, dari House Ear Institute di Los Angeles tidak begitu meyakini penelitian ini.

"Kami melihat ribuan anak dan orang dewasa dengan infeksi telinga kronis tiap tahunnya di klinik kami,” katanya. “Jika hubungan ini benar adanya, kami dapat melihatnya (obesitas) pada pasien-pasien kami, namun pada kenyataannya, kami tidak menemukannya.”

Spesialis THT dari University of Pittsburgh, Hirsch, MD, FACS, mengatakan kepada WebMD bahwa penelitian yang dipresentasikan di symposium Boston kurang cukup membuktikan adanya hubungan antara infeksi telinga, operasi tonsil, dan obesitas.

House dan Hirsch merupakan juru bicara dari American Academy of Otolaryngology -- Head and Neck Surgery.

"Terlalu cepat untuk mempercayai bahwa permasalahan telinga dapat menyebabkan obesitas dari jenis penelitian seperti ini,” lanjutnya..

Rabu, 13 Agustus 2008

5 Gaya Hidup yang Mengurangi Resiko Stroke

Olahraga Teratur dan Pola Makan merupakan Faktor Kunci dari Pencegahan Stroke

By Kelley Colihan
WebMD Health News

Translated by Husnul Mubarak

Aug. 12, 2008 – Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 5 gaya hidup yang sehat berperan dalam “menggunting:” resiko semua jenis stroke sebesar 80%.

Penelitian yang dilaporkan pada jurnal Circulation, melibatkan 43,685 pria dan 71,243 wanita. Umur rata-rata pada permulaan penelitian adalah 54 tahun untuk wanita dan 50 tahun bagi wanita.

Ketika penelitian dimulai, tidak ada dari peserta yang memiliki penyakit kardiovaskuler atau kanker.

Peserta melaporkan kebiasaan pada gaya hidupnya dan keadaan medis antara tahun 1986 dan 2002. Selama penelitian berlangsung, 1.559 stroke terjadi pada wanita dan 994 stroke terjadi pada pria.

Peneliti mendapatkan gaya hidup yang memiliki resiko terendah adalah :

  • Bukan seorang perokok.
  • Menjaga berat badan. Ini berarti index massa tubuh (IMT) kurang dari 25. IMT 25-29.9 dianggap overweight dan IMT diatas 30 dinilai sebagai obesitas.
  • Olahraga yang moderat hingga berat selama setengah jam atau lebih setiap hari..
  • Pola makan yang sehat (diet sehat), terutama komponen makanan yang mengandung lemak “jahat” yang rendah seperti sayur-sayuran, buah-buahan, protein seperti ayam dan ikan rendah lemak, serat, kacang-kacangan, dan polong-polangan.
  • Intake alcohol yang moderat atau tidak sama sekali. Untuk wanita paling banyak satu gelas sehari, untuk pria paling banyak 2 gelas per hari.

Wanita yang mengakut menerapkan kebiasaan gaya hidup yang sehat ini memiliki pengurangan resiko sebesar 79% dari semua jenis stroke dan 81% untuk stroke ischemic dibandingkan wanita yang sama sekali tidak mengikuti kebiasaan sehat ini. Stroke ischemic merupakan stroke yang paling sering terjadi; stroke ini terjadi jika arteri pada otak terblokir.

Pria yang melaporkan bahwa mereka hidup dengan semua 5 gaya hidup yang sehat tersebut memiliki pengurangan resiko sebesar 69% untuk semua jenis stroke dan 80% untuk stroke ischemic, dibandingkan dengan pria yang mengakut tidak mengikuti satu pun pola hidup yang sehat ini.

Peneliti, Stephanie E. Chiuve, ScD, dari Harvard School of Public Health, mengatakan pada sebuah berita, "Sekitar separuh dari stroke ischemic, 52% pada pria dan 54% pada wanita, dapat dicegah melalui penerapan gaya hidup yang sehat tersebut. "

Ia mengatakan, "Untuk semua jenis stroke, 47% kasus pada wanita dan 35% kasus pada prua telah dapat dicegah."

"Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah menjalani gaya hidup yang sehat, yang telah terbukti menurunkan resiko penyakit jantung koroner hingga 80% dan 90% untuk diabetes, dapat pula mencegah lebih dari setengah stroke ischemic,” kata Chiuve.

Pada latar belakang yang dipublikasikan bersama dengan penelitian ini, dikatakan bahwa stroke merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di Amerika Serikat.

Ditambahkan pula stroke yang tidak mematikan merupakan suatu penyebab utama dari “kecacatan permanent dan kerugian ekonomi”

Selasa, 12 Agustus 2008

Traktus Spinothalamikus

TRAKTUS SPINOTALAMIKUS

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, berbagai macam perasaan dapat dirasakan. Rasa panas bila menyentuh api, rasa nyeri jika kulit ditusuk dan berbagai jenis perasaan lainnya dapat dibedakan dan disadari karena telah mengalami berbagai macam perangsangan dalam masa perkembangan..

Berbagai istilah telah diperkenalkan untuk membeda-bedakan jenis perasaan. Salah satu diantaranya yaitu somestesia, yakni perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang berasal dari somatopleura, yaitu kulit, tulang dan jaringan pengikat. Disamping itu dikenal juga viserostesia, yaitu perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh dalam viseropleura, seperti usus, paru, limpa, dan sebagainya. Dalam klinik somestesialah yang diperiksa.

Somestesia adalah kesadaran akan rasa (sensasi) raba, nyeri, temperatur, tekanan, dan vibrasi atau getaran. Penghantaran sensasi dari medulla spinalis ke korteks serebri melalui traktus asenden sedangkan yang menyampaikan pesan-pesan dari korteks serebri ke neuron eferen adalah traktus desendens. Informasi dimulai dari reseptor sensoris dan mencapai korteks serebri setelah melalui beberapa ”stasiun relay”. Salah satu stasiun relay yang penting adalah talamus.

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai traktus spinotalamikus yaitu salah satu jalur asenden yang membawa rangsang nyeri, temperatur serta sentuhan (perasaan eksteroseptif) dari medulla spinalis menuju ke salah satu stasiun relay di talamus.(1

DEFINISI

Traktus spinotalamikus adalah suatu jalur asenden yang berasal dari medulla spinalis dan berjalan disepanjang medulla spinalis sampai bersinaps di talamus. Terdapat dua jalur yang tergabung dalam sistem ini, yakni traktus spinotalamikus lateral dan traktus spinotalamikus anterior. (2)

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. Medulla Spinalis

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan.(2)

Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co). (3)

Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina (”ekor kuda”) karena penampakannya.(2)

Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang disampaikannya.(2)

Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.(2)

Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral.(2)

Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama.(2)

Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi

Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: (3)

1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak.

2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks.

3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai respon terhadap stimulus verbal.

4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau otot-otot antigravitasi.

5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan dengan keseimbangan.

6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: (4)

1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan berperan dalam diskriminasi lokasi.

2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan.

3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.

4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan.

5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.

Khususnya sistem traktus spinotalamikus akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

B. Talamus

Jauh di dalam otak dekat dengan nukleus basal terdapat diensefalon, suatu struktur garis-tengah (midline) yang membentuk dinding-dinding rongga ventrikel ketiga, salah satu ruang tempat lewatnya cairan serebrospinalis. Diensefalon terdiri dari dua bagian utama, talamus dan hipotalamus.(2)

