DEMAM TYPHOID
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi. Demam tifoid merupakan manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut.1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di banyak negara berkembang. Secara global, diperkirakan 17 juta orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Di Sulawesi Selatan, Indonesia. Demam typhoid merupakan salah satu dari penyakit infeksi terpenting. Penyakit ini endemik diseluruh daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten. Di Sulawesi Selatan, typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya septisemia terkait komunitas, dengan insiden rate yang dilaporkan melebihi 2500/100.000 penduduk.2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia. Karier serotype typhi merupakan reservoir utamanya. Beberapa pasien dapat menjadi karier kronik selama bertahun-tahun, terutama karena infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan. Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah yang endemik, sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah pasien atau orang lain yang menyediakan makanan. Bakteri ini dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air bersih. Penyebaran melalui rute fekal-oral. Dosis infeksius adalah 105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler.3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati, limpa, nodus limfe, dan peyer patches dari ileum. Setelah tertelan, organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke usus halus, tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau berganda sebelum invasi. Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi Peyer’s patches merupakan tempat potensial S.typhii untuk menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan lympoid sekitar. Setelah penetrasi ini terjadi, organisme ini menuju ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica. Salmonella dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom, sehingga dapat bertahan pada follikel lymphoid, nodus lymphoid, hati, dan limpa. Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, dan lamina propria pada usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica. Pada keadaan tertentu yang dipengaruhi oleh keadaan imun host, jumlah dan virulensi bakteri, akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang akan memicu gejala klinis. 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa.
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi.1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi pada beberapa populasi yang diteliti. Sekitar 60 hingga 90 % pasien dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan.
Setelah pasien menelan S.enterica serotype typhi, suatu periode asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari. Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise. Pasien biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu pertama setelah onset gekala demam terjadi, gejala mirip influenza seperti menggigil, nyeri kepala bagian frontal, malaise, anorexia, nausea, nyeri abdominal yang tidak terlokalisir, batuk kering, dan myalgia namun dengan sedikit tanda fisik.5 Lidah kotor, nyeri perut, hepatomegali, dan splenomegali umum terjadi. Bradikardia relatif cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu bukan merupakan gejala yang umum didapatkan.1
Pada mulanya demam berderajat rendah, akan tetapi kemudian meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C). Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit gelap.5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis typhoid adalah kultur darah positif, tes ini hanya menunjukkan positif pada 40 – 60% kasus. Biasanya pada perjalanan awal penyakit ini. Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada akhir minggu pertama atau minggu kedua, akan tetapi sensitivitasnya sangatlah kecil. Pada kebanyakan negara berkembang, tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas kultur darah. Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif, pemeriksaan ini sulit dilakukan, karena relatif infasif, dan kurang dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum. Kebanyakan pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik. Leukosit darah biasanya rendah, akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada anak yang lebih muda.Thrombositopenia mungkin menjadi petanda beratnya penyakit. Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi. Pemeriksaan tes widal mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari S.typhi dan telah digunakan berpuluh-puluh tahun. Walaupun sepertinya sederhana dan mudah dikerjakan, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis. Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen spesifik S typhi – akan tetapi pemeriksaan ini tidak terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada komunitas. Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk menegakkan diagnosis dengan cepat.2,6,7
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath, ditemukan pula teknik mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii. Pemeriksaan ini terbukti sangat sensitif, spesifik, dan efisien. Penelitian ini menyimpulkan pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga ketiga setelah demam terjadi.8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini, diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan berdasarkan kriteria klinis. Hal ini dapat menimbulkan masalah, karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya tanpa tanda yang khas. Pada anak dengan gejala multisistemik, stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan seperti gastroenteritis akut, bronkitis, dan bronchopneumonia. Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria, sepsis akibat patogen lainnya, leptospirosis, dan penyakit rickets atau infeksi virus seperti demam dengue, hepatitis akut, dan mononucleosis infeksiosa. Sehingga dibutuhkan alat untuk mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demam. 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian hingga <1%. Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat endemik dari suatu lokasi. Untuk penanganan pasien yang sangat dicurigai mengidap typhoid, fluoroquinolones merupakan agen yang paling efektif, dengan angka penyembuhan hingga ~98% serta angka relaps dan karier <2%. Penggunaan ciprofloxacin telah banyak digunakan secara luas. Terapi ofloxacin jangka pendek sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain asam nalidixic. Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan fluoroquinolon pada apotik yang meluas, menyebabkan jenis antibiotik ini jarang digunakan.9
Ceftriaxon, cefotaxime, dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant. Antibiotik ini menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, dan angka relas 3-6%. Walaupun secara efisien membunuh Salmonella secara in vitro, cephalosporin generasi pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif menangani infeksi klinis.9 Penanganan standard dengan chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara berturut-turut sebesar 5-15% atau 4-8% dimana quinolon jenis terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka penyembuhan yang lebih tinggi. Merebaknya typhoid multi drug resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek typhoid, terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara dimana penyakit ini menjadi endemik.5,6
Secara teoritis, memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau makanan terkontaminasi. Akan tetapi, dengan tingkat prevalensi yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk, pencegahan sepertinya sulit dicapai. Sehingga, pengunjung pada daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin menggunakan air minuman botol. Vaksinasi sebagai jalan untuk mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu dipertimbangkan. Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia yaitu Ty21a dan Vi CPS, dengan bukti efektivitas sebesar 60-80% dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah endemik.6,9
REFERENSI
1. Aru Sudoyo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
IPD FKUI.
