PENDAHULUAN
Osteomyelitis merupakan inflamasi pada tulang yang disebabkan infeksi piogenik atau non-piogenik seperti Micobacterium tuberkulosa atau Staphylococcus aureus. Infeksi dapat terbatas pada sebagian kecil tempat pada tulang atau melibatkan beberapa daerah seperti sum-sum, perioesteum, dan jaringan lunak disekitar tulang.
Awal tahun 1900 sekitar 20% pasien dengan osteomyelitis meninggal dan mereka yang selamat mengalami morbiditas yang bermakna. Sekarang ini, mortalitas dan morbiditas akibat osteomyelitis relatif rendah karena metode penanganan yang modern, termasuk penggunaan antibiotik dan intervensi invasif. Kunci keberhasilan penatalaksanaan osteomyelitis adalah diagnosis dini dan operasi yang tepat serta pemilihan jenis antibiotik yang tepat. Secara umum, dibutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan ahli orthopaedi, spesialis penyakit infeksi, dan ahli bedah plastik pada kasus berat dengan hilangnya jaringan lunak.
PATOFISIOLOGI
Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa. Bakteri patogen yang menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi.
Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang dan melalui inokulasi langsung dari jaringan sekitar.
Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.
Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi.
KLASIFIKASI
Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme infeksi dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit dapat diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous. Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal. Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia. Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis. Sistem klasifikasi yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous).
A. Osteomyelits Hematogenous Akut
Osteomyelitis hematogenous akut merupakan tipe infeksi tulang yang paling sering terjadi dan seringkali ditemukan pada anak. Infeksi ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding dengan wanita di segala kelompok usia. Penyebab terjadinya Osteomyelitis hematogenous akut ini adalah bakteremia, dimana keadaan ini umum ditemukan pada anak. Pertumbuhan bakteriologis dalam tulang pada umumnya terkait dengan beberapa keadaan yaitu trauma, penyakit kronik, malnutrisi, dan sistem imun yang inadekuat. Pada beberapa kasus, penyebab pasti dari penyakit ini tidak dapat ditentukan.
Patofisiologi
Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut bergantung pada umur, daya tahan tubuh, lokasi infeksi serta virulensi kuman. Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus ke tempat yang lain dalam tubuh pada fase bakteremia dan dapat menimbulkan septikemia. Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam luksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di daerah metafisis disertai pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh daragh tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Di samping proses yang disebabkan diatas, pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam perosteum sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum di dalamnya. Apabila pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus dari involucrum kelual melalui lubang yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit.
Tahap selanjutnya, penyakit dapat berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronik yang disebut abses Brodi.
Infeksi ini pada umumnya melibatkan metaphyse dari tulang panjang yang sedang berkembang terutama pada pasien pediatrik. Invasi bakteri mengakibatkan reaksi radang yang dapat menyebabkan nekrosis iskemik lokal pada tulang dan pembentukan abses. Semakin abses membesar maka tekanan intramedullare semakin meningkat dan mengakibatkan iskemia kortikal, yang kemudian mengakibatkan materi purulen keluar dari korteks masuk kedalam ruang subperiosteal. Abses subperiosteal pun terjadi. Jika dibiarkan tanpa penanganan proses ini akan mengakibatkan pembentukan sequestra yang luas dan osteomyelitis kronik. Efek ostemyelitis hematogenous akut pada anak tergantung pada suplai darah dan struktur anatomis tulang
Anak yang lebih muda dari 2 tahun memiliki beberapa pembuluh darah yang melintasi physis dan memudahkan tersebarnya infeksi pada epiphyse. Karena alasan ini, balita cenderung mengalami deformitas atau pemendekan tungkai jika physis dan epiphyse rusak akibat infeksi tersebut. Physis berperan sebagai barrier yang mencegah penyebaran langsung abses dari metaphyse ke epiphyse. Metaphyse memiliki sel fagosit yang relatif rendah dibanding physe dan diaphyse, keadaan ini menyebabkan infeksi lebih sering terjadi pada daerah ini. Abses yang terbentuk akan merusak korteks metaphyse yang tipis dan membentuk abses subperiosteal. Diaphyse sangat jarang terkena dan sekuestrasi jarang terjadi kecuali pada kasus-kasus yang berat
Anak dengan usia diatas 2 tahun memiliki physe yang secara efektif menjadi barrier terhadap penyebaran abses metaphyse. Akan tetapi, karena korteks metaphyse pada anak yang lebih tua semakin tebal, bagian diaphyse memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi. Jika infeksi mengenai diaphyse, suplai darah pada endosteal dipertaruhkan. Dengan adanya abses periosteal, suplai darah periosteal akan rusak dan mengakibatkan penyebaran yang lebih luas dan osteomyelitis kronis jika tidak ditangani dengan tepat.
Dari penelitian yang dilakukan Riise et al total insiden tahunan terjadinya osteomyelitis pada anak adalah 13 dari 100.000 orang. Osteomyelitis paling sering terjadi pada anak dibawah 3 tahun.
Setelah physis menutup, osteomyelitis hematogenous akut lebih jarang terjadi. Penyebaran bakteri secara hematogenous di tulang pada orang dewasa hanya ditemukan pada keadaan imun yang buruk. Walaupun infeksi ini dapat terjadi pada tulang mana saja ditubuh, pada umumnya corpus vertebra yang terkena. Pada pasien ini, abses menyebar secara perlahan, dan sekuestrasi yang luas jarang terjadi. Jika destruksi lokal pada tulang kortikal terjadi, maka akan menyebabkan fraktur patologis.
Infeksi akan menyebabkan terkumpulnya sel-sel inflamasi dan jika tidak diterapi, sel-sel inflamasi akan menghasilkan purulen. Pus ini akan menyebar melaui tiga jalan : melalui physis, kearah diaphysis, atau disekitar korteks. Purulen ini cenderung untuk mencari jalan yang minimal resistensinya, melalui korteks metaphysis, selanjutnya terbentuk pus subperiosteal. Walaupun hal ini merupakan rute yang biasanya terjadi, anak yang lebih muda ( kurang dari 1 tahun) dengan pembuluh darah transphyseal yang intak akan menunjukkan penyebaran epiphyseal dengan membentuk abses epiphyseal.
Penyebaran infeksi pada sendi juga dipengaruhi oleh usia seseorang. Pada anak dengan usia dibawah 2 tahun, suplai darah metaphyse dan epiphyse melintasi physis, memudahkan penyebaran abses metaphyse pada epiphyse dan pada akhirnya pada sendi. Sendi panggul yang paling sering terkena pada pasien usia muda, akan tetapi, physe humerus proximal, kolum radius, dan fibula distal berada intraartikuler dan infeksi pada daerah ini dapat mengakibatkan arthritis septik. Pada anak dengan usia yang lebih tua, sirkulasi seperti ini tidak ditemukan lagi dan arthritis septik jarang terjadi. Setelah physe menutup, infeksi dapat menyebar secara langsung dari metaphyse ke epiphyse dan kemudian melibatkan persendian.
Staphylococcus aureus merupakan organisme yang paling sering menginfeksi anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan osteomyelitis. Bakteri gram negatif telah diketahui menjadi penyebab infeksi corpus vertebra pada orang dewasa. Pada bayi dengan ostemyelitis akut hematogenous, Staphylococcus aureus paling sering ditemukan, akan tetapi, kelompok streptokokkus dan koliform gram negatif juga sering didapati. Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif merupakan penyebab paling umum dari infeksi ortopedik pada bayi prematur yang dirawat pada Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Pada dasarnya penyebaran agen bakteri ini memiliki dua cara yaitu penyebaran umum dan penyebaran lokal. Penyebaran umum yaitu melalui sirkulasi darah akibat bakteremia dan septikemia dan melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah-daerah lain. Penyebaran lokal dengan adanya subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periosteum, selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit, penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septik, dan penyebaran ke medulla tulang sekitar.
Diagnosis
Evaluasi ostemyelitis hematogenous akut sebaiknya dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Gejala dan tanda dapat sangat beragam. Pada bayi, lansia, dan pasien dengan imunitas buruk, gambaran klinis minimal. Demam dan malaise dapat ditemukan pada stadium awal penyakit, namun kadangkala gejala ini juga tidak dirasakan. Adanya pembengkakan menandakan keadaan yang signifikan dimana sindrom kompartmen sering dilaporkan terjadi pada anak akibat osteomyelitis.
Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan adanya nyeri tekan pada palpasi daerah yang terinfeksi dan gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan bertambah berat jika terjadi spasme lokal. Gangguan pergerakan sendi juga dapat disebabkan oleh efusi sendi atau septik sendi.
Jumlah sel darah putih biasanya normal, akan tetapi nilai sedimentasi eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP) biasanya meningkat. CRP merupakan pengukuran respon fase akut dan berguna dalam mengawasi proses penyembuhan dari osteomyelitis akut karena nilainya kembali ke normal lebih cepat dibanding dengan ESR. Pada penelitian yang dilakukan oleh Orimolade et al pada pasien Osteomyelitis akut di Nigeria, ditemukan bahwa pasien osteomyelitis lebih cenderung mengalami anemia dibanding kelompok kontrol.
Gambaran radiologi polos biasanya tidak menunjukkan kelainan namun dapat ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Perubahan skelet seperti reaksi periosteal atau destruksi tulang biasanya tidak ditemukan pada foto polos hingga hari ke 10 dan 12 infeksi. Pemindaian tulang dengan menggunkan Technetium 99m dapat mengkonfirmasi diagnosis dalam 24 hingga 48 jam setelah terjadinya onset pada 90% hingga 95% pasien. MRI dapat memperlihatkan adanya perubahan akibat proses radang pada sum-sum tulang dan jaringan lunak.
Organisme penyebab dapat ditentukan pada sekitar 50% penderita melalui kultur darah. Aspirasi tulang biasanya memberikan diagnosis bakteriologis yang akurat dan sebaiknya dilakukan dengan abocath nomor 16 atau 18 pada tempat terjadinya pembengkakan dan nyeri yang maksimal, biasanya pada metaphyse tulang panjang. Ruang subperiosteal sebaiknya diaspirasi pertama kali dengan memasukkan jarum pada korteks bagian luar. Jika tidak didapatkan cairan atau material purulent, jarum diposisikan lebih dalam lagi untuk mengambil aspirat sum-sum tulang. Sampel yang diambil dikirim untuk dilakukan pewarnaan gram, kultur, dan tes sensitivitas antibiotik.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang tepat segera setelah onset osteomyelitis hematogenous akut dapat memperkecil morbiditas. Operasi dan penanganan antibiotik merupakan penatalaksanaan terpenting dan pada beberapa pasien, dengan pemberian antibiotik saja dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Pemilihan antibiotik berdasar pada aktivitas bakteriosidal yang terkuat, toksisitas yang paling rendah, dan pertimbangan sosioekonomi.
Telah lama diketahui bahwa abses yang meluas membutuhkan drainase operatif. Akan tetapi, daerah peradangan ringan tanpa pembentukan abses dapat ditangani hanya dengan antibiotik. Pada tahun 1983 Nade menjelaskan mengenai lima prinsip dasar penanganan osteomyelitis hematogenous akut yang masih dapat diterapkan hingga saat ini: (1) Pemberian antibiotik yang tepat akan efektif sebelum pembentukan pus; (2) antibiotik tidak dapat mensterilkan jaringan yang tidak memiliki vaskularisasi atau abses dan daerah tersebut membutuhkan penanganan operatif; (3) Jika operasi berhasil, maka antibiotik sebaiknya diberikan untuk mencegah pembentukan ulang dan jahitan luka primer harus terjamin aman; (4) operasi sebaiknya tidak merusak tulang atau jaringan lunak yang iskemik; (5) antibiotik sebaiknya tetap diberikan setelah infeksi.
Pasien dengan osteomyelitis hematogenous akut sebaiknya mendapatkan perawatan supportif standar termasuk pemberian cairan intravena, analgetik yang tepat, dan penempatan tungkai atau ekstremitas yang terkena yang nyaman. Pemeriksaan berkala yang rutin sebaiknya dilakukan. Jika abses yang membutuhkan drainase operatif tidak ditemukan dengan aspirasi sum-sum tulang atau subperiosteal, maka pemberian antibiotik intravena berdasarkan pewarnaan gram diberikan. Antibiotik dengan spektrum yang sempit khusus untuk bakteri penyebab sebaiknya diberikan jika pewarnaan gram negatif, dan keadaan pasien tetap dimonitor. Kadar CRP serum sebaiknya diperiksa 2 – 3 hari setelah pemberian awal antibiotik. Jika dalam waktu 24 hingga 48 jam, tidak ada respon klinis yang bermakna terhadap pemberian antibiotik, maka abses yang tak terlihat sebaiknya dicari dan drainase operatif dipertimbangkan. Terdapat dua indikasi utama untuk operasi pada osteomyelitis hematogenous akut yaitu (1) keberadaan abses yang membutuhkan drainase dan (2) keadaan pasien tidak membaik walaupun telah diberikan antibiotik yang tepat.