Talamus berfungsi sebagai stasiun penyambung dan pusat integrasi sinaps untuk pengolahan pendahuluan semua masukan sensorik dalam perjalanannya ke korteks. Bagian ini menyaring sinyal-sinyal yang tidak bermakna dan mengarahkan impuls-impuls sensorik penting ke daerah somatosensorik yang sesuai, serta ke daerah-daerah lain. Talamus, bersama dengan batang otak dan daerah asosiasi korteks, penting untuk kemampuan kita mengarahkan perhatian ke rangsangan yang menarik. Sebagai contoh, orang tua dapat tidur nyenyak walaupun diluar rumah bising karena lalu lintas ramai, tetapi cepat terbangun mendengar rengekan kecil bayi mereka. Talamus juga mampu menentukan kesadaran kasar berbagai jenis sensasi tetapi tidak dapatmembedakan lokasi atau intensitasnya. Kesadaran dengan derajat tertentu juga terdapat di sini. Selain itu, talamus juga berfungsi penting dalam kontrol motorik dengan secara positif memperkuat perilaku motorik volunter yang dimulai oleh korteks.(5)

Seperti telah disebutkan diatas, bahwa terdapat dua jalur yang tergabung pada traktus spinotalamikus dimana pada tiap jalurnya rangsang impuls yang dibawa juga berbeda. Kedua jalur tersebut adalah sebagai berikut :

1. Traktus Spinotalamikus Anterior

Jalur ini merupakan serabut saraf yang fungsinya membawa stimulus sentuhan (raba). Neuron pertama adalah sel saraf pseudounipolar ganglion spinalis. Biasanya cukup tebal, serat perifer bermielin yang mengirim sensasi taktil dan sensasi tekanan yang tidak begitu berbeda dari reseptor kulit, seperti keranjang rambut dan korpuskel taktil. Cabang sentral dari akson ini berjalan melalui radiks posterior ke dalam funikuli posterior medulla spinalis. Di sini semua mungkin berjalan naik untuk 2 sampai 15 segmen dan dapat memberikan kolateral ke bawah untuk 1 sampai 2 segmen. Pada sejumlah tingkat, semua bersinaps dengan neuron kornu posterior. Sel-sel saraf ini menggantikan “ neuron kedua” yang membentuk traktus spinotalamikus anterior. Traktus ini menyilang komissura anterior di depan kanalis sentralis ke sisi yang berlawanan dan berlanjut ke daerah perifer anterior dari funikulus anterolateral. Dari sini traktus ini berjalan naik ke nukleus ventralis talamus posterolateral, bersama dengan traktus spinitalamikus lateral dan lemniskus medialis. Sel-sel saraf talamus adalah “ neuron ketiga “, memproyeksikan impuls ke dalam girus postsentralis melalui traktus talamokortikalis.(6)

Dari beberapa penemuan tentang traktus ini didapatkan sebagai berikut :(7)

1. Traktus ini membawa impuls nyeri yang ditambahkan pada sentuhan.

2. Sebagian serat ini turun secara ipsilateral terhadap semua jalan menuju otak tengah, dimana mereka bersilangan di daerah kommisura posterior dan selanjutnya diproyeksikan dalam neuron intraluminer di talamus, dengan beberapa serat yang menjangkau substansia abu-abu di otak tengah.

3. Traktus ini juga membawa motivasi terhadap sensasi nyeri, yang membedakan dengan traktus spinotalamikus lateral adalah traktus ini hanya membawa sensasi tersebut pada daerah-daerah tertentu. Eksistensi dari traktus ini sebagai traktus tersendiri masih dipertanyakan. Sebagian peneliti memasukkan traktus ini dalam sistem serabut yang sama dengan traktus spinotalamikus. Secara fisiologi masuk ke dalam dua traktus yakni sistem anterolateral.


Gambar 1. Lintasan-lintasan Raba dan Tekanan Ringan (Traktus Spinotalamikus Anterior). Dikutip dari kepustakaan Diagnosis Topik Neurologi, Anatomi, Fisiologi, Tanda, dan Gejala. Peter Duss.