2. Hatta M, Smits HL. 2007. Detection of Salmonella Typhii By Nested Polimerase
Chain in Blood, Urine, and Stools Samples. In :American Journal of Hygine and
Therapy [online].2007. [cited 12 November 2008]. Available from http://www.ajtmh.org
3. Ryan KJ, Ray CG. 2004. Sherris Medical Microbiology. Fourth edition. New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Division. p365-366
4. Eipstein J, Hoffman S. Typhoid Fever. In: Tropical Infectious Disease Volume 1. Editors :
Guerrant RL, Walker DH. 2006. USA: Elsevier Churchill Livingstone
5. Parry CM, Hien TT. Typhoid Fever. In : New England Journal Of Medicine [online]. 2002.
[cited 10 November 2008]. Available from http://www.nejm.com.
6. Bhutta ZA. Current Concept in Diagnosis and Treatment of Typhoid Fever . In :
British Medical Journals [online]. 2006. [cited 11 November 2008]. Available from
http://www.bmj.com.
7. M Hatta, MG Goris, E Heerkens, J Gooskens, AND HL Smits. Simple dipstick assay for
detection of Salmonella typhi-specific IgM antibodies and the evolution of the
response in patients with typhoid fever. Am J Trop Med Hyg, Apr 2002;66:416- 421.
8. Herath HM. Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of Salivary IgA. In
Journals Clinical Patology [online]. 2003. [cited 11 November 2008]. Available from
http://jcp.bmjjournals.com
9. Fauci, A, Braunwald, E and friends. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Seventeenth Edition. 2008. United States: The Mc.Graw-Hill Companies, Inc.
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi. Demam tifoid merupakan manifestasi dari adanya infeksi akut pada usus halus yang mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut.1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di banyak negara berkembang. Secara global, diperkirakan 17 juta orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Di Sulawesi Selatan, Indonesia. Demam typhoid merupakan salah satu dari penyakit infeksi terpenting. Penyakit ini endemik diseluruh daerah di provinsi ini dan merupakan penyakit infeksi terbanyak keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten. Di Sulawesi Selatan, typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya septisemia terkait komunitas, dengan insiden rate yang dilaporkan melebihi 2500/100.000 penduduk.2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia. Karier serotype typhi merupakan reservoir utamanya. Beberapa pasien dapat menjadi karier kronik selama bertahun-tahun, terutama karena infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris ditemukan. Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah yang endemik, sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah pasien atau orang lain yang menyediakan makanan. Bakteri ini dapat tersebar melalui sumber air pada area daerah berkembang atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem saluran air bersih. Penyebaran melalui rute fekal-oral. Dosis infeksius adalah 105 hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler.3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri Salmonella typhiii pada sel mononuklear fagositik pada hati, limpa, nodus limfe, dan peyer patches dari ileum. Setelah tertelan, organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian atas hingga ke usus halus, tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau berganda sebelum invasi. Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi Peyer’s patches merupakan tempat potensial S.typhii untuk menginvasi dan sebagai portal transportasi menuju jaringan lympoid sekitar. Setelah penetrasi ini terjadi, organisme ini menuju ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica. Salmonella dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom, sehingga dapat bertahan pada follikel lymphoid, nodus lymphoid, hati, dan limpa. Pada keaadan ini terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, dan lamina propria pada usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica. Pada keadaan tertentu yang dipengaruhi oleh keadaan imun host, jumlah dan virulensi bakteri, akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan masuk ke pembuluh darah sehingga akan memicu mediator yang akan memicu gejala klinis. 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa.
