Rabu, 17 September 2008

Gaya Hidup Sehat

5 Kebiasaan Gaya Hidup Dapat Mengurangi Resiko Kematian

Penelitian Menunjukkan Perubahan Pola Hidup yang Sehat Menurunkan ResikoKematian pada Wanita

By Kelley Colihan
WebMD Health News

Translated by Husnul Mubarak,S.Ked

Sept. 16, 2008 – Peneitian tebaru menyatakan bahwa wanita paruh baya yang mengikuti beberapa kebiasaan gaya hidup tertentu memiliki resiko kematian lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menerapkannya

Peneliti dipimpin oleh Robert van Dam, Ph.D dari Harvard University's School of Public Health, yang melihat reiko kematian dari lima factor gaya hidup : merokok, menjadi overweight, aktvitas fisik yang rendah, penggunaan alcohol, dan pola makan yang buruk

Tim ini mewawancarai dan mengikuti 77.782 perawat wanita, dimulai pada tahun 1980. Pada permulaan, semua wanita ini bebas dari kanker dan tidak memiliki penyakit kardiovaskuler. Rentang umurnya berkisar dari 34 tahun hingga 59 tahun pada permulaan penelitian.

Peserta diberikan kuisoner dan di follow up setiap 2 tahun selama 24 tahun. Mereka ditanyakan mengenai kebiasaan gaya hidup, apakah mereka merokok, berolahraga secara teratur, apa yang mereka makan, apakah mereka meminum alcohol, dan seberapa besar berat badannya.

Terdapat 8.882 kematian selama 24 tahun. Dari angka kematian ini diketahui :

1. 1790 akibat penyakit kardiovaskuler

2. 4527 akibat kanker

3. 55% dari kematian inididuga berkaitan dengan merokok, kurangnya aktivitas fisik, overweight, dan diet berkualitas rendah(pola makan yang buruk)

  • 28% dari kematian ini berkaitan dengan merokok

Memiliki keseluruhan dari 5 faktor resiko meningkatkan resiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler sebesar 8 kali dibandingkan pada mereka yang sama sekali tidak memiliki salah satu factor resiko diatas. Resiko kematian akibat kanker tiga kali lebih besar dan kematian akibat sebab apapun adalah 4 kali lebih besar.

Wanita dengan intake alcohol yang moderat, didefinisikan paling banyak satu kali minum satu hari, mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk meninggal akibat penyakit kardiovaskuler disbanding mereka yang tidak mengkonsumsi alkohol sama sekali.

Penelitian ini menuliskan bahwa penemuan ini sebaiknya menjadi sebagai peringatan kepada masyarakat untuk merubah pola hidup yang buruk seperti berhenti merokok.

Selasa, 16 September 2008

Penatalaksanaan Osteoporosis

Panduan Terbaru Penatalaksanaan Osteoporosis
Perencanaan Penanganan Obat Sebaiknya Mempertimbangkan Resiko dan Manfaat untuk Tiap Individu
By Caroline Wilbert
WebMD Health News
Translated by Husnul Mubarak,S.Ked

Sept. 15, 2008 -- Obat bermanfaat untuk menanganani osteoporosis, dan memikirkan obat yang mana yang akan diresepkan berarti mengevaluasi plus dan minus dari tiap pilihan untuk tiap pasien, berdasarkan rekomendasi terbaru dari The American College of Physicians.

Semakin menua seseorang, maka tulang mereka akan semakin kurang padat dan kecenderungan fraktur semakin tinggi. Pada bentuk yang berat, kondisi ini diketahui sebagai osteoporosis. Osteoporosis biasnya dialami wanita setelah menopause, walaupun pria juga kadang mendapatkannya.

American College of Physicians membuat rekomendasi baru dibawah ini :

* Dokter sebaiknya menawarkan obat kepada seseorang yang telah diketahui mengalami osteoporosis dan seseorang yang telah mengalami apa yang disebut fraktur kerapuhan -- ketika tulang patah tanpa ada trauma yang bermakna.

* Dokter sebaiknya mempertimbangkan penanganan preventif pada pasien yang memiliki resiko mendapatkan osteoporosis.

* Dokter sebaiknya berperan dalam penilaian resiko dan manfaat individual ketika memilih diantara pilihan penanganan obat untuk osteoporosis

* Penelitian tambahan sebaiknya dilakukan untuk menginvestigasi penanganan osteoporosis pada pria dan wanita.

Peneliti secara kolektif mengulas data dari beberapa penelitian obat yang berbeda dan pada akhirnya membentuk panduan yang berdasarkan bukti (evidence-based)

Hal-hal penting yang ditemukan dari pengulasan data penelitian tersebut adalah :

* Bisphosphonates digunakan untuk prevensi atau penanganan osteoporosis. Obat ini mengurangi fraktur, namun tidak terdapat informasi yang baik mengenai seberapa lama seseorang sebaiknya mengkonsumsi obat ini. Efek samping obat ini termasuk refluks asam, dan masalah pada oesofagus; efek samping yang jarang namun serius adalah kerusakan tulang rahang
* Estrogen mengurangi insiden fraktur namun meningkatkan resiko beberapa jenis kanker, stroke, dan endapan darah.
* Obat non-estrogen yang berfokus terhadap reseptor estrogen (juga diketahui sebagai SERM, atau selective estrogen receptor modulator) mencegah fraktur spinal namun tidak mengurangi kecendrungan fraktur pinggul. Efek samping termasuk endapan darah (blood cloth).

* Kalsitonin digunakan untuk penanganan. Penulis mencatat bukti bahwa obat ini mngurangi insiden fraktur spinal, walaupun bukti menyatakan kalsitonin tidak mengurangi jenis fraktur lainnya. Tidak ada efek samping bermaka yang diketahui dari panduan ini.

* Teriparatide digunakan untuk penanganan osteoporosis. Obat ini mencegah fraktur spinal, namun bukti terhadap jenis fraktur yang lainnya menunjukkan hasil yang beragam. Tidak ada efek samping bermakna yang diketahui pada panduan.

* Vitamin D dan suplemen kalsium, jika dikonsumsi bersamaan, memiliki efek yang cukup terhadap fraktur. Tidak jelas seefektif bagaimana jika kombinasi obat tersebut dikonsumsi sendiri-sendiri

Sabtu, 13 September 2008

Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Linus Santo Tomas - Kochar's Clinical Medicine for Students, 5th Edition
Translated by Husnul Mubarak,S.Ked

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK/COPD – Chronic Obstructive Pulmonary Disease ) merupakan suatu kelompok gangguan pulmoner yang ditandai dengan adanya obstruksi permanent (irreversible) terhadap aliran ekspirasi udara. Peradangan kronis. Sebagai respon dari asap rokok yang dihisap, gas beracun, dan debu, merusak saluran napas dan parenkim paru. PPOK dahulunya diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal yang abnormal.

Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena asma merupakan sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan asma berbeda dengan PPOK. Hiperresponsif bronchial (didefinisikan sebagai perubahan periodic pada forced expiratory volume dalam waktu 1 detik [FEV1]), dapat ditemukan pula pada PPOK walaupun biasanya dengan magnitude yang lebih rendah dibanding pada asma. Perbedaan utama adalah asma merupakan obstruksi saluran napas reversible, dimana PPOK merupakan obstruksi saluran napas yang permanent. Selain itu terdapat perbedaan manifestasi lainnya antara asma dengan PPOK yang ditunjukkan pada tabel 1. Namun demikian, penelitian telah mengindikasikan pengendalian asma kronis yang buruk pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan obstruksi saluran napas yang persisten, sehingga dalam kasus seperti ini asma telah berevolusi menjadi PPOK tanpa adanya riwayat merokok.

Etiology

Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease.

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Tabel 2).

Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.

Tabel 1 Perbandingan gejala antara PPOK dan asma


PPOK

Asma

Riwayat Klinis

Onset biasanya pada usia tua.

Riwayat paparan rokok.

Tidak ada riwayat atopik pada keluarga.

Variasi diurnal tidak begitu jelas.

Onset biasanya pada umur yang lebih muda

Paparan allergen.

Riwayat atopi atau asma pada keluarga.

Berkaitan dengan pola nocturnal dan memberat pada pagi hari.