2. Traktus Spinotalamikus Lateral

Jalur ini merupakan serabut saraf ascending yang terletak pada daerah medial sampai dorsal dan bagian ventral traktus spinoserebral. Jalur ini berfokus pada transmisi sensasi nyeri dan temperatur (suhu). Serabut-serabut saraf yang mengantarkan impuls pada jalur ini adalah serabut penghantar cepat tipe A delta dan serabut penghantar lambat tipe C yang badan selnya terdapat pada bagian dorsal ganglia saraf. Kedua jenis serabut saraf tersebut merupakan serabut yang tidak bermielin. Serabut tipe A-delta memiliki kemampuan konduksi sekitar 5 – 30 m/s. Serabut saraf tipe C memiliki kemampuan konduksi sekitar 0,5 – 2 m/s. Serabut penghantar cepat menimbulkan kewaspadaan pada individu terhadap permulaan nyeri tajam dan serabut penghantar lambat bertanggung jawab untuk timbulnya nyeri seperti rasa terbakar yang berlarut-larut. Cabang sentral memasuki medula spinalis melalui bagian lateral radiks posterior. Di dalam medula spinalis, cabang sentral ini terbagi menjadi kolateral pendek, longitudinal, dimana di atas 1 atau 2 segmen berhubungan sinaps dengan sel-sel saraf substansia gelatinosa (Rolandi). Cabang ini adalah ”neuron kedua” yang membentuk traktus spinotalamikus lateral. Serat-serat dari traktus ini juga menyilang komisura anterior dan berlanjut ke bagian lateral funikulus lateral dan ke atas ke talamus. Seperti serat funikuli posterior, kedua traktus spinotalamikus juga tersusun dalam urutan somatotopik yang berasal dari tungkai, terletak paling perifer dan yang berasal dari leher, terletak paling sentral (medial).(5,6)

Traktus spinotalamikus lateral menyertai lemnikus medialis pada waktu lemnikus spinalis melewati pusat otak. Traktus tersebut berakhir pada nukleus ventralis posterolateral dari talamus. Dari sini, “neuron ketiga” membentuk traktus talamokortikalis.(6)

Gambar 2. Lintasan-Lintasan Nyeri dan Suhu (Traktus Spinotalamikus Lateral). Dikutip dari kepustakaan Diagnosis Topik Neurologi, Anatomi, Fisiologi, Tanda, dan Gejala, Peter Duss.

Terminasi-Terminasi Lain Traktus Spinotalamikus Lateralis

Saat ini umumnya disetujui bahwa impuls nyeri naik melalui traktus spinotalamikus lateralis yang berjalan melalui dua lintasan. Nyeri tusuk dan tajam mulanya berakhir pada nukleus posterolateral ventral talamus dan kemudian direlay ke kortex cerebri. Rangsangan nyeri terbakar berakhir dalam formation retikularis yang kemudian mengaktivasi seluruh susunan saraf. Impuls inilah yang menimbulkan kewaspadaan seseorang terhadap cedera, meskipun tempat cedera terlokalisir kurang baik. Walaupun demikian mereka dapat membangkitkan susunan saraf dan menciptakan suatu rasa yang mendesak.(7)

GANGGUAN PADA TRAKTUS SPINOTALAMIKUS

A. Spinotalamikus Anterior

Kenyataan bahwa cabang sentral dari neuron pertama berjalan ke atas dan ke bawah di dalam funikulus, dan berhubungan melalui banyak kolateral dengan “neuron kedua”, merupakan alasan mengapa cedera bagian lumbal dan toraks dari traktus spinotalamikus biasanya tidak menyebabkan hilangnya sensasi taktil yang penting. Impuls dapat dengan mudah melintas daerah cedera. Jika kerusakan mencakup bagian servikal traktus spinotalamikus anterior, dapat menyebabkan hipestesia ringan pada tungkai kontralateral.(6)