Tujuan dari operasi adalah untuk drainase rongga abses dan membuang seluruh jaringan nekrotik. Ketika abses subperiosteal ditemukan pada bayi, beberapa lubang kecil sebaiknya dibuka melalui korteks hingga mencapai kanal meduller. Jika pus intrameduller ditemukan, maka sedikit bagian dari tulang diangkat. Kulit kemudian ditutup dengan longgar dan pada tungkai diberikan splint. Tungkai tersebut dijaga selama beberapa minggu agar terhindar dari fraktur patologis. Antibiotik intraavena sebaiknya diberikan setelah operasi. Durasi dari terapi antibiotik kontroversial, akan tetapi, saat ini cenderung mengarah pada terapi antibiotik yang semakin pendek, diikuti dengan antibiotik oral dan pengawasan kadar antibiotik serum. Hal ini sebaiknya ditentukan berdasar pada kebutuhan tiap individu dan dengan konsultasi dari ahli penyakit infeksi.
Setelah operasi dilakukan, splint tungkai posterior panjang diberikan pada tungkai dalam posisi anatomis, tumit dengan posisi 90 derajat dan jika pada siku dengan fleksi 20 derajat. Setelah luka telah sembuh, splint dilepas dan pasien diminta menggunakan tongkat bantu. Pasien di follow up selama 1 tahun dengan pemeriksaan radiologik.
B. Osteomyelitis Hematogenous Subakut
Dibandingkan dengan oseomyelitis hematogenous akut, osteomyelitis subakut memiliki onset yang lebih mendadak dan kurang memiliki gejala yang jelas, sehingga membuat diagnosis menjadi sulit. Osteomyelitis subakut ini cukup sering ditemukan. Jones et al melaporkan bahwa 35% pasien mereka dengan infeksi tulang memiliki osteomyelitis subakut
Diagnosis
Karena perjalanan penyakit yang samar dari osteomyelitis, diagnosis biasanya ditegakkan setelah 2 minggu. Tanda dan gejala sistemik minimal. Suhu tubuh hanya sedikit naik atau tidak sama sekali. Nyeri dengan derajat ringan sedang merupakan tanda yang konsisten mengarahkan diagnosis. Sel darah putih biasanya normal. ESR meningkat hanya pada 50% pasien dan kultur darah biasanya negatif. Bahkan dengan biopsi atau aspirat tulang yang sudah adekuat, organisme patogen hanya ditemukan pada 60% pemeriksaan. Pemindaian tulang dan foto radiologi polos pada umumnya positif.
Lambatnya perjalanan penyakit pada osteomyelitis subakut ini kemungkinan diakibatkan oleh peningkatan resistensi host, penurunan virulensi bakteri, atau pemberian antibiotik sebelum onset gejala penyakit muncul. Berkembang spekulasi bahwa kombinasi dari dua organisme dengan virulensi yang rendah disertai dengan daya tahan tubuh yang kuat mengakibatkan adanya peradangan pada tulang tanpa adanya tanda dan gejala yang bermakna. Akan tetapi, diagnosis yang akurat sangat bergantung dari kecurigaan klinis dan penemuan radiologis.
Klasifikasi radiologik dari osteomyelitis hematogenous subakut dideskripsikan oleh Gledhill dan dimodifikasi oleh Robert et al. Membedakan lesi ini dari tumor tulang primer kadang sulit dilakukan. Diagnosis seringkali harus ditegakkan dengan biopsi terbuka dan kultur. Material purulen tidak selalu diambil pada biopsi, jaringan granulasi yang paling sering ditemukan. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis adalah organisme yang dominan ditemukan pada osteomyelitis subakut.
