Rabu, 23 Juli 2008

Gagal Jantung

GAGAL JANTUNG
(diterjemahkan dari "Heart Failure" dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 17 ed by Husnul Mubarak,S.Ked)

DEFINISI

Gagal Jantung (heart failure/HF) merupakan suatu syndrome klinis yang terjadi pada pasien yang mengalami abnormalitas (baik akibat keturunan atau didapat) pada struktur atau fungsi jantung sehingga menyebabkan terjadinya perkembangan rangkaian gejala klinis (fatigue dan sesak) dan tanda klinis (edema dan rales) yang mengakibatkan opname, kualitas hidup buruk, dan harapan hidup memendek.

EPIDEMIOLOGI

HF merupakan suatu permasalahan medis yang secara global semakin berkembang, dengan lebih 20 juta orang menderita. Prevalensi keseluruhan HF pada populasi dewasa di negara maju adalah 2%. Perkembangan prevalensi HF mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring umur, dan mengenai 6-10% individu berumur 65 tahun keatas. Walaupun insiden pada HF relatif lebih rendah pada wanita dibanding pria, wanita paling tidak merupakan 50% dari populasi pasien HF karena harapan hidup mereka yang lebih panjang. Di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) dan Eropa, resiko terkena HF berkisar 1 dari 5 individu berumur 40 tahun keatas. Prevalensi HF secara keseluruhan cenderung meningkat, dapat disebabkan karena terapi terkini dari gangguan kardiak seperti infark myokard (IM), penyakit katup (valvular heart disease), dan arrhitmia, yang menyebabkan pasien bertahan hidup lebih lama. Sangat sedikit diketahui mengenai prevalensi atau resiko terkena HF pada negara berkembang karena kurangnya penelitian berbasis populasi pada negara-negara ini. Walaupun HF diperkirakan berkembang akibat fraksi ejeksi yang menurun pada ventrikel kiri, penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar separuh pasien yang terkena HF memiliki fraksi ejeksi (Ejection Fraction/EF) yang normal (EF > 40-50%). Karena itu, pasien HF sekarang dikategorikan menjadi dua kelompok : (1) HF dengan EF yang menurun (biasanya dianggap systolic failure) atau (2) HF dengan EF normal (biasa disebut diastolic failure).

ETIOLOGY

Seperti ditampilkan pada tabel 1, setiap keadaan yang mengakibatkan perubahan pada struktur atau fungsi ventrikel kiri (Left ventricular/LV) dapat menyebabkan pasien terkena HF. Walaupun etiologi HF pada pasien dengan EF yang normal berbeda dengan yang EF yang menurun, terdapat suatu etiologi yang dianggap overlap untuk kedua keadaan ini. Pada negara industrialisasi, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu penyebab dominant pada pria dan wanita dan terjadi pada 60-75% kasus HF. Hipertensi berperan pada perkembangan HF pada 75% pasien, termasuk pasien dengan PJK. Baik PJK dan hipertensi dapat bekerja sama untuk meningkatkan resiko HF, begitu pula dengan diabetes mellitus.

Tabel 1 Etiologi Gagal Jantung

Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)

Penyakit Jantung Koroner

Cardiomyopathi noniskemik dilatasi

Infark Myokarda

Kelainan genetic/familial

Iskemik Myokarda

Gangguan infiltratifa

Pressure overload kronik

Kerusakan akibat toxic/obat-obatan

Hipertensia

Gangguan Metabolika

Penyakit katup obstruktifa

Viral

Volume Overload kronik

Penyakit Chagas

Penyakit katup regurgitasi

Gangguan ritme

Shunting intrakardiak (left-to-right)

Bradyarrhythmias kronik

Shunting extrakardiak

Tachyarrhythmias kronik

Fraksi Ejeksi Normal (>40–50%)

Hipertrofi Patologis

Kardiomyopati restriktif

Primer (Kardiomyopati hipertrofi)

Gangguan Infiltratif (amyloidosis, sarcoidosis)

Sekunder (hipertensi)

Gangguan penyimpanan (hemochromatosis)

Penuan

Fibrosis


Gangguan Endomyocardial

Pulmonary Heart Disease

Cor pulmonale


Gangguan vaskuler pulmoner


Keadaan High-Output

Gangguan metabolik

Peningkatan kebutuhan aliran darah berlebih

Thyrotoxicosis

Systemic arteriovenous shunting

Gangguan Nutrisi (beriberi)

Chronic anemia

aNote: Mengindikasikan keadaan yang dapat menyebabkan gagal jantung dengan fraksi injeksi yang normal.

Pada 20–30% kasus HF dengan EF yang menurun, dasar etiologi pasti belum diketahui secara pasti. Pasien ini dikatakan memiliki kardiomyopati yang noniskemik, dilatasi atau idiopatik jika sebabnya tidak diketahui. Infeksi virus sebelumnya atau paparan toxin (mis. alcohol atau kemoterapi) dapat pula menyebabkan kardiomyopati dilatasi. Terlebih lagi, sudah semakin jelas bahwa sekelompok besar kasus kardiomyopati dilatasi merupakan akibat dari defek genetic tertentu, paling ditandai pada sitoskeleton. Hampir semua jenis kardiomyopati dilatasi familial diturunkan melalui suatu pola autosomal dominant. Mutasi gen yang mencetak protein sitoskeletal (desmin, cardiac myosin, vinculin) dan protein membran inti (lamin) telah diidentifikasi sejauh ini. Kardiomyopati dilatasi juga terkait dengan penyakit Duchenne’s, Becker’s, dan distrofi muskuler tungkaiy. Keadaan yang mengakibatkan kardiak output yang meningkat (mis. fistel arteriovenous, anemia) cenderung berperan dalam perkembangan HF pada jantung yang normal. Tetapi, keberadaan gangguan struktural pada jantung menyebabkan terjadinya HF.

PROGNOSIS

Walaupun banyak perkembangan terkini mengenai penatalaksanaan HF, perkembangan HF masih memberikan prognosis yang buruk. Penelitian berbasis komunitas mengindikasikan bahwa 30-40% pasien HF akan meninggal dalam 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan dan 60-70% dalam waktu 5 tahun, terutama dikarenakan memburuknya HF atau sebagai kejadian mendadak(kemungkinan karena adanya aritmia ventrikuler). Walaupun sulit untuk memprediksi prognosis pada seseorang, pasien dengan gejala pada istirahat [New York Heart Associtaion (NYHA) class IV] memiliki angka mortalitas sebanyak 30-70% pertahun, dimana pasien dengan gejala pada aktivitas moderat (NYHA class II) memiliki angka mortalitas tahunan sebanyak 5-10%. Sehingga status fungsional merupakan suatu predictor penting untuk outcome pasien (Lihat table 2).