Kerusakan traktus ini menimbulkan kehilangan sensibilitas raba dan tekanan ringan dibawah tingkat kontralateral terhadap lesi. Ingatlah bahwa rasa raba diskriminatif akan selalu terdapat, karena informasi ini dihantarkan melalui fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatus. Pasien tidak akan merasakan raba ringan dari sepotong kapas yang disentuhkan pada kulit atau tidak merasakan tekanan benda pada tumpul yang menyentuh.(4)

B. Spinotalamikus Lateralis

Jika traktus spinotalamikus lateral cedera, sensasi nyeri dan sensasi suhu akan rusak, meskipun tidak selalu dalam derajat yang sama. Jika traktus tersebut di potong (kordotomi), yaitu suatu operasi yang biasanya dilakukan bilatral untuk terapi nyeri yang hebat, nyeri tidak dapat dihilangkan secara total. Hasil ini menyatakan bahwa rangsangan nyeri juga dapat dikirim melalui neuron internunsial sepanjang jaras intrinsik fasikuli propii dari medula spinalis. Pemotongan traktus spinotalamikus lateral pada ventral substansia alba medula spinalis menghilangkan sensasi nyeri dan suhu kontralateral sekitar 1 sampai 2 segmen di bawah tingkat operasi.(6)

Kerusakan pada traktus ini menimbulkan kehilangan sensibilitas nyeri dan suhu di bawah tingkat lesi. Karena itu, pasien itu tidak akan memberikan respon terhadap tusukan jarum atau mengenali benda dingin dan panas yang mengenali kulit.(4)

KESIMPULAN

Traktus spinotalamikus adalah salah satu bagian dari traktus asenden medulla spinalis yang berfungsi sebagai jaras sensorik. Traktus spinotalamikus terdiri atas spinotalamikus anterior dan spinotalamikus lateral. Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba dan tekanan ringan, sedangkan traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan suhu. Secara anatomi traktus spinotalamikus anterior berawal dari kornu posterior medulla spinalis kemudian naik 1 atau 2 segmen sebelum menyilang di komissura anterior di depan kanalis sentralis ke sisi yang berlawanan dan berlanjut ke daerah perifer anterior dari funikulus anterolateral. Dari sini traktus ini berjalan naik ke nukleus ventralis talamus posterolateral, bersama dengan traktus spinotalamikus lateral ke talamus. Traktus spinotalamikus lateral berawal dari kornu posterior medulla spinalis kemudian menyilang di komissura anterior berlanjut ke funikulus lateralis dan berjalan ke atas ke talamus. Kerusakan traktus spinotalamikus anterior menimbulkan kehilangan sensibilitas raba dan tekanan ringan dibawah tingkat kontralateral terhadap lesi. Kerusakan pada traktus spinotalamikus lateral menimbulkan kehilangan sensibilitas nyeri dan suhu di bawah tingkat lesi. Karena itu, pasien itu tidak akan memberikan respon terhadap tusukan jarum atau mengenali benda dingin dan panas yang mengenali kulit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2003. Neurologi Klinis Dasar, hal 70-71. Jakarta: Dian Rakyat.

2. Sherwood,Lauralee.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi kedua. Jakarta : EGC.

3. Waxman, Tephen. 2003. Clinical Neuroanatomy, edisi 25. New York: McGraw-Hill.

4. Snell, Richard, editor: Sjamsir .1996. Clinical Noeuroanatomy For Medical Student “Neoroanatomi Klinik Snell”, edisi ke-2, hal 365-378. Jakarta: EGC.

5. Sidharta, Dewanto. 1986. Anatomi Susunan Saraf Pusat Manusia. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

6. Duss, Peter. 1996. Diagnosis Topik Neurologi, Anatomi, Fisiologi, Tanda, dan Gejala. Jakarta: EGC.

7. Adel K.Afifi, Ronald A.Bergman. 2004. Funtional Neuroanatomy text and Atlas 2nd Edition. Jakarta : Lange medical Book / MGraw-Hill.