Tes Diagnostik



Spirometri

Kapasitas
Radiology

Obstruksi tidak reversible sepenuhnya
Berkurang (dengan emphysema)
Hiperinflasi cenderung lebih persisten. Penyakit bullous dapat ditemukan

Obstruction dapat reversible sepenuhnya
Biasanya normal
Hiperinflasi hanya pada eksaserbasi, namun normal di luar serangan

Pathology

Metaplasia kelenjar mucus
Kerusakan jaringan alveolar (emphysema)

Hyperplasia kelenjar mucus
Struktur alveolar utuh

Inflamasi

Makrofag dan neutrofil mendominasi

Limfosit CD8+

Sel Mast dan eosinophils mendominasi
Limfosit CD4+

Penatalaksanaan



Kortikosteroid Inhalasi
Leukotriene modifier
Anticholinergic inhalasi

Untuk kasus sedang hingga berat

Tidak direkomendasikan

Digunakan untuk maintenance dan selama eksaserbasi

Untuk kasus ringan hingga berat persisten
Digunakan sebagai medikasi pengontrol
Hanya digunakan pada eksaserbasi. Tidak diindikasikan untuk maintenance

Tabel 2 Patogenesis PPOK

Mekanisme Patogenik

Perubahan Patologis

Konsekuensi Fisiologis

Peradangan
Proteinase vs. antiproteinase
Stress oxidative

Saluran napas pusat

Saluran napas perifer

Vaskuler Pulmoner

Hipersekresi Mukus

Disfungsi silier

Pertukaran gas abnormal

Hipertensi Pulmoner

Efek Sistemik

Faktor Resiko PPOK

Merokok sekarang ini merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya PPOK di negara maju. Sebanyak 85% hingga 90% pasien dengan PPOK memiliki riwayat merokok. Namun dilain pihak, hanya 15% dari perokok yang akan mengidap PPOK, mengindikasikan sepertinya terdapat faktor konstitusional atau genetic yang menentukan resiko berkembangnya obstruksi saluran napas pada seseorang. Defisiensi α1-anti-trypsin merupakan satu-satunya faktor resiko terkait genetic yang diketahui sampai saat ini, namun kecendrungan PPOK untuk berkembang pada keluarga tertentu mengindikasikan terdapat faktor herediter lainnya yang belum teridentifikasi. Polusi udara seperti paparan okupansional terhadap debu dan gas telah terkait dengan perkembangan PPOK. Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk adanya hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru pada janin, dan status sosioekonomi rendah.

Manifestasi klinis

Gejala cardinal dari PPOK adalah batuk dan ekspektorasi, dimana cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan adanya pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada awalnya intermitten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.

Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara. Pada penyakit yang moderat hingga berat , pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang berkomplikasi menjadi hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda gagal jantung kanan (termasuk distensi vena sentralis, hepatomegali, dan edema tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada jari bukan ciri khas PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada ganguan lainnya, terutama karsinoma bronkogenik.

Diagnosis

Riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik yang mendetail penting untuk menegakkan diagnosis PPOK. Akan tetapi pemeriksaan fungsi paru sangat penting untuk diagnosis Pemeriksaan Fungsi Paru

Diagnosis PPOK didukung dengan penemuan obstruksi saluran udara persisten dengan menggunakan spirometri setelah pemberian bronkodilator (didefinisikan dengan FEV1/FVC kurang dari nilai prediksi ). Pengukuran volume paru dapat memperlihatkan adanya peningkatan pada volume residual dan kapasitas total paru walaupun diagnosis obstruksi saluran napas hanya dapat diketahui dengan keberadaan abnormalitas FEV1/FVC. Kapasitas keseluruhan karbon dioksida biasanya menurun dengan adanya emfisema namun normal pada pasien dengan bronchitis kronik.

Fungsi pulmoner biasanya menurun secara progresif dan walaupun diprediksi kurang akurat pada pasien tertentu, nilai rata-rata tahunan penurunan FEV1 yaitu 50 hingga 100 mL. Penurunan FEV1 dipercepat pada pasien yang tetap merokok. Aktivitas menurun secara bermakna ketika FEV1 hanya berkisar 1 L. FEV1 pasca bronkodilator, performa setelah berjalan selama 6 menit, derajat sesak napas, dan index massa tubuh telah diidentifikasi sebagai predictor harapan hidup.

Thorax Radiograph dan Pemeriksaan lainnya

Foto Thorax (CXR/chest X-Ray) memperlihatkan hiperinflasi paru, diafragma datar, bayangan jantung menyempit, gambaran bullous pada proyeksi frontal, dan peningkatan ruang udara interkostal pada proyeksi lateral. Akan tetapi, foto thorax dapat normal pada stadium awal penyakit ini dan bukan tes yang sensitive untuk diagnosis PPOK. Perubahan emfisematosa lebih mudah terlihat pada CT-Scan thorax namun pemeriksaan ini tidak cost-effective atau modalitas yang direkomendasikan untuk skrining PPOK. Walaupun pencitraan dapat memperlihatkan keberadaan PPOK, hanya spirometri yang merupakan standar kriteria untuk menegakkan diagnosis obstruksi saluran napas.

Analisa gas darah juga direkomendasikan ketika FEV1 bernilai 40% di bawah nilai prediksi, dengan adanya tanda cor pulmonale dan selama eksaserbasi akut berat untuk menilai oksigenasi dan kemungkinan adanya hiperkapnia.

Pemeriksaan α1-antitrypsin juga direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan umur yang lebih muda dibanding rata-rata (<45>

Penatalaksanaan

Panduan konsensus penanganan terkini bergantung pada tingkat keparahan PPOK, yang diketahui dari FEV1 (Gambar 1). Intervensi satu-satunya sejauh ini yang telah terbukti memperbaiki harapan hidup adalah berhenti merokok dan terapi oksigen jangka panjang (LTOT/Long-Term Oxygen Therapy) untuk pasien dengan hypoxemia yang bermakna pada saat istirahat. Maka dari itu, pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Pasien yang tidak merokok dihindarkan dari paparan polusi lingkungan atau okupansional yang diduga merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan penyakitnya. Vaksinasi influenza sebaiknya diberikan tiap tahun, biasanya pada musim semi awal. Vaksin pneumokokus direkomendasikan ; imunitas semakin menurun setelah 5 tahun dan revaksinasi mungkin dibutuhkan pada pasien dengan resiko tinggi infeksi pneumokokkus serius.

Gambar 1. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK dan pilihan terapi. (Diadaptasi dari Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD, Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006. Available from: http://www.goldcopd.org, with permission).

Bronkodilator

Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen kerja singkat dan kerja panjang dan terbagi lagi menjadi tiga kelas farmakologis utama (Tabel 3). Bronkodilator kerja singkat mungkin satu-satunya merupakan medikasi yang diperlukan untuk meringankan gejala pada pasien dengan penyakit ringan. Dengan meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja panjang mungkin dapat memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama. Semua pasien simptomatik dengan diagnosis PPOK sebaiknya diberikan inhalasi bronkodilator percobaan, tak peduli apakah hasil spirometri memperlihatkan respon bronkodilator yang bermakna atau tidak.

Antikolinergik dapat digunakan sebagai penanganan lini pertama untuk PPOK. Ipratropium bromide merupakan antikolinergik kerja singkat yang buruk diabsorbsi oleh saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan memiliki sedikit efek terhadap klirens mukosilier. Tiotropium merupakan antikolinergik kerja panjang yang telah terbukti mempertahankan FEV1 yang tinggi. Penggunaan antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak seefektif penggunaannya pada asma.

β2-agonis diduga menyebabkan bronkodilatasi dengan menstimulasi adenyl cyclase dan meningkatkan cyclic adenosine monophosphat (cAMP) intraseluler. β2-agonis dapat diberikan dengan kombinasi antikolinergik untuk mengoptimalkan efek bronkodilator.

Bronkodilator dapat diberikan dengan inhaler dosis terukur (MDI/meter-dosed inhaler) menggunakan peralatan tertentu atau sebagai inhaler bubuk kering (DPI/dry-powder inhaler), yang memberikan dosis terukur, pemberian ditargetkan pada saluran napas sehingga meminimalisir efek samping sistemik. Nebulizer memberikan dosis yang lebih besar, menggunakan alat yang besar, dan membutuhkan keterampilan dalam perawatan mesin dan penggunaan medikasi. Maka MDI yang digunakan pada spacer device merupakan metode yang lebih dipilih dalam pemberian medikasi inhalasi.