Ross dan Cole merekomendasikan biopsi dan kuretase diikuti dengan penanganan antibiotik untuk semua lesi yang terlihat agresif. Untuk lesi yang terlihat seperti abses ringan pada epiphysis dan metaphysis, biopsi tidak direkomendasikan. Lesi seperti ini, yang merupakan karakteristik dari osteomuelitis subakut, sebaiknya ditangani dengan antibiotik intravena dalam 48 jam pertama dilanjutkan dengan pemberian antibiotik oral selama 6 minggu. Ross dan Cole memiliki angka kesuksesan sebesar 87% dengan regimen penanganan ini. Pada tahun 1996, Hamdy et al meneliti 44 pasien dengan osteomyelitis subakut dan menemukan tidak ada perbedaan pada outcome antara penanganan konservatif dan operatif pada lesi yang tampak jinak. Mereka menyarankan biopsi terbuka dan kuretase hanya pada lesi yang tampak agressif atau untuk yang tidak berespon terhadap pemberian antibotik.
Abses Brodie
Abses Brodie merupakan bentuk terlokalisir osteomyelitis subakut yang terjadi paling sering pada ekstremitas bawah dari seorang dewasa muda. Sebelum penutupan epiphyseal, metaphysis paling sering terkena. Pada orang dewasa, osteomyelitis subakut ini didapatkan pula pada daerah metaphyse – epiphyse. Pada gambaran radiologi polos, abses Brodie ini pada umumnya menyerupai lesi litik dengan lapisan tulang sklerotik akan tetapi dapat pula memiliki beragam jenis bentuk. Pemeriksaan secara saksama pada foto polos sangat penting dilakukan karena abses Brodie sering menyerupai gambaran tumor pada tulang.
Lesi ini diperkirakan disebabkan akibat organisme dengan virulensi yang rendah. Staphylococcus aureus ditemukan pada 50% kultur pasien, dan dalam 20% kultur tidak ditemukan. Keadaan ini sering membutuhkan biopsi terbuka dengan kuretase untuk menegakkan diagnosis. Luka sebaiknya ditutup dengan longgar dan menggunakan drain.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan dapat berupa pemberian antibiotik yang adekuat selama 6 minggu. Apabila diagnosis meragukan maka dapat dilakukan biopsi dan kuretase. Walaupun gejala pasien dapat berkurang dengan pemberian antibiotik, penyembuhan radiologis tergolong lama yaitu selama 12 minggu, sehingga pada pasien Osteomyelitis subakut dibutuhkan follow-up yang cukup lama.
C. Osteomyelitis Kronik
Osteomyelitis kronik sulit ditangani dengan sempurna. Gejala sistemik mungkin dapat meringan, akan tetapi satu atau lebih fokus infeksi pada tulang memiliki material purulenta, jaringan granulasi yang telah terinfeksi, atau sequestrum. Eksaserbasi akut intermitten dapat terjadi dalam beberapa tahun dan seringkali membaik setelah beristirahat dan pemberian antibiotik. Tanda penting adanya osteomyelitis kronik adalah adanya tulang yang mati akibat infeksi di dalam pembungkus jaringan lunak. Fokus infeksi didalam tulang dikelilingi oleh tulang yang relatif avaskuler dan sklerotik, yang dibungkus oleh periosteum yang menebal dan jaringan parut otot dan subkutan. Pembungkus avaskuler jaringan parut ini dapat menyebabkan pemberian antibiotik menjadi tidak efektif.
Pada osteomyelitis kronik, infeksi sekunder sering terjadi dan kultur sinus biasanya tidak berkorelasi secara langsung dengan biopsi tulang. Beragam jenis bakteri dapat tumbuh dari kultur yang diambil dari sinus-sinus dan dari biopsi terbuka pada jaringan lunak sekitar dan tulang.
Klasifikasi
Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronik, berdasar dari kriteria anatomis dan fisiologis, untuk menentukan derajat infeksi.
Kriteria fisiologis dibagi menjadi tiga kelas berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A memiliki respon pada infeksi dan operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang terbatas dan penyembuhan luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan berpotensi lebih buruk dibandingkan keadaan sebelum penanganan, maka pasien digolongkan menjadi host kelas C.
Kriteria anatomis mencakup empat tipe. Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan pada endosteal. Pada tipe II, osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari tulang, dan infeksi terjadi akibat defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu infeksi terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas dengan sequestrasi kortikal tebal dan kavitasi (pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah ini tidak dapat menyebabkan instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik difus yang menyebabkan instabilitas mekanik, baik pada saat pasien datang pertama kali atau setelah penanganan awal.
Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan membentuk 1 dari 12 kelas stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh, lesi tipe II pada host kelas A dapat membentuk osteomyelitis stadium IIA. Sistem klasifikasi ini berguna untuk menentukan apakah penatalaksanaan menggunakan metode yang sederhana atau kompleks, kuratif atau paliatif, dan mempertahankan tungkai atau ablasi.
Diagnosis
Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis dan mikrobateriologis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak, menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status neurovaskuler tungkai. Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.
Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.
Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada osteomyelitis. Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada sinus.
Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding dengan bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan pengambilan yang meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini, memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun negatif palsu telah dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan pengambilan pada area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan Indium 111 lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.
CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang cukup baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra. Akan tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted.
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah biopsi dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan digunakan.
Gambar 3. Osteomyelitis pada pria berusia 84 tahun, foto CT Scantampak sagital (a) dan axial (b) memperlihatkan fraktur pada tulang metatarsal dan sesamoid. Selain itu terdapat reaksi periosteal dan erosi pada caput metatarsal yang mengindikasikan adanya osteomyelitis.
PenatalaksanaanOsteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak.
Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.
Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi .
a. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik
Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan lebih banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh ahli bedah yang kurang berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi. Infeksi sinus diberikan metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi dan eksisi.
Untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang yang terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan naikkan 1,3 hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal pada lokasi yang tepat dan angkat dengan menggunakan osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta, dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik membentuk kavitas didalam kanal meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk memberikan tempat bagi pembuluh darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir perbatasan antara tulang iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan, eksisi tepi tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga kosong atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler lokal atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika memungkinkan, tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang berlebihan. Jika penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di masa yang akan datang.
Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian dilindungi untuk mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode yang panjang dan dimonitor dengan ketat.
Gambar 4. Teknik sekuestrektomi dan kuretase. A. Daerah tulang yang terinfeksi dibuka dan sequestrum dibuang; B. Semua material yang terinfeksi dibuang; C. Luka dapat dibungkus terbuka atau ditutup dengan longgar dan memakai drain
Defek jaringan lunak dan tulang harus diisi untuk mereduksi kemungkinan infeksi lanjutan dan kerusakan fungsi. Beberapa teknik telah dideskripsikan untuk penanganan defek tersebut dan terbukti berhasil jika dilakukan dengan benar. Metode untuk mengeliminasikan ruang kosong tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bone graft dengan penutupan primer dan sekunder;
2. Penggunaan antibiotik polymethylsmethacrylate (PMMA) sebagai saringan temporer sebelum rekonstruksi,
3. Flap muskuler lokal dan skin graft dengan atau tanpa bone graft,
4. Transfer mikrovaskuler flap muskuler, myokutaneus, osseous, dan osteocutaneous, dan
5. Penggunaan transport tulang (Illizarof technique).
b. Graft Tulang Terbuka
Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;
2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya infeksi;
3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;
4. Drainase yang adekuat;
5. Immobilisasi yang adekuat;
6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.
Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.2,6
Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.
c. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer; jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.2,16
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik.
Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.
d. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)
Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%.
Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.
Beberapa penliti melaporkan angka keberhasilan yang tinggi pada penanganaan osteomyelitis kronik dengan penggunaan transfer jaringan bebas mikrovaskuler. Jaringan mikrovaskuler dapat mengandung otot yang menutupi skin graft atau flap myokutaneous, osseous, dan osteocutaneous. Debridement awal yang adekuat pada daerah yang terkena membantu meningkatkan angka keberhasilan teknik ini.
e. Teknik Lizarof
Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik dan nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang yang terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan hingga union dicapai. 2
Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden komplikasi yang terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi walaupun dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan pasien yang membutuhkan reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk tercapainya stabilitas.
KOMPLIKASI
Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab.
Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai berikut:
a. Abses Tulang
b. Bakteremia
c. Fraktur Patologis
d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)
e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.
f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.
PROGNOSIS
Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti virulensi bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien. Diagnosis yang dini dan penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan prognosis yang memuaskan dan sesuai dengan apa yang diharapkan meskipun pada infeksi yang berat sekalipun. Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan pun dapat berkembang menjadi infeksi yang berat dan meluas jika telat dideteksi dan antibiotik yang diberikan tidak dapat membunuh bakteri dan menjaga imunitas host. Pada keadaan tersebut maka prognosis osteomyelitis menjadi buruk.
PENCEGAHAN
Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer.
Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik, pembersihan daerah yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.