PATOGENESIS

Gambar 1 memberikan suatu kerangka konseptual umum dalam pertimbangan perkembangan dan progresi HF dengan EF yang menurun. Seperti terlihat, HF dapat digambarkan sebagai suatu gangguan progressif yang dimulai setelah kejadian penanda, baik kerusakan pada otot jantung, dengan rusaknya myosit kardiak fungsional, maupun adanya gangguan terhadap kemampuan myokard untuk menciptakan tekanan, sehingga mencegah terjadinya kontraksi normal. Kejadian penanda ini dapat berupa onset yang mendadak, seperti pada kasus IM; dapat pula berupa onset gradual atau perlahan, seperti pada kasus overload tekanan hemodinamik atau volume overload; dan dapat pula herediter, seperti pada banyak kasus kardiomyopati genetic. Tanpa mempertimbangkan sifat dari kejadian merusak ini, gejala yang serupa dari setiap kejadian penanda adalah bahwa gejala ini, pada beberapa cara, menghasilkan penurunan pada kapasitas pompa pada jantung. Pada kebanyakan keadaan, pasien tidak mengalami gejala apapun atau dengan gejala minimal setelah mengalami penurunan kapasitas pompa jantung, atau gejala berkembang hanya setelah disfungsi ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga, jika ditinjau dari kerangka konseptual ini, disfungsi ventrikel kiri berperan penting, namun tidak cukup, untuk perkembangan kumpulan gejala pada HF.



Gambar 1. Patogenesis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. Gagal jantung bermula setelah kejadian penanda menghasilkan penurunan awal pada kapasitas pompa jantung. Akibat terjadinya penurunan kapasitas ini, berbagai mekanisme kompensasi terjadi, termasuk sistem saraf adrenergic, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan sistem sitokin. Dalam jangka pendek, sistem ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler ke derajat homeostatik yang normal dan menyebabkan tidak adanya gejala pada pasien (asimptomatis). Namun, seiring dengan waktu aktivasi sistem kompensasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan organ dalam ventrikel, disertai dengan remodelling pada ventrikel kiri yang memburuk, dan pada akhirnya dekompensasi kardiak.

Walaupun alasan yang tepat mengapa pasien dengan disfungsi LV dapat tetap asimptomatis belum dipastikan, salah satu penjelasannya kemungkinan karena beberapa mekanisme kompensasi menjadi aktif dengan keberadaan jejas pada jantung dan/atau disfungsi LV, dan sepertinya hal ini dapat dipertahankan dan mengatur fungsi LV selama beberapa bulan atau tahun. Daftar mekanisme kompensasi yang telah dijelaskan diatas termasuk (1) aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan sistem saraf adrenergic, dimana berperan dalam menjaga kardiak output dengan meningkatkan retensi garam dan ait (Gambar 2), dan (2) meningkatkan kontraktilitas myokard. Disertai dengan aktivasi dari molekul yang menghambat vasodilatasi, termasuk peptida natriuretik otak dan atrial (ANP dan BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI2), dan nitric oxide (NO), yang menimbulkan vasokonstriksi vaskuler perifer yang berlebihan. Latar belakang genetis, jenis kelamin, umur, dan lingkungan dapa mempengaruhi mekanisme kompensasi tersebut, dimana dapat memodulasi fungsi LV dalam suatu homeostatik yang fisiologis, pada keadaan demikian, kapasitas fungsional dari pasien dapat dijaga atau hanya sedikit menurun. Sehingga, pasien dapat menjadi tetap asimpomatis atau dengan gejala minimum untuk jangka waktu beberapa bulan bahkan tahun. Namun, pada suatu poin ,pasien akan mendapatkan gejala yang jelas, disertai dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas. Walaupun mekanisme pasti yang berperan dalam transisi ini tidak diketahui, seperti yang dijelaskan dibawah, transisi antara HF asimptomatik menjadi simptomatik diikuti oleh adanya peningkatan aktivasi sistem neurohormonal, adrenergik, dan sitokin yang mengakibatkan beebrapa perubahan adaptif dalam myokard yang secara keseluruhan disebut LV remodelling.

Gambar 2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal ginjal. Penurunan cardiac output pada pasien HF menghasilkan “pengehentian” dari baroreseptor tekanan tinggi pada ventrikel kiri (lingkaran) pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arcus aorta. Efek ini menghasilkan pembentukan sinyal aferen terhadap sistem saraf pusat (CNS) yang menstimulasi pusat cardioregulator pada otak yang menstimulasi pelepasan arginine vasopression (AVP) dari hipotalamus posterior. AVP [antidiuretic hormone (ADH)] merupakan vasokonstriktor kuat yang meningkatkan permeabilitas dari duktus koligens renal, menyebabkan reabsorbsi air. Sinyal aferen ini juga mengaktivasi sistem simpatetik eferen yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal.

Stimulasi simpatetik pada ginjal mengakibatkan pelepasan renin, dengan peningkatan resultan pada kadar angotensin II dan aldosteron yang bersirkulasi, Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron memicu retensi air dan garam dan mengakibatkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, hipertrophy myosit, kematian sel myosit, dan fibrosis myokard. Sementara mekanisme neurohormonal ini memfasilitasi adaptasi jangka pendek untuk menjaga tekanan darah, dan perfusi kepada organ vital, mekanisme ini juga dipercaya menyebabkan perubahan tahap akhir pada jantung dan sirkulasi dan retensi air dan garam berlebih pada HF berat.

Berbeda dengan pengetahuan kita mengenai patogenesis HF dengan penurunan EF, pemahaman mengenai mekanisme yang berperan dalam perkembangan HF dengan EF yang normal masih diteliti. Walaupun disfungsi diastolic (lihat penjelasan dibawah) diketahui merupakan mekanisme tunggal yang berperan dalam perkembangan HF dengan EF normal, penelitian berbasis komunitas menyatakan bahwa mekanisme tambahan lainnya, seperti peningkatan kekakuan vaskuler dan ventrikuler, dapat berperan penting pula.

Mekanisme dasar Gagal Jantung

LV remodeling terjadi akibat adanya kejadian kompleks yang terjadi pada level molekuler dan seluler. Perubahan ini termasuk : (1) hipertrofi myosit; (2) perubahan pada kemampuan kontraktilitas myosit; (3) kematian myosit progressif melalui nekrosis, apoptosis, dan aotophagic; (4) desensitasi β-adrenergic; (5) tingkat metabolisme dan energi abnormal pada jantung; dan (6) reorganisasi dari matriks ekstraseluler dengan kerusakan dari struktur kolagen yang mengelilingi myosit dan digantikan dengan matriks kolagen interstitial yang tidak memberikan dukungan structural terhadap myosit. Stimulus biologis untuk perubahan ini termasuk regangan mekanis pada myosit, sirkulasi neurohormonal (misal, norepinephrin, angiotensin II), sitokin inflamasi [misal. tumor necrosis fator (TNF)], peptide dan faktor pertumbuhan lainnya (mis. endothelin) dan jenis oksigen reaktif (mis. superoxide, NO). Walaupun molekul ini secara kolektif dianggap neurohormon, terminology neurohormon selama ini hanya mengarah kepada neurohormon klasik seperti norepinephrin dan angiotensin II, yang dapat disintesis langsung di dalam myokard dan kemudian bekerja dalam mekanisme autokrin dan parakrin.Akan tetapi, konsep paling penting adalah adanya ekspresi yang berlebihan dari molekul yang secara biologis aktif berperan dalam menimbulkan efek yang merusak pada jantung dan sirkulasi sehingga menimbulkan progresi HF. Sehingga kemudian, pandangan ini membentuk rasionalisasi klinis untuk pemakaian agen farmakologis yang melawan sistem ini [mis. angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan beta blocker] dalam menangani pasien HF.

Disfungsi Sistolik

Untuk memahami bagaimana perubahan yang terjadi dalam kerusakan myosit kardiak berperan terhadap penurunan fungsi sistolik yang menurun dari LV pada HF, penting untuk mempelajari kembali histologi dari sel otot jantung. Aktivasi neurohormonal berkepanjangan mengakibatkan perubahan transkripsi dan paska-transkipsi pada gen dan protein yang mengatur eksitasi-kontraksi dan interaksi cross-bridge. Secara bersamaan, perubahan ini mengganggu kemampuan myosit untuk berkontraksi dan kemudian berperan terhadap penurunan fungsi sistolik LV yang menurun yang diamati pada pasien HF.

Disfungsi Diastolik

Relaksasi myokard merupakan proses yang bergantung pada ATP yang diregulasi oleh uptake kalsium sitoplasmik didalam sarcoplasmic reticulum oleh sarcoplasmic reticulum Ca2 adenosin triphosphatase (SERCA2A) dan pengeluaran ion calcium oleh pompa sarcolemma Sehingga yang terjadi kemudian adalah penurunan konsentrasi ATP, seperti yang terjadi pada iskemia, dapat mempengaruhi proses ini dan mengakibatkan perlambatan relaksasi myokard. Kemungkinan lainnya, jika pengisian LV tertunda karena komplians LV menurunan (mis. akibat hypertrophy atau fibrosis), tekanan pengisian LV akan tetap meningkat pada akhir diastole Peningkatan heart rate akan menyebabkan pemendekan waktu pengisian diastolic, dimana akan mengakibatkan peningkatan tekanan pengisian pada LV, terutama pada ventrikel noncomplians. Peningkatan tekanan pengisian pada akhir diastolic LV mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler pulmoner, dimana berperan terhadap terjadinya dyspnea yang dialami oleh pasien dengan disfungsi diastolic. Lebih penting lagi, disfungsi diastolic dapat terjadi sendiri atau berkombinasi dengan disfungsi sistolik pada pasien HF.

Remodeling Ventrikel Kiri (LV Remodelling)

Remodeling ventrikuler berarti adanya perubahan pada massa ventrikel kiri, volume, bentuk, dan komposisi dari jantung yang terjadi setelah jejas kardiak dan/atau hemodinamika abnormal. LV remodeling dapat berperan secara independent terhadap progresi HF dengan memberikan beban mekanis yang jelas yang membuat perubahan pada geometri dari ventrikel kiri. Sebagai contoh, perubahan bentuk LV dari bentuk ellipsoid menjadi bentuk yang lebih spheris selama LV remodeling mengakibatkan tekanan dinding meridian pada LV meningkat, sehingga menimbulkan beban mekanis baru pada jantung yang sudah lemah. Sebagai tambahan terhadap peningkatan volume end-diastolic ventrikel kiri, penipisan dinding ventrikel kiri juga terjadi seiring dilatasi ventrikel. Penipisan dinding bersamaan dengan peningkatan afterload yang ditimbulkan oleh dilatasi ventrikel kiri menyebabkan afterload mismatch (ketidakserasian afterload) fungsional yang berkontribusi lebih lanjut terhadap penurunan stroke volume. Ditambah lagi dengan tingginya tekanan dinding pada akhir diastolic yang secara logis dapat mengakibatkan (1) hipoperfusi pada subendokardium, sehingga fungsi ventrikel kiri semakin memburuk; (2) peningkatan stress oksidatif, yang kemudian mengaktivasi gen yang sensitive terhadap pembentukan radikal bebas (mis. TNF dan interleukin 1β); dan (3) ekspresi berkelanjutan dari gen yang diaktivasi oleh regangan (angiotensin II, endothelin, dan TNF) dan/atau aktivasi regangan dari jalur sinyal hypertrophy. Masalah terpenting kedua yang terjadi akibat peningkatan spherisitas dari ventrikel adalah otot papillary tertarik mengakibatkan inkompetensi pada katup mitral dan menyebabkan regurgitasi mitral fungsional. Ditambah dengan berkurangnya aliran darah, regurgitasi mitral akan memperburuk keadaan dengan menyebabkan overloading pada hemodinamika ventrikel. Secara bersamaan, beban mekanis yang bertambah pada LV remodelling diperkirakan mengakibatkan penurunan kardiak output, peningkatan dilatasi LV (regangan), dan peningkatan overloading hemodinamika, yang kesemuanya cukup untuk menyebabkan progresi gagal jantung.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala

Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF, sepertinya abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap HF yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu d’effort);namun semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung. Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas, kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan regurgitasi tricuspid.

Orthopnea

Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan dyspneu d’effort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang lain. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF, ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi tegak.

Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND)

Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat bronchospasme, dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner lainnya yang menimbulkan wheezing. tom of HF, it may occur in patients with abdominal obesity or ascites and in patients with pulmonary disease whose lung mechanics favor an upright posture.

Pernapasan Cheyne-Stokes

Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-Stokes umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.

Edema Pulmoner Akut

Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat, tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi akibat pelepasan cathecolamine endogenous.

Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan sebaiknya dilakukan protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung sebagai etiologu sesak napas akut dengan edema pulmoner .

Gejala Lainnya

Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan HF berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi pada HF dan dapat berperan dalam insomnia.

PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan HF. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab daei HF, begitu pula untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai. Memperoleh informasi tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon terhadap terapi serta menentukan prognosis merupakan tujuan tambahan lainnya pada pemeriksaan fisis.

Keadaan Umum dan Tanda Vital

Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan yang datar dalam beberapa menit. Pada HF yang lebih berat, pasien harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.

Vena Jugularis

Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan. Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut 45o. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm H2O (normalnya < 8 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif). Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.

Pemeriksaan pulmoner

Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk HF. Perlu diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan HF kronis, bahkan dengan tekanan pengisian LV yang meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada HF efusi pleura seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura kanan

Pemeriksaan Jantung

Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan HF. Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex. Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat memiliki denyut oarasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole. S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik untuk HF namun biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan HF tahap lanjut.

Abdomen dan Ekstremitas

Hepatomegaly merupakan tanda penting pada pasien HF. Jika ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terhadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada HF, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.

Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada HF, namun namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada HF dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.

Cardiac Cachexia

Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang buruk.

Diagnosis

Diagnosis HF relatif tidak sulit jika pasien datang dengan gejala dan tanda klasik untuk HF; akan tetapi, gejala dan tanda HF kebanyakan tidak spesifik dan tidak sensitive. Karena hal tersebut, kunci untuk mendiagnosis adalah mempunyai tingkat kecurigaan tinggi terutama pada pasien beresiko. Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda HF, pemeriksaan laboratorium penunjang sebaiknya dilakukan.

Pemeriksaan Laboratorium Rutin

Pasien dengan onset HF yang baru atau dengan HF kronis dan dekompensasi akut sebaiknya melakukan pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urean nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien tertentu sebaiknya memiliki pemeriksaan tertentu seperti pada Diabetes Mellitus (gula darah puasa atau tes toleransi glukosa), dislipidemi (profil lipid), dan abnormaltas thyroid ( kadar TSH).

Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hypertrophy pada LV atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolic pada LV.

Radiology

Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien. Walaupun pasien dengan HF akut memiliki bukti adanya hipertensi pulmoner, edema interstitial, dan/atau edema puloner, kebanyakan pasien dengan HF tidak ditemukan bukti-bukti tersebut. Absennya penemuan klinis ini pada pasien HF kronis mengindikasikan adanya peningkatan kapasitas limfatik untuk membuang cairan interstitial dan/atau cairan pulmoner

Penilaian fungsi LV

Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan menangani HF. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai HF dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV.

Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%),>

Biomarker

Kadar peptide natriuretik yang bersirkulasi berguna sebagai alat tambahan dalam diagnosis HF. Baik B-type natriuretic peptide dan N-terminal pro-BNP, yang dikeluarkan dari jantung yang mengalami kerusakan, merupakan marker yang relative sensitif untuk menentukan keberadaan HF dengan EF yang rendah; peptide ini juga meningkat pada pasien HF dengan EF yang normal, walaupun dengan kadar yang lebih sedikit. Namun demikian, penting untuk diketahui bahwa kadar peptide natriuretik juga meningkat seiring umur dan dengan gangguan ginjal, lebih meningkat pula pada wanita, dan dapat meningkat pada HF kanan dari penyebab apapun. Kadar ini dapat terlihat lebih rendah pada pasien obesitas dan kadarnya dapat normal pada beberapa pasien setelah pengobatan yang tepat dijalani. Konsentrasi peptide natriuretik yang normal pada pasien yang tidak ditangani sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis HF. Biomarker lainnya seperti troponon T dan I, C-reactive protein, reseptor TNF, dan asam urat, dapat meningkat pada HF dan memberikan informasi penting mengenai prognosis. Pemeriksaan berkala dari salah satu (atau lebih) biomarker tersebut sangat membantu untuk mengarahkan terapi pada HF, namun tidak dianjurkan untuk tujuan ini.

Pemeriksaan latihan

Treadmill atau latihan bersepeda tidak rutin dianjurkan pada pasien HF, namun bermanfaat untuk menilai perlunya transplantasi kardiak pada pasien dengan HF berat. peak oxygen uptake (VO2) <14>O2 <14>

Differensial Diagnosis

HF menyerupai namun harus dapat dibedakan dengan (1) keadaan dimana kongesti sirkulasi disebabkan oleh retensi air dan garam yang abnormal tetapi tidak terdapat kelainan pada struktur atau fungsi jantung (mis. pada gagal ginjal) dan (2) penyebab nonkardiak terhadap kejadian edema pulmoner (mis. syndrome distress pernapasan akut . Pada kebanyak pasien yang datang dengan tanda dan gejala khas untuk HF, diagnosis relative tidak sulit. Namun, bahkan ahli berpengalaman memiliki kesulitan untuk membedakan antara sesak napas akibat jantung atau pulmoner. Untuk hal ini, pencitraan jantung noninvasif, biomarker, fungsi pulmoner, dan pemeriksaan radiology dapat berguna. Kadar BNP atau N terminal pro-BNP yang sangat rendah membantu menyingkirkan penyebab jantung pada sesak napas. Edema engkel dapat timbul akibat varises vena, obesitas, penyakit ginjal, dan efek gravitasi. Ketika HF terjadi pada pasien dengan EF yang normal, sulit untuk menentukan apakah sesak napas akibat kontribusi HF atau akibat penyakit paru kronis dan/atau obesitas.

Penatalaksanaan Gagal Jantung

HF sebaiknya dipandang sebagai suatu seri yang terdiri dari 4 stadium yang saling berkaitan. Stadium A termasuk pasien dengan resiko tinggi terkena HF namun tanpa gangguan structural jantung atau gejala HF (pasien diabetes mellitus atau hipertensi). Stadium B termasuk pasien yang memiliki gangguan structural pada jantung namun tanpa gejala HF (misal. pasien dengan riwayat MI dan disfungsi LV asimptomatis). Stadium C termasuk pasien yang memiliki gangguan structural pada jantung dan memiliki gejala HF yang berkembang (misal. pasien dengan riwayat MI dengan sesak napas dan kelemahan ). Stadium D termasuk pasien dengan HF refrakter yang membutuhkan intervensi khusus (pasien dengan HF refrakter yang membutuhkan transplantasi jantung). Pada seri ini, setiap usaha sebaiknya dilakukan untuk mencegah HF, tidak hanya dengan menangani penyebab HF yang dapat dicegah (hipertensi) namun dengan mengatasi pasien pada stadium B dan stadium C dengan obat yang mencegah progresi penyakit ini (mis. ACE inhibitor dan beta blocker) dan dengan penanganan simptomatik pasien pada stadium D.

Menentukan Strategi Terapi yang Tepat untuk HF Kronis.

Setelah pasien mengalami perkembangan kerusakan structural jantung, terapi berganrung terhadap klasifikasi fungsional NYHA (Tabel 2). Walaupun sistem klasifikasi ini diketahui bersifat subjektif dan memiliki variabilitas yang besar antar pengamat, klasifikasi ini sudah lama digunakan dan berlanjut diterima secara luas untuk aplikasi pada pasien HF. Untuk pasien dengan disfungsi sistolik LV namun tetap bertahan asimptomatis (class I), tujuan terapi sebaiknya untuk memperlambat progresi penyakit dengan memblokir sistem neurohormon yang menyebabkan remodeling jantung. Untuk pasien dengan gejala yang telah berkembang (class II-IV), tujuan terapi utama adalah untuk meringankan retensi cairan, mengurangi disabilitas, dan menurunkan resiko dari progresi penyakit dan kematian. Tujuan ini biasanya membutuhkan strategi yang mengkombinasikan diuretic (untuk mngendalikan retensi air dan garam) disertai dengan intervensi neurohormonal (untuk meminimalisir remodeling jantung).

Tabel 2. Klasifikasi New York Heart Association

Kapasitas Fungsional

Penilaian Objektif

Class I

Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal

Class II

Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa mengakibatkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.

Class III

Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan keterbatasan bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan nyeri anginal..

Class IV

Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung atau sindroma angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan, maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.

Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels: Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown, 1964, p. 114.

Penatalaksanaan HF dengan Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)>

Pemeriksaan Umum

Klinisi, dalam pemeriksaan, sebaiknya bertujuan untuk mengskrining dan menangani komorbiditas tertentu seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, anemia, dan gangguan pernapasan pada saat tidur, dimana keadaan ini cenderung mengawali eksaserbasi HF. Pasien HF sebaiknya dianjurkan untuk berhenti atau mengurangi merokok dan konsumsi alcohol. Temperatur ekstrim dan aktivitas fisik berlebih sebaiknya dihidari. Obat tertentu yang dapat memperburuk HF (Tabel 3) sebaiknya dihindari. Sebagai contoh, nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAID), termasuk cyclooxygenase 2 inhibitor tidak dianjurkan pada pasien dengan HF kronis karena resiko gagal ginjal dan retensi cairan dapat meningkat secara bermakna dalam keadaan fungsi renal yang terganggu atau dalam terapi ACE inhibitor. Pasien sebaiknya diberikan imunisasi influenza atau pneumococcus untuk mencegah infeksi respirasi. Penting pula memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai HF, pentingnya pola makan yang tepat, dan pentingnya pemberian regimen obat yang teratur. Pengawasan pasien rawat jalan oleh perawat atau asisten dokter dan/atau pada klinik khusus HF terbukti bermanfaat, terutama pada pasien dengan penyakit yang berat.

Tabel 3. Faktor yang Dapat Memicu Dekompensasi Akut Pada Pasien dengan Gagal Jantung Kronis

Pola diet yang tidak dianjurkan

Iskemia Myokard/ Infark Myokard

Arrhythmia (tachycardia atau bradycardia)

Penghentian terapi HF

Infeksi

Anemia

Pemberian obat yang memperburuk HF

- Calcium antagonists (verapamil, diltiazem)

- Beta blockers

- Nonsteroidal anti-inflammatory drugs

- Antiarrhythmic agents [semua agen kelas 1, sotalol (kelas III)]

- Anti-TNF antibodies

Konsumsi Alkohol

Kehamilan

Hipertensi yang memburuk

Insufisiensi valvular akut

Aktivitas

Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada HF, suatu latihan rutin ringan terbukti bermanfaat pada pasien HF dengan NYHA kelas I-III. Pasien euvolemik sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti jalan atau mengayuh sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa penelitian mengenai latihan fisik memberikan hasil yang positif dengan berkurangnya gejala, meningkatkan kapasitas latihan, dan memperbaiki kualitas dan durasi kehidupan. Manfaat pengurangan berat badan dengan restriksi intake kalori belum diketahui secara jelas

Diet

Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien HF (baik dengan penurunan EF maupun EF yang normal). Restriksi lebih lanjut (<2g name="2902141"> simtomatik karena kurangnya bukti manfaat dan berpotensi untuk interaksi negative dengan terapi HF.

Diuretik

Diuretik

Kebanyakan dari manifestasi klinik HF sedang hingga berat diakibatkan oleh retensi cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif. Diuretik (Tabel 4) adalah satu-satunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan retensi cairan pada HF berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume pada pasien dengan gejala kongestif (sesak napas, orthopnea, dan edema) atau tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis, edema perifer). Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja pada loop of Henle (loop diuretics) dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K+,dan Cl pada bagian asendens pada loop of henle; thiazide dan metolazone mengurangi reabsorbsi Na+ dan Cl- pada bagian awal tubulus kontortus distal, dan diuretic hemat kalium seperti spironolakton bekerja pada tingkat duktus koligens.

Tabel 4 Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)


Dosis Awal

Dosis Maksimal

Diuretics

Furosemide

20–40 mg qd or bid

400 mg/da

Torsemide

10–20 mg qd bid

200 mg/da

Bumetanide

0.5–1.0 mg qd or bid

10 mg/da

Hydrochlorthiazide

25 mg qd

100 mg/da

Metolazone

2.5–5.0 mg qd or bid

20 mg/da

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors

Captopril

6.25 mg tid

50 mg tid

Enalapril

2.5 mg bid

10 mg bid

Lisinopril

2.5–5.0 mg qd

20–35 mg qd

Ramipril

1.25–2.5 mg bid

2.5–5 mg bid

Trandolapril

0.5 mg qd

4 mg qd

Angiotensin Receptor Blockers

Valsartan

40 mg bid

160 mg bid

Candesartan

4 mg qd

32 mg qd

Irbesartan

75 mg qd

300 mg qdb

Losartan

12.5 mg qd

50 mg qd

β Receptor Blockers

Carvedilol

3.125 mg bid

25–50 mg bid

Bisoprolol

1.25 mg qd

10 mg qd

Metoprolol succinate CR

12.5–25 mg qd

Target dose 200 mg qd

Additional Therapies

Spironolactone

12.5–25 mg qd

25–50 mg qd

Eplerenone

25 mg qd

50 mg qd

Kombinasi hydralazine/isosorbide dinitrate

10–25 mg/10 mg tid

75 mg/40 mg tid

Dosis tetap hydralazine/isosorbide dinitrate

37.5 mg/20 mg (one tablet) tid

75 mg/40 mg (two tablets) tid

Digoxin

0.125 mg qd

<0.375 mg/db





aDosis harus disesuaikan hingga mengurangi gejela kongestif pada pasien

bDosis target tidak diketahui

Walaupun semua diuretic meningkatkan eksresi sodium dan volume urin, diuretic memiliki potensi dan famakologik yang beragam. Loop diuretic meningkatkan eksresi fraksional sodium hingga 20-25%, sedangkan thiazide hanya 5-10% dan cenderung berkurang efektivitasnya pada pasien dengan insufisiensi renal moderat atau berat (creatinin ?2. mg/dl). Sehingga, loop diuretic biasanya dibutuhkan untuk mengembalikan status volume pasien HF. Diuretik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah (Tabel 4) dan kemudian ditingkatkan secara perlahan lahan untuk meringankan tanda dan gejala overload cairan. Hal ini biasanya membutuhkan penyesuaian dosis berulang selama beberapa hari pada pasien dengan overload cairan berat. Pemberian intravena dapat penting untuk meringankan kongesti akut dan aman digunakan pada keadaan rawat jalan. Setelah gejala kongesti diringankan, pemberian diuretic sebaiknya tetap dilanjutkan untuk menghindari rekurensi dari retensi air dan garam

Diuretik memiliki potensi untuk menyebabkan berkurangnya volume dan elektrolit, begitu pula dengan memperburuk azotemia. Sebagai tambahan, diuretik dapat memperburuk aktivasi neurohormonal dan progresi penyakit. Satu efek samping diuretik yang paling penting adalah perubahan homeostatis potassium (hipokalemia atau hyperkalmei), yang akan meningkatkan resiko arrhythmia. Pada umumnya, baik loop diuretik maupun thiazid dapat menyebabkan hypokalemia, sedangkan spironolacton, eplerenone, dan triamterene menyebabkan hyperkalemia.

ACE Inhibitor (ACEI)

Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya digunakan pada pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF menurun. ACE inhibitor mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dengan menginhibisi enzyme yang berperan terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak hanya itu, karena ACE inhibitor (ACEI) juga dapat menghambat kininase II, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan bradykinin, yang akan meningkatkan efek bermanfaat dari supresi angiotensin. ACEI menstabilkan LV remodeling, meringankan gejala, mengurangi kemungkinan opname, dan memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan dapat menurunkan efek ACEI, dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai terapi ACEI. Akan tetapi, penting untuk mengurangi dosis diuretic selama awal pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi kemungkinan hipotensi simptomatik. ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.

Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan Gagal Jantung Kronispada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi. Setelah diagnosis klinis HF ditegakkan, penting untuk menangani retensi cairan sebelum memulai terapi ACEI (atau ARB jika pasien intoleran terhadap ACEI). Βeta-blocker sebaiknya dilakukan jika retensi cairan telah ditangani dan/atau dosis ACEI telah ditingkatkan. Jika pasien masih bergejala, ARB, antagonis aldosteron, atau digoxin dapat diberikan sebagai “triple therapy”. Terapi alat sebaiknya dipertimbangkan dengan pemberian farmakologik yang tepat pada pasien. ACEI, angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; NYHA, New York Heart Association; CRT, cardiac resynchronization therapy; ICD, implantable cardiac defibrillator.

Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu diturunkan. Akan tetapi, jika hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat, maka penting untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi potassium yang tidak berespon dengan diuretic, dosis ACE juga perlu diturunkan.

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE karena batuk, rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB menghambat sistem rennin-angiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda. ACEI memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II, ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I. Beberapa penelitian klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB pada terapi ACEI pada pasien HF kronis.

Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah, fungsi ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa pula.

β-Adrenergic Receptor Blockers

Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien dengan penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi sistem adrenergic yang berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir satu atau lebih reseptor adrenergik (α1, β1, and β2). Walaupun terdapat manfaat potensial dalam memblokir tiga reseptor ini, kebanyakan efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor β1. Jika diberikan bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat proses LV remodeling, meringankan gejala pasien, mencegah opname, dan memperpanjang harapan hidup. Maka dari itu beta blocker diindikasikan pada pasien HF simptomatik atau asimptomatik dengan EF menurun (<40%)>

Seperti dengan pemakaian ACEI, beta blocker juga sebaiknya dimulai dalam dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara gradual jika dosis rendah telah dapat ditoleransi. Dosis beta blocker sebaiknya ditingkatkan hingga dosis yang terbukti efektif pada suatu penelitian klinis (Tabel 4). Namun, tidak seperti ACEI, dimana dapat ditingkatkan secara cepat, penyesuaian dosis beta blocker sebaiknya tidak lebih cepat dari interval 2 minggu, karena dosis inisiasi dan/atau peningkatan dosis agen ini dapat memperburuk retensi cairan akibat berkurangnya dukungan adrenergic pada jantung dan sirkulasi. Maka dari itu, penting untuk mengoptimalkan dosis diuretic sebelum memulai terapi beta blocker. Peningkatan retensi cairan biasanya dapat diatasi dengan penambahan dosis diuretic. Pada beberapa pasien, dosis beta blocker perlu diturunkan.

Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul dari penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa hari setelah permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi. Terapi betabloker dapat menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu, dosis beta blocker sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1 receptor yang dapat mengakibatkan efek vasodilatasi.

Antagonis Aldosteron

Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir efek aldosteron (spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang independent dari efek keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat menurunkan sekresi aldosteron secara transient, dengan terapi jangka panjang, kadar aldosteron akan kembali seperti sebelum terapi ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian antagonis aldosteron dianjurkan pada pasien dengan NYHA kelas III atau kelas IV yang memiliki EF yang menurun (<35%)>

Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan resiko hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi suplemen potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis aldosteron tidak direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau klirens kreatinin <30>5.0 mmol/L.

Terapi Antikoagulan dan Antiplatelet

Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik. Pada penilitan klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per tahun. Penurunan fungsi LV dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah pada ruang kardiak yang berdilatasi dengan peningkatan resiko pembentukan thrombus. Penatalaksanaan dengan warfarin dianjurkan pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial paroxysmal, atau dengan riwayat emboli sistemik atau pulmoner, termasuk stroke atau transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan iskemik kardiomyopati simptomatik atau asimptomatik dan memiliki riwayat MI dengan adanya thrombus LV sebaiknya diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3 bulan setelah MI, kecuali terdapat kontraindikasi terhadap pemakaiannya.

Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung iskemik untuk menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin (75 atau 81 mg) dapat dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.

Penatalaksanaan HF dengan Fraksi Ejeksi Normal (>40%)

Walaupun banyaknya informasi yang berkaitan dengan evaluasi dan pentalaksanaan HF dengan EF yang menurun, tidak ditemukan agen farmakologis atau terapi alat untuk penatalaksanaan pasien dengan HF dengan EF yang normal. Sehingga, dianjurkan untuk memulai usaha penatalaksanaan pada proses penyakit penyebab (mis. iskemia myokard, hipertensi) yang berkaitan dengan HF dengan EF yang normal. Faktor pemicu seperti takikardi atau atrial fibrilasi, sebaiknya ditangani sesegera mungkin melalui pengendalian dan restorasi ritme sinus. Sesak napas dapat ditangani dengan mengurangi volume darah total (diet rendah garam dan diuretic), mengurangi volume darah sentral (nitrat), atau mengurangi aktivasi neurohormonal dengan ACEI, ARB, dan/atau beta blocker. Penanganan dengan diuretic dan nitrat sebaiknya dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari hipotensi. s tachycardia or atrial fibrillation, should be treated as quickly as possible through rate control and restoration of sinus rhythm when appropriate. Dyspnea may be treated by reducing total blood volume (dietary sodium restriction and diuretics), decreasing central blood volume (nitrates), or blunting neurohormal activation with ACE inhibitors, ARBs, and/or beta blockers. Treatment with diuretics and nitrates should be initiated at low doses to avoid hypotension and fatigue.

Menentukan Strategi Penatalaksanaan untuk HF Akut

Tujuan terapeutik dari penatalaksanaan HF akut adalah untuk (1) memperbaiki stabilisasi hemodinamika yang terganggu yang menyebabkan munculnya gejala (2) mengidentifikasi dan menangani faktor reversible yang mempresipitasi dekompensasi , dan (3) menentukan regimen farmakologis efektif untuk pasien rawat jalan yang akan mencegah perkembangan penyakit dan relaps. Pada beberapa keadaan, HF akut membutuhkan opname, dan seringkali dengan setting ICU. Setiap usaha sebaiknya diambil untuk mengidentifikasi penyebab pemicu, seperti infeksi, arrhymia, tidak disiplinnya diet, emboli pulmoner, endocarditis infektif, iskemia/infark myokard samar, dan stress lingkungan dan emosional (Tabel 3), karena menangani kejadian pemicu ini sangat penting dalam penatalaksanaan

Terdapat 2 petanda hemodinamika primer terhadap HF akut yaitu peningkatan tekanan pengisian LV dan penurunan kardiak output. Seringkali, penurunan cardiac output diikuti oleh peningkatan systemic vascular resisteance (SVR) sebagai akibat adanya aktivasi neurohormonal berlebihan. Karen kerusakan hemodinamika ini dapat terjadi sendiri atau bersamaan, pasien dengan HF akut biasanya datang dengan satu dari empat dasar profil hemodinamika : tekanan pengisian LV normal (Profil A), peningkatan tekanan pengisian LV dengan perfusi normal (Profil B), Peningkatan tekanan pengisian LV dengan penurunan perfusi (Profil C) dan tekanan pengisian LV normal atau rendah dengan penurunan perfusi (Profil D)

Maka dari itu, pendekatan terapeutik pada pasien dengan HF akut sebaiknya disesuaikan dengan keadaan hemodinamika pasien. Tujuannya sebaiknya, jika memungkinkan, merestorasi profil hemodinamika pasien (Profil A). Pada beberapa keadaan, kondisi hemodinamika pasien dapat diperkirakan melalui pemeriksaan klinis. Sebagai contoh, pasien dengan tekanan pengisian LV yang meningkat dapat memberikan gejala retensi cairan (ronchi, elevasi vena jugular, dan edema perifer) dan dikatakan sebagai “basah” sedangkan pasien dengan cardiac output yang menurun dan dengan peningkatan SVR biasanya memiliki perfusi jaringan yang buruk dan bermanifestasikan dinginnya ekstremitas distal sehingga dikatakan sebagai “dingin”. Namun, perlu ditekankan bahwa pasien dengan gagal jantung kronis mungkin saja tidak ditemukan ronchi atau adanya edema perifer pada kunjungan pertama dengan dekompensasi akut, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan pengisian tidak terdeteksi. Pada pasien seperti ini, lebih tepat untuk dilakukan pemeriksaan hemodinamika secara invasive.

Pasien yang tidak mengalami kongesti dan mempunyai perfusi jaringan yang normal dikatakan sebagai “kering” dan “hangat”. Jika pasien HF akut masuk RS dengan profil A, maka gejalanya seringkali akibat keadaan diluar penyebab HF (mis. penyakit pulmoner atau hati, atau transient myocardial ischemia). Akan tetapi, pasien HF akut lebih sering datang dengan gejala kongestif yang “hangat dan basah” (Profil B), dimana penatalaksanaan tekanan pengisian dengan diuretic dan vasodilator diperlukan untuk menurunkan tekanan pengisian LV. Profil B termasuk kebanyakan pasien dengan edema pulmoner akut.

Pasien dapat pula datang dengan gejala kongesti dan dengan pengingkatan SVR yang bersifat “dingin dan basah” (Profil C). Pada pasien ini, cardiac output dapat meningkat dan tekanan pengisian LV diturunkan dengan menggunakan vasodilator intravena. Agen inotropik intravena dengan kerja vasodilatasi (dobuthamin, dopamine dosis rendah, milrinone ) memperbaiki cardiac output dengan menstimulasi kontraktilitas myokard sehingga meringankan fungsi jantung.

Tabel 5 Obat untuk Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut


Dosis Permulaan

Dosis Maksimal

Vasodilators

Nitroglycerin

20 µg/menit

40–400 µg/menit

Nitroprusside

10 µg/menit

30–350 µg/menit

Nesiritide

Bolus 2 µg/kg

0.01–0.03 µg/kg per menita

Inotropes

Dobutamine

1–2 µg/kg per menit

2–10 µg/kg per menitb

Milrinone

Bolus 50 µg/kg

0.1–0.75 µg/kg per menitb

Dopamine

1–2 µg/kg per menit

2–4 µg/kg per menitb

Levosimendan

Bolus 12 µg/kg

0.1–0.2 µg/kg per menitc

Vasoconstrictors

Dopamine for hypotension

5 µg/kg per menit

5–15 µg/kg per menit

Epinephrine

0.5 µg/kg per menit

50 µg/kg per menit

Phenylephrine

0.3 µg/kg per menit

3 µg/kg per menit

Vasopression

0.05 units/menit

0.1–0.4 units/ menit

aBiasanya <4>

bInotrope juga memiliki kemampuan vasodilators.

cDiakui diluar Amerika Serikat untuk penanganan gagal jantung akut

Pasien yang datang dengan profil L (“dingin dn kering”) sebaiknya dievaluasi secara teliti dengan menggunakan katerisasi jantung-kanan untuk melihat keberadaan dari peningkatan tekanan pengisian LV yang samar. Jika tekanan pengisian LV rendah (Pulmonary capillary wedge pressure [PCWP] <12>Tujuan terapi berikutnya bergantung dari kondisi klinis. Terapi yang mencapai target yang telah dikatakan sebelumnya mungkin tidak dapat lakukan pada beberapa pasien, terutama bila mereka memiliki disfungsi RV atau mengalami sindrom cardiorenal, dimana fungsi ginjal menurun selama diuresis agresif. Memburuknya fungsi ginjal terjadi pada sekitar 25% pasien yang diopname dengan HF dan berkaitan dengan opname yang lebih lama dan peningkatan mortalitas setelah pemulangan.

Penatalaksanaan Farmakologik untuk HF Akut

Vasodilator

Selain diuretic, vasodilator intravena adalah pengobatan paling berguna untuk HF akut. Dengan menstimulasi guanylyl cyclase dalam sel otot halus; nitroglycerin, nitroprusside, dan nesiritida menghasilkan efek dilatasi pada resistensi arterial dan venous capacity pada pembuluh darah, sehingga menurunkan tekanan pengisian LV, penurunan mitral regurgitasi, dan memperbaiki cardiac output, tanpa meningkatkan heart rate atau menyebabkan arrhythmia.

Nitroglycerin intravena biasanya dimulai pada dosis 20 µg/menit dan ditingkatkan hingga 20 µg sampai gejala pasien meringan atau PCWP menurun hingga 16 mmHg tanpa menurunkan tekanan darah sistolik dibawah 80 mmHg. Efek samping yang paling sering terjadi dari nitrat oral dan intravena adalah sakit kepala, dimana, jika ringan, dapat diatasi dengan analgesik dan sering berkurang seiring dengan perlangsungan terapi.

Nitroprusside biasanya dimulai dengan dosis 10 µg/menit dan ditingkatkan 10-20 µg tiap 10–20 menit jika ditoleransi, dengan tujuan hemodinamika yang sama dengan yang telah dijelaskan diatas. Kecepatan dari onset dan offset, dengan paruh waktu kira-kira sekitar 2 menit, memfasilitasi kadar optimal vasodilatasi pada pasien di ICU. Keterbatasan utama dari nitroprusside adalah efek samping dari sianida, yang bermanifestasi umumnya pada gastrointestinal dan sistem saraf. Sianida sepertinya paling sering beakumulasi pada perfusi hepar yang berat dan penurunan fungsi hepatik akibat cardiac output rendah, dan sepertinya sering terjadi pada pasien yang mendapatkan >250 µg/menit selama 48 jam. Toksisitas sianida dapat diatasi dengan penurunan atau penghentian infus nitroprusside. Pemakaian jangka panjang (> 48 jam) terkait dengan toleransi hemodinamik.

Nesiritide, vasodilator terbaru, merupakan rekombinan dari brain type natriuretic peptide (BNP), yang merupakan peptide endogenous yang disekresi utamanya pada LV sebagai respon peningkatan tekanan dinding. Nesiritide diberikan sebagai bolus (2 µg/kg) diikuti dengan infus dosis tetap (0.01–0.03 µg/kg per menit). Nesiritide efektif menurunkan tekanan pengisian LV dan meringankan gejala selama pengobatan HF akut. Sakit kepala lebih jarang terjadi pada nesiritide dibandingkan nitroglycerin. Walaupun disebut sebagai natriuretic peptide, nesiritide tidak pernah menyebabkan diuresis jika digunakan sendiri pada suatu penelitian klinik. Akan tetapi, sepertinya memiliki efek positif terhadap kerja pengobatan diuretik jika diberikan bersamaan, sehingga jumlah dosis diuretik yang dibutuhkan dapat diturunkan

Hipotensi merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada ketiga agen vasodilatasi tersebut, walaupun nesiritide dianggap yang paling kurang efeknya. Hipotensi biasanya terkait dengan bradykardia, terutama dengan penggunaan nitroglycerin. Ketiga obat tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi arteri pulmoner, dimana dapat memperburuk hypoxia pada pasien dengan abnormalitas ventilasi-perfusi.

Agen Inotropic

Agen inotropik positif menghasilkan manfaat hemodinamika langsung dengan menstimulasi kontraktilitas kardiak, dan secara bersamaan menyebabkan vasodilatasi perifer. Efek hemodinamika ini secara bersamaan menghasilkan perbaikan pada cardiac output dan penurunan tekanan pengisian pada LV.

Dobutamine, merupakan agen inotropik yang paling sering digunakan pada penatalaksanaan HF akut, efek kerjanya dengan menstimulasi reseptor β1 and β2 dengan sedikit efek pada reseptor α1. Dobutamine diberikan sebagai infuse berkelanjutan, dengan dosis infuse permulaan sebesar 1–2 µg/kg permenit. Dosis lebih tinggi (>5 µg/kg per menit) biasanya diperlukan pada hipoperfusi berat; akan tetapi, terdapat sedikit penambahan manfaat jika dosis ditingkatkan diatas 10 µg/kg per menit. Pasien yang diinfus selama lebih dari 72 jam biasanya mengalami tachyphylaxis dan biasanya dosis perlu ditingkatkan.

Milrinone merupakan suatu inhibitor phosphodiesterase III yang menyebabkan peningkatan cAMP dengan meninhibisi katabolismenya. Milrinone dapat bekerja secara sinergis dengan β-adrenergic agonists untuk mendapatkan peningkatan cardiac output lebih tinggi dibandingkan jika pemakaian agen tersebut diberikan tersendiri, dan kemungkinan lebih efektif dibandingkan dengan dobutamin dalam meningkatkan cardiac output dengan keberadaan beta blocker. Milrinone dapat diberikan dengan cara bolus 0.5 µg/kg per menit, diikuti dengan dosis infuse sebesar 0.1–0.75 µg/kg per menit. Karena milrinone merupakan vasodilator yang lebih efektif dibandingkan dobutamin, obat ini lebih menurunkan tekanan pengisian LV walaupun dengan resiko hipotensi yang lebih besar.

Walaupun penggunaan jangka pendek inotrop memberikan manfaat hemodinamika, agen ini lebih cenderung mengakibatkan tachyarrhythmia dan kejadian iskemik dibandingkan vasodilator. Sehingga inotrop lebih tepat digunakan pada keadaan klinis dimana vasodilator dan diuretic tidak membantu, seperti pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan/atau shock cardiogenic, pada pasien yang membutuhkan dukungan hemodinamika jangka pendek pada infark myokard atau operasi, dan pada pasien persiapan transplantasi jantung atau sebagai perawatan paliatif pada pasien HF berat. Jika pasien membutuhkan penggunaan inotrop yang berkesinambungan, sangat dipertimbangkan untuk diberikan dalam keadaan ICU karena efek proarrhytmia pada agen tersebut.

Vasokonstriktor

Vasokontstriktor digunakan untuk mendukung tekanan darah sistemik pada pasien dengan HF. Dari ketiga agen yang biasanya sering digunakan (Tabel 5), dopamine merupakan pilihan pertama untuk terapi pada situasi dimana inotropy dan dukungan pressor dibutuhkan. Dopamin merupakan cathecolamine endogen yang menstimulasi reseptor β1, α1, dan reseptor dopaminergik (DA1 dan DA2) pada jantung dan sirkulasi. Efek dopamine bergantung pada dosisnya. Dosis dopamine rendah (<2>1 dan DA2 dan menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh splanchnic dan renal. Dosis Moderat (2–4 µg/kg per menit) menstimulasi reseptor β1 dan meningkatkan cardiac output dengan sedikit perubahan pada heart rate atau SVR. Pada dosis yang lebih tinggi (< 5 µg/kg per menit) efek dopamine pada reseptor α1 menyaingi reseptor dopaminergik dan vasokonstriksi terjadi, menyebabkan peningkatan SVR, tenakan pengisian LV, dan heart rate.

Dopamine juga menyebabkan pelepasan norepinephrin dari terminal saraf, dimana akan menstimulasi reseptor α1 andβ 1 sehingga, meningkatkan tekanan darah. Dopamine merupakan terapi paling berguna pada pasien HF dengan cardiac output yang rendah dengan perfusi jaringan yang buruk (Profil C). Tambahan signifikan inotropic dan dukungan tekanan darah dapat diberikan dengan epinephrine, phenylepinephrin, dan vasopressin (Tabel 5); akan tetapi pemakaian berkepanjangan dapat menyebabkan kegagalan hati dan ginjal dan dapat menyebabkan gangrene pada ekstremitas. Sehingga, agen ini tidak diberikan kecuali pada keadaan darurat.

Intervensi Mekanik dan Operasi

Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih efektif. Terapi ini termasuk intraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi jantung.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus banget..
thx yach
sgt membantu buat ujian IPD besok
hehe...

Anonim mengatakan...

bagus2..tp yg tentang diet rendah garam ko kurang dibahas yah??