Methylxanthines

Theophylline telah menunjukkan meringannya gejala PPOK namun obat ini memiliki masa terapeutik yang singkat. Maka bronkodilator lainnya, jika tersedia, lebih dianjurkan. Theophylline diduga memberikan manfaat dengan inhibisi phosphodiesterase dan meningkatkan kadar cAMP. Obat ini juga diperkirakan meningkatkan kontraktilitas diaphragma dengan meningkatkan aliran darah diaphragma. Efek beneficial pada fungsi diaphragma ini dapat meminimalkan atau mencegah kelelahan diaphragma atau kegagalan respiratorik pada PPOK berat. Monitoring kadar obat secara periodic dan penggunaan preparat lepas-lambat direkomendasikan

Table 3 Bronchodilators

Kerja Singkat

Kerja Panjang

β2-agonis

Albuterol
Fenoterol
Metaproterenol
Pirbuterol
Terbutaline

Formoterol
Salmeterol

Antikolinergik

Ipratropium
Oxytropium
Methylxanthines
Aminophylline
Theophylline

Tiotropium

Table 4 Indikasi penggunaan terapi oksigen jangka panjang berkelanjutan

Tekanan resting arterial parsial oksigen sebesar <55>

  1. Bukti cor pulmonale pada EKG
  2. Erithrosithemia dengan hematocrit >56%
  3. Edema akibat congestive heart failure

Kortikosteroid

Kortikosteroid inhalasi sebaiknya dipertimbangkan pada PPOK kasus berat hingga sangat berat (FEV1 <50% style=""> pada pasien asma.

Rehabilitasi Pulmoner

Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan kesulitan pernapasan lainnya) program yang komprehensif pada rehabilitasi pulmoner dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi psikososial, dan kualitas hidup. Program ini tidak memperpanjang hidup atau fungsi pulmoner, namun telah terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.

Terapi Oksigen Jangka Panjang (Long Term Oxygen Therapy/LTOT)

Oksigena merupakan medikasi inhalasi dan LTOT dapat memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien tertentu dengan PPOK (Tabel 4). Kriteria untuk menggunakan oksigen bukan berdasar pada sesak napas namun lebih dari hasil pemeriksaan baku untuk hypoxemia pada saat istirahat dan beraktivitas yang dilakukan pada laboratorium fungsi pulmoner. Sesak napas tidak selalu berkaitan dengan hypoxemia; banyak pasien sesak namun tidak hypoxemic dan banyak pula pasien yang hypoxemia namun tidak mengalami sesak napas. Terdapat kriteria LTOT yang diakui secara meluas untuk pasien PPOK berdasarkan kadar hypoxemia. LTOT sebaiknya digunakan setidaknya 15 jam per hari untuk memperoleh manfaat harapan hidup. Terapi ini biasanya dilakukan dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan sumber oksigen. Terdapat unit oxygen yang sangat portabel dan alat yang membantu pengaliran oxygen ini.

Penanganan Invasif

Bullectomy, Bedah reduksi volume paru, dan tranplantasi paru merupakan opsi bedah yang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan PPOK yang sangat berat. Rujukan kepada spesialis bedah thorax diindikasikan untuk menilai lebih lanjut kecocokan prosedur ini untuk pasien.

Penanganan Eksaserbasi

Pada umumnya, semakin FEV1 menurun maka eksasebasi lebih sering terjadi. Kebanyakan dipresipitasi oleh infeksi respiratorik yang biasanya akibat virus namun dapat pula akibat bakteri yang biasanya sering ditemukan pada saluran napas bagian atas. Eksaserbasi moderat atau berat ditandai dengan memburuknya dyspnea, batuk, dan peningkatan produksi dan purulensi dari sputum yang membaik jika diberikan antibiotic yang mencakup Haemophilus influenzae, pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis. Cakupan antibiotic pseudomonas aeruginosa perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah mengalami eksaserbasi sebanyak tiga kali atau lebih pada tahun sebelumnya. Kortikosteroid oral dan intravena diberikan pada eksaserbasi berat yang telah dijelaskan di atas. Ventilasi positif mekanik noninfasif sebaiknya dipertimbangkan karena dapat mencegah dilakukannya ventilasi mekanik invasive (yang membutuhkan intubasi) pada beberapa pasien.

Senin, 08 September 2008

Obesitas dan Olahraga

Olahraga Dapat Mengatasi Gen Obesitas

Penelitian Menunjukkan Aktivitas Fisik Dapat Menurunkan Predisposisi Genetik terhadap Obesitas

By Caroline Wilbert
WebMD Health News
Translated by Husnul Mubarak, S.Ked

Sept. 8, 2008 -- Walaupun genetik berperan dalam obesitas, penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivitas fisik reguler dapat menumpulkan efek dari predisposisi genetik untuk menjadi gemuk.

Beragam gen-gen tertentu, yang diketahui sebagai gen pengatur massa lemak dan terkait obesitas (FTO), secara luas dipahami mempunyai hubungan terhadap index massa tubuh, berdasar dari materi latar belakang dari penelitian ini, yang dipublikasikan dalam Archieves of Internal Medicine.

Evadnie Rampersaud, MSPH, PhD, yang berasal dari University of Maryland School of Medicine dan sekarang University of Miami, bersama rekannya menganalisa bagaimana gaya hidup mempengaruhi berat badan seseorang yang telah memiliki predisposisi genetik untuk menjadi gemuk.

Peneliti menganalisa sampel DNA dari 704 orang dewasa sehat, dikumpulkan antara tahun 2003 dan 2007. Partisipan juga menjalani tes psikologis, termasuk pengukuran aktivitas fisik dengan menggunakan accelerometer,yang dikenakan partisipan di tubuh mereka selama satu minggu. Instrumen ini mengukur tingkat aktivitas partisipan dalam interval 15 detik.

Partisipan rata-rata berumur 44 tahun; 53% pria. 44 persen dari pria tersebut overweight (IMT 23 kg/m2 - 25 kg/m) dan 10% obesitas ( IMT > 25 kg/m2) .Sekitar 64% wanita overwight dan 31% obese.

Kelompok ini dibagi menjadi kelompok dengan tingkat aktivitas yang tinggi dan yang rendah. Pada kelompok dengan aktivitas tinggi membakar 900 kalori lebih banyak per harinya dibandingkan dengan kelompok dengan aktivitas rendah. Menurut para peneliti ini sama saja dengan aktivitas fisik intensif moderat (jalan cepat, berkebun, atau membersihkan rumah) selama tiga hingga empat jam

Penelitian juga memperlihatkan, seperti yang telah dilakukan peneliti sebelumnya, bahwa seseorang dengan variasi gen FTO tertentu cenderung untuk menjadi overweight. Akan tetapi, peniliti menemukan bahwa walaupun telah terpredisposisi genetik untuk menjadi obesitas, gen ini tidak memiliki efek apapun terhadap mereka yang memiliki aktivitas fisik diatas rata-rata.

Karena obesitas telah menjadi perhatian kesehatan global, pemahaman terhadap setiap aspek gen FTO menjadi penting, kata peneliti. Varian dari gen FTO sering ditemukan -- sekitar 30% populasi eropa memiliki varian tersebut, menurut penelitian ini. Variasi genetik terkait dengan resiko obesitas yang 20% lebih besar, tulis peneliti.

Penyusun penilitian menyimpulkan, "Penemuan ini menekankan peran penting dari aktivitas fisik dalam usaha kebijakan kesehatan untuk memerangi obesitas, terutama pada seseorang yang beresiko secara genetik. "

Minggu, 07 September 2008

Retinopati Diabetik Nonproliferatif

Retinopati Diabetik Nonproliferatif
Terjemahan dari Quillein DA. Clinical Retina 2002.

Retinopati diabetic merupakan penyakit vaskuler retina yang paling sering terjadi. Penyakit ini merupakan penyebab utama kebutaan baru pada orang dewasa pada umur 30 hingga 60 tahun. Resiko retinopati diabetic terkait banyak faktor, termasuk lama diabetes dan tingkat pengendalian diabetes. Faktor tambahan lainnya, yaitu hipertensi tidak terkendali, hyperlipidemia, cairan intravaskuler overload, penyakit ginjal, anemia, kehamilan, dan operasi intraokuler dapat meningkatkan resiko dan tingkat keparahan dari retinopati diabetic.Retinopati diabetic nonproliferatif (NPDR/Nonproliverative diabetic retinopathy) merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada retinopati diabetic.

Gejala

Kebanyakan orang dengan NPDR tidak mengalami gejala ataupun dengan gejala yang minimal pada fase preklinik sebelum masa dimana telah tampak lesi vaskuler melalui ophtalmoskopi Pasien biasanya tidak mengeluhkan penurunan penglihatan hingga retinopati nonproliferatif moderat berkembang dengan adanya onset edema atau iskemia pada macula

Gambaran Klinis

Pada fase preklinis, evaluasi klinis standar dengan ophtalmoskopi dan angiography fluoroscein masih normal. Akan tetapi, pasien mungkin memiliki gangguan fungsi retina sebagaimana dibuktikan dengan pemeriksaan elektroretinography, sensitivitas kontras, atau pemeriksaan penglihatan warna. NPDR ditandai oleh keberadaan mikroaneurisma, perdarahan intrarenal, exudat lipid, dan cotton woll spots. Ketika kondisi memburuk, vasodilatasi semakin meningkat dan vaskuler menjadi semakin berkelok-kelok. Sirkulasi retina secara normal meregulasi suplai darah untuk memenuhi kebutuhan metabolic, seperti pada otak. Namun pada retinopathy yang progresif mekanisme regulasi ini berlebihan, terutama dengan peningkatan tekanan darah sistemik, cairan intravaskuler overload, atau hipoalbuminemia. Kemudian dinding pembuluh darah bocor, sehingga edema terkumpul pada edema (edema macula), yang ditandai dengan ruang cystic, penebalan retina, dan deposit lipoprotein (“hard” exudates).
Gambar 1. Penemuan klinis pada Retinopati diabetic nonproliferative termasuk mikroaneurisma, perdarahan intraretina, dan exudat lemak.

Gambar 2. Cotton wool spots umum terlihat pada pasien diabetic retinopathy. Gambaran Ini terlihat akibat adanya miroinfark pada lapisan serat saraf

Edema macula terkait dengan kasus kehilangan penglihatan pada NPDR. Istilah Edema macula bermakna klinis (CSME/Clinically significant macula edema) digunakan untuk mendeskripsikan mata yang beresiko mengalami kehilangan penglihatan terkait dengan edema macula. Edema macula bermakna klinis didefinisikan jika ditemukan salah satu dari tanda berikut ini : penebalan retina pada atau dalam jarak 500µm dari pusat macula, exudat lipid pada atau dalam jarak 500µm dari pusat macula disertai dengan penebalan retina disekitarnya, dan penebalan retina lebih besar dari 1 diskus diameter (DD) dalam jarak 1DD dari pusat macula.
Gambar 3. Penyebab utama gangguan penglihatan pada pasien dengan NPDR adalah edema macula. Edema macula disebabkan oleh adanya kebocoran vaskuler dan ischemia.

Tingkat keparahan dari NPDR dapat diperkirakan dengan menggunakan 4-2-1 rule. Mata dengan NPDR yang berat memiliki salah satu dari gambaran klinis dibawah ini : perdarahan bintik (dot blot haemorrhage) pada 4 kuadran, venous beading (penggelembungan vaskuler) pada 2 kuadran, dan abnormalitas mikrovaskuler intraretina pada 1 kuadran.

Pemeriksaan Penunjang

Angiography fluorescein dapat dilakukan untuk menentukan derajat perfusi macula dan mengidentifikai lokasi dan perluasan dari lesi yang dapat disembuhkan pada pasien dengan
CSME.

Pathogenesis

Manifestasi klinis dari retinopati diabetic disebabkan oleh kombinasi dari faktor sistemik dan okuler. Gejala retina diakibatkan adanya kerusakan dari sel glial retina, neuron, dan sel vaskuler retina. Sebagai contoh, faktor yang berperan terhadap kebocoran vaskuler (seperti vascular endothelial growth factor) berasal dari neuron dan sel glial. Kehilangan penglihatan disebabkan oleh kerusakan langsung maupun tidak langsung terhadap neuron. Sebagai tambahan, faktor sistemik, seperti hipertensi aatau overload cairan akan meningkatkan tekanan hidrostatik dan meningkatkan kecendrungan bocornya vaskuler.

Penanganan/Prognosis

Manifestasi fisiologis dari penjelasan gejala diatas merupakan prinsip dari terapi. Pertama, pengendalian metabolik sistemik primer harus dioptimalkan. Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) telah mengkonfirmasi manfaat dari pengendalian gula darah intensif dalam mengurangi perkembangan dan progresi retinopati diabetik pada seseorang dengan DM tipe 1. Hasil serupa telah dibuktikan pada pasien dengan DM tipe 2. Kedua, faktor resiko kardiovaskuler lainnya (hipertensi, overload cairan, hyperlipidemia, dan anemia ) harus dapat diatasi. Ketiga, proses okuler lokal akibat kebocoran vaskuler dapat diatasi dengan laser fotokoagulasi. Pada mata dengan CSME, Early Treatment Diabteic Retinopathy Study (Penelitian Penanganan Dini Retinopati Diabetik) menunjukkan bahwa laser fotokoagulasi makula mengurangi resiko kehilangan penglihatan moderat dengan persentasi lebih 50%. Fotokoagulasi makula untuk CSME melibatkan penanganan laser fokal untuk mikroaneurisma yang bocor dan laser fotokagulasi berpola garis pada edema makula difus.

Penilaian Sistemik

Perkembangan dan progresi retinopati diabetic dipengaruhi oleh banyak faktor. Pasien dengan diabetes sebaiknya menjalani pemeriksaan regular dan penanganan oleh endocrinologist untuk mengoptimalkan pengendalian diabetes dan memperbaiki keadaan medis secara umum.

Sabtu, 06 September 2008

Blepharitis

BLEPHARITIS

Terjemahan dari Vaughan & Asbury's General Ophthalmology 17th Edition

Blepharitis Anterior

Blepharitis anterior merupakan inflamasi kronik yang umum terjadi pada perbatasan kelopak mata. terdapat dua tipe yaitu staphylococcal dan sebrrhoik. Blepharitis staphylococcus dapat disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus, dimana biasanya bersifat ulseratif, atau Staphylococcus epidermidis atau staphylococci negatif coagulase. Blepharitis seborrhoik (nonulseratif) biasanya terkait dengan keberadaan Pityrosporum ovale, walaupun organisme ini belum terbukti bersifat kausatif. Seringkali, kedua tipe ditemukan (infeksi campuran). Seborrhoik pada kulit kepala, alis, dan telinga seringkali terkait dengan blepharitis seborrhoik.

Gejala utama adalah iritasi, perih, dan gatal pada batas kelopak mata. Mata berwarna sedikit kemerahan. Terlihat banyak sisik dan granulasi melekat pada bulu mata pada kelopak mata atas dan bawah. Pada tipe staphylococcal, sisik kering, kelopak mata memerah, sedikit area ulserasi ditemukan pada batas kelopak mata, dan bulu mata cenderung berguguran. Pada tipe seborrhoik, sisik terlihat berminyak, ulserasi tidak terjadi, dan kelopak marah sedikit memerah dibanding tipe staphylococcal. Pada tipe campuran, baik sisik kering dan berminyak terlihat dan batas kelopak mata memerah dan dapat berulserasi, S. aureus dan P. ovale dapat terlihat pada pewarnaan bagian yang dikerok dari kelopak mata

Blepharitis Staphylococcal dapat disertai (berkomplikasi) dengan hordeola, chalazion, keratitis epitel kornea, dan infiltrat kornea marjinal. Kedua bentuk blepharitis anterior ini merupakan predisposisi dari konunctivitis rekuren.

Kulit kepala, alis, dan kelopak mata harus dalam keadaan bersih, terutama pada tipe seborrhoik, dengan menggunakan sabun dan shampo. Sisik harus dibuang dari kelopak mata setiap hari dengan aplikator katun basah dan shampo baby.

Belpharitis Staphylococcal dapat diatasi dengan pemberian antibiotik antistaphylococcal atau salep mata sulfonamide diberikan pada aplikator katun setiap hari pada batas kelopak mata.

Tipe seborrhoik dan staphylococcal biasanya tercampur dan dapat menjadi kronik dalam periode bulan bahkan tahun jika tidak ditangani secara adekuat; konjuntivitis terkait infeksi staphylococcus atau keratitis biasanya menghilang setelah pengobatan antistaphylococcus lokal.

Blepharitis Posterior

Blepharitis Posterior merupakan peradangan pada kelopak mata akibat adanya disfungsi dari kelenjar meibom. Seperti blepharitis anterior, penyakit ini bersifat bilateral, kondisi kronik. Blepharitis anterior dan posterior dapat terjadi bersamaan. Derrmatitis seborrhoik biasanya terkait dengan disfungsi kelenjar meibom. Kolonisasi atau infeksi jenis staphylococcus seringkali menyebabkan penyakit kelenjar meibom dan dapat menjadi alasan terjadinya gangguan pada fungsi kelenjar meibom. Lipase bakteri menyebabkan peradangan pada kelenjar meibom dan konjungtiva dan gangguan pada organ lakrimasi

Blepharitis posterior mempunyai manifestasi klinis yang luas, yang melibatkan kelopak mata, apparatus lakrimalis, konjungtiva, dan kornea. Perubahan kelenjar meibom termasuk inflamasi pada orificium meibom (meibomianitis), tersumbatnya orificium oleh sekresi yang kering dan tebal, dilatasi kelenjar meibom pada sisi tarsal, dan produksi sekresi lembut, kental, lengket yang abnormal yang dapat menekan kelenjar. Hordeolum dan chalazion dapat terjadi. Batas kelopak mata hyperemis dan terdapat telangiektasis. Kelopak mata juga menjadi lebih bundar dan tertarik ke dalam akibat pembentukan jaringan parut pada konjunctiva tarsal, menyebabkan hubungan abnormal antara lapisan air mata prekornea dan orificium kelenjar meibom. Air mata dapat sedikit berbuih dan terlihat lebih berminyak. Hipersensitivitas pada staphylococci dapat menyebabkan keratitis epitelial. Kornea dapat mengalami vaskularisasi perifer dan penipisan, terutama pada bagian inferior.

Penanganan blepharitis posterior bergantung pada konjungtiva yang terkait dan perubahan kornea. Inflamasi pada struktur ini mengharuskan pengobatan aktif, termasuk antibiotik dosis rendah jangka panjang – biasanya dengan doxycycline (100mg dua kali sehari) atau eritromisin (250 mg tiga kali sehari), namun pemilihan anntibiotik juga perlu dipandu hasil kultur kelopak mata dan disertai dengan steroid topikal (jangka pendek), misal dengan prednisolone, 0, 125% dua kali sehari. Terapi topikal dengan antibiotik atau air mata tambahan biasanya tidak terlalu dibutuhkan dan dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada lapisan air mata dan reaksi toksik

Jumat, 05 September 2008

Rokok - Kanker

Kasus Kanker Akibat Merokok Mencapai 2 Juta Kasus
Data dari CDC, Lebih dari 2 juta Kasus Kanker Terkait Merokok Didiagnosis di Amerika Serikat (AS) dari Tahun 1999 hingga 2004
By Miranda Hitti
WebMD Health News
Translated by Husnul Mubarak

Sept. 4, 2008 -- Sekitar 2,4 juta kasus kanker akibat rokok terdiagnosis di AS dari tahun 1999 hingga 2004, seperti yang diumumkan CDC (Center for Disease Control and Prevention, suatu organisasi resmi AS yang bertujuan untuk pengendalian dan pencegahan penyakit) pada tanggal 4 September 2008.

Kanker paru dan bronchus paling banyak, terhitung setengah dari keseluruhan kasus yang terdiagosis, menurut CDC, data ini merupakan "Penilaian paling komprehensif hingga saat ini" menyangkut diagnosis kanker yang terkait dengan pemakaian rokok. "Penggunaan rokok merupakan penyebab penyakit dan kematian dini yang paling dapat dicegah di AS dan merupakan penyebab kanker yang paling jelas," Ucap Matthew McKenna,MD,MPH, direktur Bagian Rokok dan Kesehatan di kantor CDC, pada saat mengumumkan berita ini.

"Epidemiologi penggunaan rokok merupakan penyebab kanker terbesar ketiga di Amerika," tambahnya.

Laporan CDC ini berfokus pada kanker bronkus dan paru, kanker rongga mulut, kanker saluran kemih, acute myelogenous leukemia (AML), dan kanker larynx, pharynx, esofaugs, lambung, serviks, pankreas, dan ginjal.

Diagnosis kanker terkait penggunaan rokok paling sering ditemukan pada pria, populasi Africa-American dan non-Hispanik, dan usia dibawah 70 tahun. Secara geografis, diagnosis kanker paru dan laryng merupakan yang tersering di Selatan. Di Barat sendiri angka kanker lambung yang dominan sementara insiden kanker lainnya merupakan jumlah yang paling rendah dibanding daerah lain di AS.

Selasa, 02 September 2008

Vaksin HIV

Vaksin HIV : Tantangan dan Prospek
Perspektif Penulis

Sekarang kita telah memasuki dekade ketiga pandemik Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS, kita telah melihat kesuksesan dalam penanganan orang-orang yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Namun pandemik tersebut masih sangat merajalela, dengan 2,7 juta infeksi baru pada tahun 2007. Dari satu orang yang terinfeksi yang memulai terapi antiretroviral, terdapat 2,5 orang baru terkena infeksi HIV lagi. Di negara berkembang sendiri seperti Indonesia, pada tahun 2007 menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia, terdapat 169 orang tiap harinya terjangkit virus HIV dan tingkat kematian akibat AIDS mencapai 102 orang per hari. Peluang untuk mencegah dan menahan laju perkembangan penyakit ini telah menjadi prioritas intervensi kesehatan di seluruh dunia.

Secara historis, vaksinasi telah menjadi intervensi kesehatan masyarakat yang paling efektif untuk mencegah penyebaran infeksi virus. Namun vaksin HIV sejauh ini masih sangat tidak jelas dan telah banyak usaha yang mengecewakan dan membuat frustasi serta membuat orang berandai-andai apakah suatu saat nanti suatu vaksin yang efektif akan benar-benar masuk dalam kotak alat pencegahan HIV.

Walaupun banyak infeksi virus membuat penyakit yang berat dan bahkan berakhir pada kematian dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu, infeksi tersebut biasanya menginduksi sistem respon imun yang dapat menetralisir antibodi untuk mencegah replikasi virus dan limfosit T sitotoksik yang mampu mengenal dan mengeliminasi sel yang terinfeksi yang telah menjadi media bagi virus untuk beranak pinak. Respon imun tersebut dapat mengendalikan dan mengeliminasi virus secara efektif. Memori immunologis pun diciptakan dan seseorang yang telah terinfeksi akan memiliki imunitas pelindung terhadap infeksi berulang dari virus yang sama; imunitas ini biasanya sempurna dan dapat bertahan lama.

Biasanya, pengembangan vaksin berdasar dari eksperimen alamiah yang berhasil. Suatu pendekatan berulang dari riset fundamental digabung dengan pemeriksaan immunogen secara empiris menghasilkan identifikasi dari suatu produk yang, ketika diberikan dalam formulasi dan dosis yang tepat sebelum paparan, akan memicu respon imun yang menyerupai respon imun pada infeksi alamiah dan akan melindungi resipien dari penyakit ketika mereka terpapar virus yang telah dibuat vaksinnya tersebut. Secara historis, pengembangan vaksin sangat bergantung kepada kesuksesan suatu pemeriksaan empiris.

Namun keadaannya berbeda dengan infeksi HIV. Pada kebanyakan fase, respon imun alamiah terhadap HIV sangat tidak adekuat dan sekali infeksi primer terjadi, virus tidak akan dapat dieradikasi. Dengan pengecualian terhadap keadaan yang tidak biasanya, HIV berkembang sangat cepat dan tak terhentikan, serta tidak ada seseorang pun yang telah mengalami penyembuhan secara spontan. Tidak seperti virus lainnya dimana kita telah dapat mengembangkan vaksinnya, HIV secara cepat mengintegrasikan dirinya pada DNA sel tamu, dimana, pada beberapa sel, virus ini menjadi laten dan secara esensial tak terdeteksi sistem imun. Karena latensi ini berkembang sangat cepat - dalam beberapa hari hingga minggu setelah infeksi - celah kesempatan dimana HIV dapat memungkinkan untuk dieradikasi melalui respon imun sangat singkat. Setelah latensi terjadi, sampai sekarang tidak memungkinkan untuk menyingkirkan virus ini, meskipun pasien mendapatkan terapi antiretroviral yang sangat aktif selama periode yang berkepanjangan.

Kemampuan mutasi yang luar biasa dan mengakibatkan keragaman genetik yang dimiliki oleh HIV, yang secara substansial lebih kompleks dibandingkan virus lainnya yang menyerang manusia, menjadi hambatan yang sangat ditakuti oleh sistem imun. Ketika tubuh memproduksi antibodi yang ditargetkan terhadap protein permukaan luar envelope HIV, yang menjadi kunci bagi antibodi dalam penetralisiran, protein tersebut telah bermutasi sedemikian rupa sehingga antibodi yang bersirkulasi tidak lagi dapat mengeliminasinya. Antibodi yang baru pun diinduksi, namun mutasi baru pun terjadi kembali yang memudahkan bagi virus untuk menyerang balik sistem imun. Lebih lanjut lagi, walaupun antibodi penetralisir dapat dihasilkan sangat banyak oleh host dan kemudian dapat berpotensial menetralisir virus bahkan setelah bermutasi, hal ini sangat jarang terjadi in vivo dan sepertinya sangat sulit diinduksi, karena epitope virus cenderung terbentuk "bertopeng" dan tidak dapat secara langsung dikenali dan direspon oleh sistem imun.

Pendekatan awal empiris dengan imunisasi VacGen's AIDSVax, suatu rekombinan dari bagian luar glycoprotein-120 (gp120) dari envelope HIV, yang merupakan strategi kunci kesuksesan pengembangan vaksin Hepatitis B, gagal melindungi sukarelawan dari infeksi, kemungkinan karena vaksin tidak menginduksi antibodi penetralisir secara meluas3. Suatu kombinasi vaksin yang terdiri dari dosis prima Sanofi Pasteur's vCP 1521, suatu rekombinan vektor virus canarypox, diikuti dengan dosis boosting dari vaksin tersebut dan VaxGen's AIDSVax, dapat menginduksi baik sel T dan antibodi dan sekarang telah dicoba pada penilitian klinis berskala besar di Thailand; hasil peneliian diharapkan selesai pada tahun 2009.

Vaksin yang berhasil kemungkinan membutuhkan induksi antibodi yang meluas dan limfosit T sitotoksik. Karena penelitian sebelumnya masih belum jelas, tetapi, pendekatan empiris telah berfokus pada kandidat vaksin yang dapat menginduksi terutama pada limfosit T sitotoksik. Vaksin sedemikian rupa tidak diharapkan dapat mencegah infeksi namun paling tidak dapat mengendalikan kadar virus, mengurangi destruksi dini sel T CD4+ pada gut associated lympoid tissue (GALT), dan menunda progresi penyakit, seperti telah terlihat pada hewan primata percobaan. Lebih lanjut lagi, jika seseorang diimunisasi sebelum terpapar HIV dapat dibuat menjadi kurang infeksius karena jumlah virus yang telah berkurang, resiko dari transmisi sekunder dapat pula dikurangi. Namun beberapa peringatan perlu ditegaskan dalam hal ini.

Pertama, konsep bahwa suatu "Vaksin sel T" dapat mempengaruhi penyakit HIV pada manusia tetap tidak terbukti. Hanya satu vaksin sel T, vaksin Merck’s MRKAd5 HIV-1 gag/pol/nef trivalent, yang telah diperiksa, pada dua penelitian. Penelitian pertama, adalah STEP trial (ClinicalTrials.gov number, NCT00095576) dan dilakukan di Amerika Utara, Kepulauan Karibia, Amerika Selatan, dan Australia; Penelitian kedua, yang disebut, Phambili (ClinicalTrials.gov number, NCT00413725), dikerjakan di Afrika Selatan. Kedua penelitian berakhir sebelum jadwal ketika dara dari STEP trial menyimpulkan bahwa vaksin telah gagal mencegah infeksi HIV dan gagal pula menurunkan kadar virus pada sukarelawan yang divaksinasi dan menjadi terinfeksi. Secara tidak sengaja pula, diketahui dari analisa penelitian tersebut, menemukan kecenderungan peningkatan angka infeksi baru pada resipien vaksin dibandingkan dengan resipien plasebo. Resiko relatif tertinggi dari infeksi HIV diantara orang yang telah divaksin adalah pada pria, yang pada permulaan penilitan, belum menjalani sirkumsisi dan sebelumnya telah terjadi pembentukan antibody penetralisir secara alami terhadap vector vaksin, adenovirus tipe 5 - dimana tidak ada peningkatan resiko HIV yang terlihat pada pria yang telah disirkumsisi dan tidak ada antibody penetralisir terhadap adenovirus pada waktu penelitian.

Efektivitas dari respon imun terhadap vaksin sel T dapat bervariasi dari orang ke orang lainnya, seperti pada respon imun terhadap HIV, dan keragaman ini diduga sangat terkait dengan HLA haplotype 4. Sehingga, vaksin sel-T yang diharapkan dapat membantu tubuh untuk secara genetic memiliki kemampuan alamiah untuk berespon terhadap HIV, menghasilkan keragaman kadar pengendalian yang bergantung pada HLA haplotype seseorang. Dengan kata lain, vaksin tersebut hanya cocok dan efektif pada seseorang dengan HLA haplotype yang diinginkan.

Vaksin virus klasik, seperti vaksin polio, cacar, dan campak, memungkinkan seseorang yang divaksin untuk terhindar dari perkembangan klinis penyakit tersebut, untuk membersihkan infeksi secara sempurna, dan menjadi tetap terlindungi dari paparan ulang virus tersebut. Vaksinasi populasi dengan proporsi yang signifikan mengurangi angka infeksi pada populasi tersebut dan kecendrungan orang yang tidak tervaksinasi berkontak dengan orang yang terinfeksi. “Efek komunitas“ ini kemudian akan menghasilkan penurunan dramatis dari penyebaran infeksi bahkan hanya ketika sejumlah kecil orang yang divaksinasi. Jika vaksin HIV tidak dapat mencegah infeksi namun hanya memperlambat progresi penyakit dengan menurunkan jumlah virus, kemungkinan untuk transmisi sekunder hanya dapat diturunkan dan tidak dihilangkan. Beberapa derajat replikasi virus kemungkinan akan tetap ada. Mutasi HIV tak terhindarkan dan tak dapat dicegah sehingga terdapat kemungkinan virus ini akan lolos dari pengendalian sistem imun, dan meningkatkan kembali resiko transmisi sekunder. Sehingga "efek komunitas" dari vaksin sel T kemungkinan hanya bersifat sementara.

Kegagalan dari vaksin sel T yang pertama untuk mempengaruhi resiko infeksi atau jumlah virus mengharuskan perlunya peninjauan ulang terhadap titik target dari vaksin HIV, terutama keseimbangan antara riset penemuan fundamental dan lebih banyak usaha pengembangan empiris. Karena pendekatan empiris kurang begitu penting untuk HIV dibanding dengan virus manusia lainnya, karena secara fundamental HIV sangat berbeda dengan virus lainnya, pemeriksaan ulang ini telah mengarahkan kita akan perlunya menekankan pertanyaan fundamental terhadap penemuan vaksin HIV dan riset terkait dengan penemuan tersebut.

Pemahaman mengapa tubuh tidak dapat menciptakan antibodi penetralisir yang meluas selama infeksi alamiah kemungkinan menyimpulkan bahwa desain vaksin harus dapat menginduksi sistem imun seperti demikian. Intinya, kita harus berbuat lebih baik lagi dibandingkan dengan infeksi alamiah dalam hal menginduksi respon imun yang efektif. Keberadaan dari antibodi monoklonal langka yang memiliki kemampuan untuk menetralisir secara luas mengindikasikan bahwa induksi terhadap antibodi seperti itu seharusnya memungkinkan -walaupun kita selalu gagal untuk mencapainya. Sebagai contoh, kristallography x-ray telah menunjukkan bagaimana HIV menggunakan reseptor CD4 untuk menginvasi sel dan bagaimana antibodi b12-penetralisir yang meluas berikatan dengan situs ikatan-CD4 untuk dapat menetralisir HIV secara efektif. Menentukan struktur dari bentuk trimerik dari protein envelope sekarang ini merupakan prioritas riset dan diharapkan mampu menghasilkan pemahaman baru. Usaha untuk mendesain immunogen envelope terbaru termasuk dengan menggunakan "kerangka" protein yang tidak terkait dengan envelope HIV yang menargetkan "zona aman" (yang diciptakan untuk menghindari sistem imun oleh HIV) pada envelope ditambahkan, untuk memastikan terjadinya pengenalan dan paparan sistem imun terhadap HIV.

Kandidat vaksin yang menginduksi perluasan dari limfosit T sitotoksik reaktif dan antibodi penetralisir akan tidak efektif kecuali respon yang dihasilkan mampu mengenali virus selama masa kesempatan yang sempit sebelum latensi virus terjadi. Pemahaman yang lebih baik dari tahap infeksi dini HIV mungkin memperjelas peran dari respon imun mukosa dan innate terhadap pengendalian virus HIV dan menunjukkan bahwa ternyata respon sedemikian dapat dimanipulasi -untuk memperluas periode emas dalam eradikasi virus ini, dan untuk mencegah HIV berlanjut ke gut-associated lymphoid tissue (GALT), atau keduanya.

Kita mungkin tidak mampu mengembangkan vaksin HIV yang sangat efektif seperti vaksin-vaksin virus lainnya. Tetapi jika kita ingin mampu, kita akan menghadapi tantangan scientifik yang sangat besar. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kita harus kembali pada riset fundamental, titik yang belum dibutuhkan untuk pengembangan vaksin virus lainnya atau dengan kata lain riset fundamental yang lebih sophisticated. Kita akan tetap optimis bahwa peningkatan pemahaman substansial kita terhadap infeksi HIV dan penyakit ini akan merangsang ide dan pemikiran kreatif untuk mendesain suatu vaksin HIV yang efektif.

Kesimpulan

Hambatan Pengembangan Vaksin HIV dan Implikasinya

Hambatan
  1. Periode kesempatan sistem imun untuk membersihkan virus sangat pendek, karena HIV mengintegrasi dan mencapai infeksi laten dalam beberapa hari atau minggu
  2. Penghancuran sel T CD4+ terjadi sangat dini setelah infeksi
  3. Keragaman genetic dan mutasi yang terjadi bersamaan dengan replikasi yang membuat HIV dapat menghindari surveillance sistem imun
  4. Bagian luar envelope yang merupakan target antibodi “tersembunyi” dari pengenalan sistem imun.
Implikasi
  1. Pendekatan rasional dan empiris untuk pengembangan vaksin tidak berhasil hingga saat ini.
  2. Pemahaman mendasar mengenai penyakit HIV dan respon host terhadap virus perlu dikuasai.
  3. Ide baru dan kreatif diluar cakupan ilmu vaksinologi klasik perlu dihasilkan

Histologi Lambung

Histologi Gaster
Dinding gaster terdiri dari 4 lapisan utama yang dapat ditemukan di struktur organ gastrointestinal lainnya, yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa, disertai dengan vaskularisasi dan persarafan gaster (Gambar 1 dan 2). Histologi ini memperlihatkan fungsi lambung sebagai suatu kantung muskular elastis yang dilapisi oleh epitel sekretorium, walaupun terdapat variasi dari struktur lokal dan fungsional dalam struktur ini.

Mukosa
Mukosa merupakan lapisan tebal dengan permukaan halus dan licin yang kebanyakan berwarna coklat kemerahan namun berwarna pink di daerah pylorik. Pada lambung yang berkontraksi, mukosa terlipat menjadi beberapa lipatan rugae, kebanyakan berorientasi longitudinal. Rugae ini kebanyakan ditemukan mulai dari pinggir daerah pyloric hingga kurvatur mayor (gambar 71.7). Rugae ini merupakan lipatan-lipatan besar pada jaringan konektif submukosa (lihat dibawah) dan bukan variasi ketabalan mukosa yang menutupinya, dan rugae ini akan menghilang jika lambung mengalami distensi. Seperti pada semua saluran cerna lainnya, mukosa ini tersusun oleh epitel permukaan, lamina propria, dan mukosa muskuler.

EPITHELIUM

Ketika dilihat melalui mikroskop pada magnifikasi rendah, permukaan dalam dari dinding lambung (Gambar 2) memperlihatkan bentuk sarang lebah dengan foveola gastrica kecil dan ireguler berdiameter 0,2mm. Pada dasar foveola gastrica ini terdapat kelenjar gastrik tubular yang berinvaginasi ke arah lamina propria hingga mukosa muskularis. Epitel kolumner tunggal yang mensekresikan mukus melapisi seluruh permukaan luminal termasuk foveola gastrica dan terdiri dari lapisan sel mukosa permukaan yang melepaskan mukus gastrik dari permukaan apical untuk membentuk lapisan licin protektif tebal diseluruh permukaan gaster. Epitelium ini bermulai secara langsung pada orificium cadiac, dimana terdapat transisi drastis antara epitel oesophagus berupa epitel berlapis gepeng dan epitel gaster.

Kelenjar gastrik

Walaupun semua kelenjar gastrik berupa tubular (pipa), bentuk kelenjar ini beragam dan komposisi selulernya juga berbeda-beda tergantung region tertentu pada lambung.Kelenjar ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan letak regionnya, yaitu kelenjar kardiak, prinsipal (korpus dan fundus), dan pylorik. Fundus dan korpus membentuk bagian mayor dari gaster yang menghasilkan sebagian besar sekresi gaster atau getah untuk pencernaan

Kelenjar Gastric Prinsipal

Kelenjar gastric principle ditemukan pada corpus dan fundus, tiga hingga tujuh saluran dari tiap foveola gastrica (Gambar 1, 2, dan 3). Batas antara kelenjar ini dengan dasar dari foveola gastrik ini disebut bagian isthmus kelenjar dan lebih ke basal adalah leher, merupakan perpanjangan dari dasar. Pada dinding kelenjar terdapat terdapat paling tidak 5 jenis sel yang berbeda-beda : sel chief, sel parietal, sel leher mukosa, sel stem, dan sel neuroendokrin.

Gambar 1. Diagram yang memperlihatkan regional principal pada bagian interior lambung dan histologi jaringan dan sel didalam dinding tersebut. sel yang belum berdifferensiasi, yang membatasi tiap sel, digambarkan berwarna putih (klik untuk memperbesar gambar) .

Sel chief (peptik) (Gambar 1 dan 3) merupakan sumber enzim pencernaan yaitu enzim pepsin dan lipase. Sel chief ini biasanya terletak pada bagian basal, bentuknya berupa silindris (kolumner) dan nukleusnya berbentuk bundar dan euchromatik. Sel ini mengandung granul zimogen sekretoris dan karena banyaknya sitoplasmik RNA maka sel ini sangat basophilic. Sel parietal (Oxyntic) merupakan sumber asam lambung dan faktor intrinsik, yaitu glycoprotein yang penting untuk absorbsi vitamin B12. Sel ini berukuran besar, oval, dan sangat eosinophilic dengan nukleus terletak pada pertengahan sel. Sel ini terletak terutama pada apical kelenjar hingga bagian isthmus. Sel ini didapati hanya pada interval sel-sel lainnya disepanjang dinding foveola dan menggembung di lateral dalam jaringan konektif. Sel parietal memiliki ultraktruktur yang unik terkait dengan kemampuan mereka untuk mengsekresikan asam hydrochloric. Bagian luminal dari sel ini, berinvaginasi membentuk beberapa kanal buntu yang menyokong sangat banyak microvili ireguler. Di dalam sitopaslma yang berhadapan dengan kanal ini adalah membran tubulus yang sangat banyak (sistem tubulovesicular). Terdapat sangat banyak mitokondria yang tersebar di seluruh organella ini. Membran plasma yang menyelimuti mikrovili memiliki kosentrasi H+/K+ ATPase yang sangat tinggi yang secara aktif mengsekresikan ion hidrogen kedalam lumen, ion chloride pun keluar mengikuti gradien eletrokimia ini. Struktur yang akurat dari sel ini beragam tergantung dari fase sekretoriknya : ketika terstimulasi, jumlah dan area permukaan dari mikrovili membesar hingga lima kali lipat, diduga akibat fusi segera dari sistem tubulovesikuler dengan membran plasma. Pada akhir sekresi terstimulasi, proses ini terbalik, membran yang berlebihan kembali pada sistem tubuloalveolar dan mikrovili menghilang.

Sel leher mukosa sangat banyak pada leher kelenjar dan tersebar sepanjang dinding regio bagian basal. Sel ini mengsekresikan mukus, dengan vesikel sekretorik apikalnya mengandung musin dan nukelusnya terletak pada bagian basal. Namun, produksinya secara histokimia berbeda dengan produksi dari sel mukosa permukaan

Gambar 2 Micrograph pembesaran rendah memperlihatkan dinding lambung, daerah dari lipatan longitudinal atau rugae, dapat terlihat makroskopis. Permukaan epitel terlipat secara microskopis membentuk foveola gastric, hingga ke dasar dimana kelenjar gastric yang terbuka sampai ke ketebalan mukosa lamina propria. Lapisan mukosa muskularis dan submukosa mengikuti kontur ruga dan sedikit badian lapisan muskularis eksterna terlihat dibawahnya.

Sel bakal merupakan sel mitotik yang belum berdifferensiasi dari jenis sel kelenjar lainnya. Sel ini relatif sedikit dan terletak pada regio isthmus kelenjar dan bagian basal dari foveola gastric. Sel ini berbentuk silindris (kolumner) dengan sedikit microvili yang pendek. Sel ini secara periodik mengalami mitosis, sel yang dihasilkan bergerak ke apikal untuk berdifferensiasi menjadi sel mukosa permukaan, atau ke basal membentuk sel leher mukosa, sel parietal, dan sel chief, serta sel neuroendokrin. Semua sel ini memiliki durasi hidup yang terbatas, terutama yang mengsekresikan mukus, dan yang selalu diganti. Periode pergantian dari sel mukosa permukaan adalah tiap 3 hari; sel leher mukosa diganti tiap minggu. Jenis sel lainnya sepertinya hidup lebih lama.

Sel neuroendokrin ditemukan disemua jenis kelenjar gastrik namun lebih banyak ditemukan pada corpus dan fundus. Sel ini terletak pada bagian terdalam dari kelenjar, diantara kumpulan sel chief . Sel ini berbentuk pleomorfik dengan nukleus ireguler yang diliputi oleh granular sitoplasma yang mengandung kluster granul sekretorik yang besar (o,3 microm). Sel ini mensintesis beberapa amino biogenic dan polipeptide yang penting dalam mengendalikan motilitas dan sekresi glanduler. Pada lambung sel ini termasuk sel G(yang mensekresi gastrin), sel D (somatostatin), dan sel enterochromaffin-like/ECL (histamine). Sel-sel ini membentuk sistem sel neuroendokrin yang berbeda-beda.

Kelenjar Kardiak
Sel kardiak terbatas pada area kecil dekat dengan orificium kardiak (Gambar 3); beberapa berupa kelenjar tubuler sederhana, lainnya merupakan tubuler bercabang. Sel yang mengsekresikan mukus mendominasi, sel parietal dan sel chief, walaupun ditemukan namun jumlahnya sedikit.

Gambar 3. Mikrograph yang memperlihatkan kelenjar gastrik pada regio fundus, pembukaan dari basal foveola gasric dilapisi oleh sel mukosa serupa dengan sel yang melapisi permukaan epitel. Sel parietal eosinofilik dan sel chief basophilic membatasi kelenjar, terlihat pada pembesaran lebih tinggi di gambar B. Mikrograph dengan pembesaran lebih tinggi menunjukkan sel parietal eosinophilic (panah kecil) dan sel chief basophilic (panah panjang) membatasi kelenjar gastrik (GG); kelenjar ini membuka menjadi foveola gastric (GP), yang mana merupakan invaginasi dari epitel permukaan yang menskresikan mukus.


Gambar 4. Gambaran micrograph yang menunjukkan celah antara sel epitel berlapis gepeng tanpa lapisan keratin pada oesofagus dan pada lambung, dengan kelenjar kardiak. Suatu folikel lymphoid terlihat pada submukosa dari zona peralihan (kiri bawah).

Kelenjar Pyloric

Kelenjar pyloric bermula sebagai dua atau tiga pipa berlekuk-lekuk menjadi suatu dasar dari foveola gastrik pada antrum pylori: foveola mengambil sekitar 2/3 kedalaman mukosa. Kelenjar pyloric kebanyakan ditempati oleh sel penghasil mukus, sel parietal sedikit, dan sel chief sangat jarang ditemukan. Sebaliknya terdapat sangat banyak ditemukan sel neuroendokrin, terutama sel G, yang mengsekresi gastrin ketika diaktifkan oleh stimulus mekanis yang sesuai (menyebabkan peningkatan motilitas gaster dan sekresi asam lambung). Walaupun sel parietal jarang ditemukan pada kelenjar pyloric, sel ini selalu ditemukan pada jaringan janin dan bayi. Pada dewasa sel ini dapat terlihat pada mukosa duodenum yang dekat dengan pylorus.

Gambar 5. Gambaran mikrograph yang memperlihatkan daerah pyloric pada lambung dengan kelenjar pyolorik, pewarnaan yang digunakan periodic acid Schiff (PAS) untuk memperlihatkan musin (magenta/ungu) pada foveola gastric dan kelenjar. Sel berwarna pucat merupakan sel parietal besar (P) dan sel enteroendokrin kecil (E)

LAMINA PROPRIA
Lamina propria membentuk kerangka jaringan konektif antara kelenjar dan mengandung jaringan lymphoid yang terkumpul dalam massa kecil folikel lymphatic gastrik yang membentuk folikel intestinal soliter (terutama pada masa awal kehidupan). Lamina propria juga memiliki suatu pleksus vaskuler periglanduler yang kompleks, yang diperkirakan berperan penting dalam menjaga lingkungan mukosa, termasuk membuang bikarbonat yang diproduksi pada jaringan sebagai pengimbang sekresi asam. Pleksus neural juga ditemukan dan mengandung ujung saraf motorik dan sensorik.

MUCOSA MUSKULARIS

Mukosa muskularis merupakan lapisan tipis dari serat otot halus yang terdapat pada bagian eksternal dari kelenjar. Serat muskular ini teratur dalam bentuk sirkuler di dalam, lapisan longitudinal di bagian luar, terdapat pula lapisan sirkuler diskontinu bagian luar. Lapisan dalam mengandung jelujur sel otot polos terletak di antara kelenjar dan kontraksinya kemungkinan membantu dalam mengosongkan foveola gastrik.

Submukosa

Submukosa merupakan lapisan bervariabel dari jaringan konektif yang terdiri dari bundel kolagen tebal, beberapa serat elastin, pembuluh darah, dan pleksus saraf, termasuk pleksus submukosa berganglion (Meissner's) pada lambung.

Muscularis eksterna
Muscularis eksterna merupakan selaput otot tebal berada tepat dibawah serosa, dimana keduanya terhubung melalui jaringan konektif subserosa longgar. Dari lapisan terdalam keluar, jaringan ini memiliki lapisan serat otot oblique, sirkuler, dan longitudinal, walaupun celah antara tiap lapisan tidak berbeda satu sama lain. Lapisan sirkuler kurang begiru berkembang pada bagian oesofagus namun semakin menebal pada distal antrum pyloric untuk kemudian membentuk sphincter pyloric annular. Lapisan longitudinal luar kebanyakan terdapat pada 2/3 bagian kranial lambung dan lapisan oblique dalam pada setengah bagian bawah lambung.

Kerja dari muskularis eksterna ini adalah menghasilkan pergerakan adukan yang mencampur makanan dengan produk sekresi lambung. Ketika otot berkontraksi, volume lambung akan berkurang dan menggerakkan mukosa menjadi lipatan longitudinal atau rugae (lihat atas). Rugae ini akan datar kembali dan menghilang ketika lambung penuh akan makanan dan muskulatur berelaksasi dan menipis. Aktivitas otot diatur oleh jaringan saraf autonom yang tidak bermyelin, yang terdapat pada lapisan otot dalam plexus myenterik (Auerbach's)

SEROSA ATAU PERITONEUM VISCERA
Serosa merupakan perpanjangan dari peritoneum visceral yang menutupi keseluruhan permukaan pada lambung kecuali sepanjang kurvatura mayor dan minor pada pertautan omentum mayor dan minor, dimana lapisan peritoneum meninggal suatu ruang untuk saraf dan vaskler. Serosa juga tidak ditemukan pada bagian kecil di posteroinferior dekat dengan orificium kardiak dimana lambung berkontak dengan diafragma pada refleksi gastrophrenik dan lipatan gastropancreatik