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi.1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi pada beberapa populasi yang diteliti. Sekitar 60 hingga 90 % pasien dengan demam tyhpoid tidak mendapatkan perhatian medis yang cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan.
Setelah pasien menelan S.enterica serotype typhi, suatu periode asimptomatis akan terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari. Onset bakteremia ditandai dengan demam dan malaise. Pasien biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir minggu pertama setelah onset gekala demam terjadi, gejala mirip influenza seperti menggigil, nyeri kepala bagian frontal, malaise, anorexia, nausea, nyeri abdominal yang tidak terlokalisir, batuk kering, dan myalgia namun dengan sedikit tanda fisik.5 Lidah kotor, nyeri perut, hepatomegali, dan splenomegali umum terjadi. Bradikardia relatif cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah tertentu bukan merupakan gejala yang umum didapatkan.1
Pada mulanya demam berderajat rendah, akan tetapi kemudian meningkat secara progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih tinggi dan cenderung terus menerus (39 hingga 400C). Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit gelap.5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis typhoid adalah kultur darah positif, tes ini hanya menunjukkan positif pada 40 – 60% kasus. Biasanya pada perjalanan awal penyakit ini. Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah infeksi pada akhir minggu pertama atau minggu kedua, akan tetapi sensitivitasnya sangatlah kecil. Pada kebanyakan negara berkembang, tersebarnya antibiotik secara meluas dan pemberian antibiotik merupakan kemungkinan alasan rendahnya sensitivitas kultur darah. Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif, pemeriksaan ini sulit dilakukan, karena relatif infasif, dan kurang dapat diterapkan pada pelayanan kesehatan umum. Kebanyakan pemeriksaan hematologik kurang begitu spesifik. Leukosit darah biasanya rendah, akan tetapi leukositosis dapat pula terjadi pada anak yang lebih muda.Thrombositopenia mungkin menjadi petanda beratnya penyakit. Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi disfungsi hati yang bermakna jarag terjadi. Pemeriksaan tes widal mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari S.typhi dan telah digunakan berpuluh-puluh tahun. Walaupun sepertinya sederhana dan mudah dikerjakan, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan pemeriksaan ini biasanya menyebabkan overdiagnosis. Pemeriksaan diagnostik terbaru telah dikembangkan- seperti Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen spesifik S typhi – akan tetapi pemeriksaan ini tidak terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada komunitas. Reaksi rantai polimerase menggunakan H1-d primer telah digunakan untuk mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada darah pasien dan merupakan alat yang menjanjikan untuk menegakkan diagnosis dengan cepat.2,6,7
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath, ditemukan pula teknik mendeteksi keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA yang dikembangkan untuk saliva pasien (yang dapat diambil dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan) sehingga akan didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii. Pemeriksaan ini terbukti sangat sensitif, spesifik, dan efisien. Penelitian ini menyimpulkan pemeriksaan paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga ketiga setelah demam terjadi.8
Walaupun dengan adanya perkembangan diagnostik terbaru ini, diagnosis typhoid pada kebanyakan negara berkembang ditegakkan berdasarkan kriteria klinis. Hal ini dapat menimbulkan masalah, karena demam typhoid dapat menyerupai penyakit demam lainnya tanpa tanda yang khas. Pada anak dengan gejala multisistemik, stadium awal demam typhoid dapat dikaburkan dengan keadaan seperti gastroenteritis akut, bronkitis, dan bronchopneumonia. Selain itu diagnosis differensial yang luas mencakup malaria, sepsis akibat patogen lainnya, leptospirosis, dan penyakit rickets atau infeksi virus seperti demam dengue, hepatitis akut, dan mononucleosis infeksiosa. Sehingga dibutuhkan alat untuk mendeteksi dengan cepat dan spesifik terhadap beberapa penyakit yang dapat menyebabkan demam. 6
Pemberian terapi antibiotik yang tepat akan mencegah beberapa komplikasi berat demam typhoid dan menurunkan angka kematian hingga <1%. Pemilihan antibiotik pertama bergantung pada tingkat endemik dari suatu lokasi. Untuk penanganan pasien yang sangat dicurigai mengidap typhoid, fluoroquinolones merupakan agen yang paling efektif, dengan angka penyembuhan hingga ~98% serta angka relaps dan karier <2%. Penggunaan ciprofloxacin telah banyak digunakan secara luas. Terapi ofloxacin jangka pendek sepertinya berhasil terhadap infeksi yang disebabkan oleh strain asam nalidixic. Akan tetapi karena terdapat resistensi terhadap terapi ini pada infeksi S Typhii di Asia serta ketersediaan fluoroquinolon pada apotik yang meluas, menyebabkan jenis antibiotik ini jarang digunakan.9
Ceftriaxon, cefotaxime, dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tyhpoid yang multi-drug resistant. Antibiotik ini menghilangkan demam dalam waktu ~ 1 minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, dan angka relas 3-6%. Walaupun secara efisien membunuh Salmonella secara in vitro, cephalosporin generasi pertama dan kedua begitupula aminoglikosida tidak efektif menangani infeksi klinis.9 Penanganan standard dengan chloramphenicol atau amixicillin terkait dengan angka relaps secara berturut-turut sebesar 5-15% atau 4-8% dimana quinolon jenis terbaru dan cephalosporin generasi ketiga terkait dengan angka penyembuhan yang lebih tinggi. Merebaknya typhoid multi drug resistence pada tahun 1990an mengakibatkan fluoroquinolon sebagai drug of choice untuk menangani pasien dengan suspek typhoid, terutama pada daerah Asia Timur dan Asia Tenggara dimana penyakit ini menjadi endemik.5,6
Secara teoritis, memungkinkan untuk mengeliminasi Salmonellae yang menyebabkan demam typhoid karena bakteri ini hanya bertahan pada manusia sebagai host dan menyebar melalui air atau makanan terkontaminasi. Akan tetapi, dengan tingkat prevalensi yang tinggi pada negera berkembang yang mempunyai lingkungan dengan saluran pembuangan air limbah dan sanitasi air yang buruk, pencegahan sepertinya sulit dicapai. Sehingga, pengunjung pada daerah seperti ini sebaiknya memperhatikan kebersihan makanan atau minuman secara hati-hati seperti sedapat mungkin menggunakan air minuman botol. Vaksinasi sebagai jalan untuk mencegah infeksi juga merupakan cara yang perlu dipertimbangkan. Terdapat dua jenis vaksin typhoid yang tersedia yaitu Ty21a dan Vi CPS, dengan bukti efektivitas sebesar 60-80% dan sebaiknya diberikan dua minggu sebelum bepergian ke daerah endemik.6,9
REFERENSI
1. Aru Sudoyo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
IPD FKUI.
2. Hatta M, Smits HL. 2007. Detection of Salmonella Typhii By Nested Polimerase
Chain in Blood, Urine, and Stools Samples. In :American Journal of Hygine and
Therapy [online].2007. [cited 12 November 2008]. Available from http://www.ajtmh.org
3. Ryan KJ, Ray CG. 2004. Sherris Medical Microbiology. Fourth edition. New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Division. p365-366
4. Eipstein J, Hoffman S. Typhoid Fever. In: Tropical Infectious Disease Volume 1. Editors :
Guerrant RL, Walker DH. 2006. USA: Elsevier Churchill Livingstone
5. Parry CM, Hien TT. Typhoid Fever. In : New England Journal Of Medicine [online]. 2002.
[cited 10 November 2008]. Available from http://www.nejm.com.
6. Bhutta ZA. Current Concept in Diagnosis and Treatment of Typhoid Fever . In :
British Medical Journals [online]. 2006. [cited 11 November 2008]. Available from
http://www.bmj.com.
7. M Hatta, MG Goris, E Heerkens, J Gooskens, AND HL Smits. Simple dipstick assay for
detection of Salmonella typhi-specific IgM antibodies and the evolution of the
response in patients with typhoid fever. Am J Trop Med Hyg, Apr 2002;66:416- 421.
8. Herath HM. Early Diagnosis of Typhoid Fever by Detection of Salivary IgA. In
Journals Clinical Patology [online]. 2003. [cited 11 November 2008]. Available from
http://jcp.bmjjournals.com
9. Fauci, A, Braunwald, E and friends. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Seventeenth Edition. 2008. United States: The Mc.Graw-Hill Companies, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar