Selasa, 02 September 2008

Vaksin HIV

Vaksin HIV : Tantangan dan Prospek
Perspektif Penulis

Sekarang kita telah memasuki dekade ketiga pandemik Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS, kita telah melihat kesuksesan dalam penanganan orang-orang yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Namun pandemik tersebut masih sangat merajalela, dengan 2,7 juta infeksi baru pada tahun 2007. Dari satu orang yang terinfeksi yang memulai terapi antiretroviral, terdapat 2,5 orang baru terkena infeksi HIV lagi. Di negara berkembang sendiri seperti Indonesia, pada tahun 2007 menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia, terdapat 169 orang tiap harinya terjangkit virus HIV dan tingkat kematian akibat AIDS mencapai 102 orang per hari. Peluang untuk mencegah dan menahan laju perkembangan penyakit ini telah menjadi prioritas intervensi kesehatan di seluruh dunia.

Secara historis, vaksinasi telah menjadi intervensi kesehatan masyarakat yang paling efektif untuk mencegah penyebaran infeksi virus. Namun vaksin HIV sejauh ini masih sangat tidak jelas dan telah banyak usaha yang mengecewakan dan membuat frustasi serta membuat orang berandai-andai apakah suatu saat nanti suatu vaksin yang efektif akan benar-benar masuk dalam kotak alat pencegahan HIV.

Walaupun banyak infeksi virus membuat penyakit yang berat dan bahkan berakhir pada kematian dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu, infeksi tersebut biasanya menginduksi sistem respon imun yang dapat menetralisir antibodi untuk mencegah replikasi virus dan limfosit T sitotoksik yang mampu mengenal dan mengeliminasi sel yang terinfeksi yang telah menjadi media bagi virus untuk beranak pinak. Respon imun tersebut dapat mengendalikan dan mengeliminasi virus secara efektif. Memori immunologis pun diciptakan dan seseorang yang telah terinfeksi akan memiliki imunitas pelindung terhadap infeksi berulang dari virus yang sama; imunitas ini biasanya sempurna dan dapat bertahan lama.

Biasanya, pengembangan vaksin berdasar dari eksperimen alamiah yang berhasil. Suatu pendekatan berulang dari riset fundamental digabung dengan pemeriksaan immunogen secara empiris menghasilkan identifikasi dari suatu produk yang, ketika diberikan dalam formulasi dan dosis yang tepat sebelum paparan, akan memicu respon imun yang menyerupai respon imun pada infeksi alamiah dan akan melindungi resipien dari penyakit ketika mereka terpapar virus yang telah dibuat vaksinnya tersebut. Secara historis, pengembangan vaksin sangat bergantung kepada kesuksesan suatu pemeriksaan empiris.

Namun keadaannya berbeda dengan infeksi HIV. Pada kebanyakan fase, respon imun alamiah terhadap HIV sangat tidak adekuat dan sekali infeksi primer terjadi, virus tidak akan dapat dieradikasi. Dengan pengecualian terhadap keadaan yang tidak biasanya, HIV berkembang sangat cepat dan tak terhentikan, serta tidak ada seseorang pun yang telah mengalami penyembuhan secara spontan. Tidak seperti virus lainnya dimana kita telah dapat mengembangkan vaksinnya, HIV secara cepat mengintegrasikan dirinya pada DNA sel tamu, dimana, pada beberapa sel, virus ini menjadi laten dan secara esensial tak terdeteksi sistem imun. Karena latensi ini berkembang sangat cepat - dalam beberapa hari hingga minggu setelah infeksi - celah kesempatan dimana HIV dapat memungkinkan untuk dieradikasi melalui respon imun sangat singkat. Setelah latensi terjadi, sampai sekarang tidak memungkinkan untuk menyingkirkan virus ini, meskipun pasien mendapatkan terapi antiretroviral yang sangat aktif selama periode yang berkepanjangan.

Kemampuan mutasi yang luar biasa dan mengakibatkan keragaman genetik yang dimiliki oleh HIV, yang secara substansial lebih kompleks dibandingkan virus lainnya yang menyerang manusia, menjadi hambatan yang sangat ditakuti oleh sistem imun. Ketika tubuh memproduksi antibodi yang ditargetkan terhadap protein permukaan luar envelope HIV, yang menjadi kunci bagi antibodi dalam penetralisiran, protein tersebut telah bermutasi sedemikian rupa sehingga antibodi yang bersirkulasi tidak lagi dapat mengeliminasinya. Antibodi yang baru pun diinduksi, namun mutasi baru pun terjadi kembali yang memudahkan bagi virus untuk menyerang balik sistem imun. Lebih lanjut lagi, walaupun antibodi penetralisir dapat dihasilkan sangat banyak oleh host dan kemudian dapat berpotensial menetralisir virus bahkan setelah bermutasi, hal ini sangat jarang terjadi in vivo dan sepertinya sangat sulit diinduksi, karena epitope virus cenderung terbentuk "bertopeng" dan tidak dapat secara langsung dikenali dan direspon oleh sistem imun.

Pendekatan awal empiris dengan imunisasi VacGen's AIDSVax, suatu rekombinan dari bagian luar glycoprotein-120 (gp120) dari envelope HIV, yang merupakan strategi kunci kesuksesan pengembangan vaksin Hepatitis B, gagal melindungi sukarelawan dari infeksi, kemungkinan karena vaksin tidak menginduksi antibodi penetralisir secara meluas3. Suatu kombinasi vaksin yang terdiri dari dosis prima Sanofi Pasteur's vCP 1521, suatu rekombinan vektor virus canarypox, diikuti dengan dosis boosting dari vaksin tersebut dan VaxGen's AIDSVax, dapat menginduksi baik sel T dan antibodi dan sekarang telah dicoba pada penilitian klinis berskala besar di Thailand; hasil peneliian diharapkan selesai pada tahun 2009.

Vaksin yang berhasil kemungkinan membutuhkan induksi antibodi yang meluas dan limfosit T sitotoksik. Karena penelitian sebelumnya masih belum jelas, tetapi, pendekatan empiris telah berfokus pada kandidat vaksin yang dapat menginduksi terutama pada limfosit T sitotoksik. Vaksin sedemikian rupa tidak diharapkan dapat mencegah infeksi namun paling tidak dapat mengendalikan kadar virus, mengurangi destruksi dini sel T CD4+ pada gut associated lympoid tissue (GALT), dan menunda progresi penyakit, seperti telah terlihat pada hewan primata percobaan. Lebih lanjut lagi, jika seseorang diimunisasi sebelum terpapar HIV dapat dibuat menjadi kurang infeksius karena jumlah virus yang telah berkurang, resiko dari transmisi sekunder dapat pula dikurangi. Namun beberapa peringatan perlu ditegaskan dalam hal ini.

Pertama, konsep bahwa suatu "Vaksin sel T" dapat mempengaruhi penyakit HIV pada manusia tetap tidak terbukti. Hanya satu vaksin sel T, vaksin Merck’s MRKAd5 HIV-1 gag/pol/nef trivalent, yang telah diperiksa, pada dua penelitian. Penelitian pertama, adalah STEP trial (ClinicalTrials.gov number, NCT00095576) dan dilakukan di Amerika Utara, Kepulauan Karibia, Amerika Selatan, dan Australia; Penelitian kedua, yang disebut, Phambili (ClinicalTrials.gov number, NCT00413725), dikerjakan di Afrika Selatan. Kedua penelitian berakhir sebelum jadwal ketika dara dari STEP trial menyimpulkan bahwa vaksin telah gagal mencegah infeksi HIV dan gagal pula menurunkan kadar virus pada sukarelawan yang divaksinasi dan menjadi terinfeksi. Secara tidak sengaja pula, diketahui dari analisa penelitian tersebut, menemukan kecenderungan peningkatan angka infeksi baru pada resipien vaksin dibandingkan dengan resipien plasebo. Resiko relatif tertinggi dari infeksi HIV diantara orang yang telah divaksin adalah pada pria, yang pada permulaan penilitan, belum menjalani sirkumsisi dan sebelumnya telah terjadi pembentukan antibody penetralisir secara alami terhadap vector vaksin, adenovirus tipe 5 - dimana tidak ada peningkatan resiko HIV yang terlihat pada pria yang telah disirkumsisi dan tidak ada antibody penetralisir terhadap adenovirus pada waktu penelitian.

Efektivitas dari respon imun terhadap vaksin sel T dapat bervariasi dari orang ke orang lainnya, seperti pada respon imun terhadap HIV, dan keragaman ini diduga sangat terkait dengan HLA haplotype 4. Sehingga, vaksin sel-T yang diharapkan dapat membantu tubuh untuk secara genetic memiliki kemampuan alamiah untuk berespon terhadap HIV, menghasilkan keragaman kadar pengendalian yang bergantung pada HLA haplotype seseorang. Dengan kata lain, vaksin tersebut hanya cocok dan efektif pada seseorang dengan HLA haplotype yang diinginkan.

Vaksin virus klasik, seperti vaksin polio, cacar, dan campak, memungkinkan seseorang yang divaksin untuk terhindar dari perkembangan klinis penyakit tersebut, untuk membersihkan infeksi secara sempurna, dan menjadi tetap terlindungi dari paparan ulang virus tersebut. Vaksinasi populasi dengan proporsi yang signifikan mengurangi angka infeksi pada populasi tersebut dan kecendrungan orang yang tidak tervaksinasi berkontak dengan orang yang terinfeksi. “Efek komunitas“ ini kemudian akan menghasilkan penurunan dramatis dari penyebaran infeksi bahkan hanya ketika sejumlah kecil orang yang divaksinasi. Jika vaksin HIV tidak dapat mencegah infeksi namun hanya memperlambat progresi penyakit dengan menurunkan jumlah virus, kemungkinan untuk transmisi sekunder hanya dapat diturunkan dan tidak dihilangkan. Beberapa derajat replikasi virus kemungkinan akan tetap ada. Mutasi HIV tak terhindarkan dan tak dapat dicegah sehingga terdapat kemungkinan virus ini akan lolos dari pengendalian sistem imun, dan meningkatkan kembali resiko transmisi sekunder. Sehingga "efek komunitas" dari vaksin sel T kemungkinan hanya bersifat sementara.

Kegagalan dari vaksin sel T yang pertama untuk mempengaruhi resiko infeksi atau jumlah virus mengharuskan perlunya peninjauan ulang terhadap titik target dari vaksin HIV, terutama keseimbangan antara riset penemuan fundamental dan lebih banyak usaha pengembangan empiris. Karena pendekatan empiris kurang begitu penting untuk HIV dibanding dengan virus manusia lainnya, karena secara fundamental HIV sangat berbeda dengan virus lainnya, pemeriksaan ulang ini telah mengarahkan kita akan perlunya menekankan pertanyaan fundamental terhadap penemuan vaksin HIV dan riset terkait dengan penemuan tersebut.

Pemahaman mengapa tubuh tidak dapat menciptakan antibodi penetralisir yang meluas selama infeksi alamiah kemungkinan menyimpulkan bahwa desain vaksin harus dapat menginduksi sistem imun seperti demikian. Intinya, kita harus berbuat lebih baik lagi dibandingkan dengan infeksi alamiah dalam hal menginduksi respon imun yang efektif. Keberadaan dari antibodi monoklonal langka yang memiliki kemampuan untuk menetralisir secara luas mengindikasikan bahwa induksi terhadap antibodi seperti itu seharusnya memungkinkan -walaupun kita selalu gagal untuk mencapainya. Sebagai contoh, kristallography x-ray telah menunjukkan bagaimana HIV menggunakan reseptor CD4 untuk menginvasi sel dan bagaimana antibodi b12-penetralisir yang meluas berikatan dengan situs ikatan-CD4 untuk dapat menetralisir HIV secara efektif. Menentukan struktur dari bentuk trimerik dari protein envelope sekarang ini merupakan prioritas riset dan diharapkan mampu menghasilkan pemahaman baru. Usaha untuk mendesain immunogen envelope terbaru termasuk dengan menggunakan "kerangka" protein yang tidak terkait dengan envelope HIV yang menargetkan "zona aman" (yang diciptakan untuk menghindari sistem imun oleh HIV) pada envelope ditambahkan, untuk memastikan terjadinya pengenalan dan paparan sistem imun terhadap HIV.

Kandidat vaksin yang menginduksi perluasan dari limfosit T sitotoksik reaktif dan antibodi penetralisir akan tidak efektif kecuali respon yang dihasilkan mampu mengenali virus selama masa kesempatan yang sempit sebelum latensi virus terjadi. Pemahaman yang lebih baik dari tahap infeksi dini HIV mungkin memperjelas peran dari respon imun mukosa dan innate terhadap pengendalian virus HIV dan menunjukkan bahwa ternyata respon sedemikian dapat dimanipulasi -untuk memperluas periode emas dalam eradikasi virus ini, dan untuk mencegah HIV berlanjut ke gut-associated lymphoid tissue (GALT), atau keduanya.

Kita mungkin tidak mampu mengembangkan vaksin HIV yang sangat efektif seperti vaksin-vaksin virus lainnya. Tetapi jika kita ingin mampu, kita akan menghadapi tantangan scientifik yang sangat besar. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kita harus kembali pada riset fundamental, titik yang belum dibutuhkan untuk pengembangan vaksin virus lainnya atau dengan kata lain riset fundamental yang lebih sophisticated. Kita akan tetap optimis bahwa peningkatan pemahaman substansial kita terhadap infeksi HIV dan penyakit ini akan merangsang ide dan pemikiran kreatif untuk mendesain suatu vaksin HIV yang efektif.

Kesimpulan

Hambatan Pengembangan Vaksin HIV dan Implikasinya

Hambatan
  1. Periode kesempatan sistem imun untuk membersihkan virus sangat pendek, karena HIV mengintegrasi dan mencapai infeksi laten dalam beberapa hari atau minggu
  2. Penghancuran sel T CD4+ terjadi sangat dini setelah infeksi
  3. Keragaman genetic dan mutasi yang terjadi bersamaan dengan replikasi yang membuat HIV dapat menghindari surveillance sistem imun
  4. Bagian luar envelope yang merupakan target antibodi “tersembunyi” dari pengenalan sistem imun.
Implikasi
  1. Pendekatan rasional dan empiris untuk pengembangan vaksin tidak berhasil hingga saat ini.
  2. Pemahaman mendasar mengenai penyakit HIV dan respon host terhadap virus perlu dikuasai.
  3. Ide baru dan kreatif diluar cakupan ilmu vaksinologi klasik perlu dihasilkan

Tidak ada komentar: