Senin, 29 Desember 2008

Keracunan CO

KERACUNAN KARBON MONOKSIDA

Karbon monoksida (CO) merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan non-iritatif, yang densitasnya relatif sedikit lebih rendah dibandingkan dengan udara. Sumber utama karbon monoksida pada kasus kematian adalah kebakaran, knalpot mobil, pemanasan tidak sempurna, dan pembakaran yang tidak sempurna dari produk-produk terbakar, seperti bongkahan arang. Diluar kematian akibat kebakaran, ada sekitar 2700 kematian yang disebabkan oleh karbon monoksida setiap tahunnya di AS. Sekitar 2000 dari kasus ini adalah bunuh diri dan 700-nya adalah kecelakaan. Pada kenyataannya seluruh kasus bunuh diri tersebut melibatkan penghirupan gas buangan mobil.

MEKANISME KEJADIAN
Karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan cara bersaing dengan oksigen untuk melakukan ikatan pada hemeprotein pembawa oksigen (hemoglobin, mioglobin, sitokrom C oksidase, sitokrom P-450). Afinitas karbon monoksida terhadap hemeprotein bervariasi, mulai dari 30 sampai 500 kali lebih kuat dibandingkan afinitas oksigen, tergantung pada hemeproteinnya. Disamping itu, lebih kuatnya afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida menyebabkan dengan adanya karboksihemoglobin mengganggu afinitas oksigen terhadap hemoglobin dengan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri sehingga mengurangi pelepasan oksigen ke jaringan. Hipoksia jaringan yang dihasilkan lebih hebat dibandingkan dengan yang akan dihasilkan oleh anemia dengan derajat yang sama. Diyakini bahwa karbon monoksida memiliki efek toksik langsung pada tingkat seluler dengan cara mengganggu respirasi mitokondria, disebabakan karena karbon monoksida terikat pada kompleks sitokrom oksidase. Berbeda dengan hemoglobin, afinitas sitokrom oksidase lebih kuat terhadap oksigen. Akan tetapi selama anoksia seluler, karbon monoksida dapat terikat. Pada saat oksigen dari udara kembali ada maka pemindahan karbon monoksida menjadi lambat.
Persentase saturasi karbon monoksida didefinisikan sebagai persentase hemoglobin digabung dengan karbon monoksida dalam bentuk karboksihemoglobin. Oleh karena afinitas hemoglobin yang lebih kuat terhadap karbon monoksida, meskipun hanya dengan konsentrasi rendah di udara dapat menghasilkan saturasi darah yang sangat tinggi dengan gas ini. Dengan konsentrasi 0,5 sampai 1% (5000 – 10000 bagian per juta) di udara dapat menghasilkan tingkat saturasi karboksihemoglobin sebesar 75% dalam 2 sampai 15 menit. Kelembaban, suhu lingkungan yang tinggi, pada daerah ketinggian dan aktifitas fisik akan meningkatkan kecepatan respirasi, dan juga absorpsi karbon monoksida. The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menganjurkan batas keterpaparan maksimum yang dapat diterima adalah 35 ppm selama 8 jam. Untuk alasan keamanan, para pekerja yang terpapar karbon monoksida seharusnya tidak pernah memiliki kadar karboksihemoglobin darah diatas 5%. Dalam praktiknya, hal ini tidak selamanya dapat dilakukan. Jika seorang yang bukan perokok memiliki kadar karboksihemoglobin 1 - 3%, para perokok seringkali memiliki kadar “normal” karboksihemoglobin 5 – 6%, biasanya mencapai 10% dan kadang dapat melebihi 15%. Kadar karboksihemoglobin sebesar 10 – 14 % sudah pernah ditemukan pada pemadam kebakaran setelah memadamkan kebakaran. Peningkatan kadar karboksihemoglobin (sampai 13%) dapat juga ditemukan pada polisi yang bertugas di terowongan atau pekerja-pekerja di bengkel dimana kendaraan bermotor dihidupkan, atau juga jika seseorang adalah perokok.

KEMATIAN AKIBAT GAS KNALPOT KENDARAAN BERMOTOR
Setelah kebakaran, sumber karbon monoksida kedua tersering yang bersifat fatal adalah inhalasi asap knalpot mobil. Kebanyakan kematian akibat hal ini adalah karena bunuh diri, tetapi dapat juga akibat kecelakaan. Hal ini hampir semata-mata disebabkan karena adanya kerusakan pada mesin, meskipun kematian sudah pernah terjadi pada saat mobil terjebak di salju. Beberapa kematian pernah terjadi ketika mesin sedang bergerak, dan beberapa lagi dengan kondisi jendela mobil terbuka sebagian (2-4 inchi).
Jarang ditemukan kematian yang tiba-tiba terjadi saat sebuah mobil mulai dihidupkan dan dibiarkan hidup di garasi untuk pemanasan sementara pengemudinya kembali ke rumah. Karbon monoksida dari knalpot kemudian masuk ke dalam rumah dan membunuh penghuninya. Kadang-kadang seseorang melakukan bunuh diri di garasi dengan cara membiarkan mobil tetap hidup, dan pada saat yang bersamaan juga membunuh penghuni rumah lainnya secara perlahan-lahan.

Tabel 14.1 Waktu yang dibutuhkan oleh karbon monoksida pada konsentrasi yang berbeda-beda untuk menghasilkan 80% kadar seimbang dari saturasi darah.

Konsentrasi CO
di udara (%) Saturasi darah (%) Time

0.02-0.03 23-30 5-6 h
0.04-0.06 36-44 4-5 h
0.07-0.10 47-53 3-4 h
0.11-0.15 55-60 1.5-3 h
0.16-0.20 61-64 1-1.5 h
0.20-0.30 64-68 30-45 min
0.30-0.50 68-73 20-30 min
0.50-1.00 73-76 2-15 min

Reproduced from Von Oettingen WF, Carbon Monoxide: Its Hazards and theMechanism of Its Action,U.S. Public Health Service, Bulletin 290. Washington, D.C., U.S. Government Printing Office.

Jumlah karbon monoksida yang diproduksi oleh mesin berbahan bakar bensin tergantung pada sejumlah faktor termasuk penghidup kecepatan, rasio udara dan bahan bakar, rasio kompresi, dan adanya pengubah katalitik. Sebelum pengenalan pengubah katalitik, sebuah mesin yang dihidupkian akan menghasilkan 7% karbon monoksida, sementara dengan mesin yang sama pada kendaraan travel di 60 mph, dengan adanya karburator yang menyesuaikan kerja yang efisien, karbon monoksida diproduksi kurang dari 0,5%. Mesin diesel menghasilkan karbon monoksida dengan jumlah yang lebih kecil dibanding mesin berbahan bakar bensin.
Mulai tahun 1975, pada umumnya mobil-mobil baru dilengkapi dengan pengubah katalitik yang didesain untuk mengubah CO menjadi CO2. Pada tahun 1980-an, muncul pengenalan pengubah yang lebih mantap, sensor oksigen, dan komputer untuk meningkatkan efisiensi pengubah ini. Pengubah katalitik jika diatur dengan tepat, akan mengurangi sebagian besar karbon monoksida, yang berarti bahwa mesin hidup dapat menghasilkan asap knalpot dengan kadar CO kurang dari 0,1%. Oleh karena hal ini, ahli patologi forensik sudah mulai mengamati kematian yang kadang-kadang disebabkan oleh inhalasi asap knalpot yang kadar CO-nya dalam rentang normal. Kematian seperti yang telah disebutkan perlu dipikirkan juga kemungkinan disebabkan oleh pergeseran oksigen olah CO2, efek toksik CO2 dan mungkin saja aksi dari kandungan lain dalam asap knalpot.
Pengubah katalitik memiliki keterbatasan. Alat ini tidak beroperasi penuh sampai suhunya dan suhu mesin mencapai suhu tertentu. Jadi, ada kenaikan awal dalam CO knalpot sampai mencapi kadar tinggi dan kemudian disusul penurunan ke kadar lebih rendah yang konstan. Pemanasan mesin, dan juga pengubah sebelum mesin dijalankan akan menurunkan kadar CO maksimum. Jika pengubah katalitik terlalu panas, maka akan menjadi kurang efisien.

WAKTU KELANGSUNGAN HIDUP
Waktu kelangsungan hidup dalam udara yang tersaturasi tinggi dengan karbon monoksida sangat singkat. Flanagan dkk, melaporkan sebuah kasus dimana seseorang melakukan bunuh diri di samping alat perekam yang dihidupkan untuk merekam suara kematiannya. Berdasarkan hal ini, penentuan berapa lama seseorang bertahan hidup dapat dibuat. Orang yang meninggal tersebut adalah seorang laki-laki berusia 36 tahun ditemukan terduduk dalam mobil, dengan mesin dihidupkan dan selang karet dibentangkan dari knalpot mobil ke dalam mobil melalui jendela belakang. Karboksihemoglobin darahnya memiliki saturasi 70%. Alat perekam dihidupkan di depan kursi pengemudi. Pada perekam, si korban meninggal terdengar mulai menghidupkan mesin mobil. Selama 20 menit beberapa jenis suara terdengar dan setelahnya suara-suara tersebut menghilang meskipun alat perekam tetap hidup. Rekonstruksi kejadian ini memungkinkan pemantauan berlanjut terhadap peningkatan kadar karbon monoksida dalam mobil. Setelah mesin sudah dihidupkan 1 menit, persentase saturasi karbon monoksida di udara sebesar 0,2%. Pada menit ke-5, sebesar 1,5%; menit ke-6, 1,7%; menit ke-7, 2,2%; menit ke-9, 2,5%; menit ke-13, 3,7%; dan pada menit ke-17 sudah melebihi 4%.
Rekaman menunjukkan adanya batuk sekali-kali pada menit ke-2, serta batuk hebat dan muntah pada menit ke-3. Setelah 5 menit, terjadi batuk hebat dan wheezing expiratoar yang disertai stridor inspiratoar. Menit ke-6, batuk mulai berkurang intensitasnya secara perlahan-lahan, dengan pernapasan menjadi dangkal, tetapi meningkat kecepatannya. Pada menit ke-7, terjadi pernapasan dangkal, dengan kecepatan melambat dan terjadi periode intermitten dari apnea. Pada menit ke-9 frekuensi pernapasan menjadi 6 per menit. Pada menit ke-13 terjadi perubahan nyata dalam pola pernapasan, mungkin menjadi tipe koma atau stupor. Ada pula fase ekspirasi yang panjang. Pada menit ke-17 frekuensi pernapasan menjadi 3 per menit. Bunyi yang terakhir terdengar kira-kira pada menit ke-20. Penulis menyimpulkan bahwa untuk sementara sulit menentukan pada stadium berapa keadaan dapat dipulihkan kembali, yang jelas bahwa pada menit ke 6 – 7 ada bukti memburuknya keadaan dengan cepat.

SUHU TINGGI DALAM RUANGAN PENUMPANG DISEBABKAN OLEH GAS KNALPOT
Karbon monoksida yang dialihkan ke ruangan penumpang pada mobil dapat menaikkan suhu secara signifikan di ruangan ini. Misalnya seorang wanita 26 tahun ditemukan meninggal dalam sebuah van mini dengan sebuah selang dari knalpot ke sisi kiri jendela pintu. Karboksihemoglobin darahnya sebesar 41,5%. Mesin telah diuji dan didapatkan bahwa ternyata menghasilkan CO 3,3% dalam gas knalpot sementara mesin dihidupkan. Konsentrasi CO dalam kabin meningkat tajam, puncaknya mencapai 0,7 – 0,8% dalam 25 – 35 menit, kemudian kadar ini bertahan selama 10 – 15 menit, dan secara bertahap berkurang sampai 0,3% pada menit ke-90. Gas knalpot menyebabkan peningkatan suhu kabin secara bertahap dari 21,6 sampai 40,50 oC di bagian depan kabin dan mencapai 34,9 oC di bagian belakang. Peningkatan suhu dalam kabin ini sesuai dengan pengamatan dimana banyak individu ditemukan meninggal karena keracunan karbon monoksida dalam mobil menunjukkan kelicinan kulit postmortem, walaupun mereka meninggal dalam waktu singkat.

KEMATIAN DI LUAR RUANGAN AKIBAT KARBON MONOKSIDA
DiMaio dan Dana melaporkan tiga kasus kematian akibat menghirup karbon monoksida dari gas knalpot mobil ketika berada di luar ruangan. Konsentrasi karboksihemoglobin korban berkisar dari 58% (pada korban yang sudah membusuk) sampai 81%. Seluruh korban ditemukan tergeletak dekat dengan pipa knalpot mobil. Dua meninggal karena bunuh diri. Kasus ini menggambarkan kenyataan bahwa meskipun di luar ruangan, kematian karena menghirup karbon monoksida dapat terjadi jika seseorang dekat dengan sumber karbon monoksida dalam jangka waktu yang lama.

KEMATIAN KARENA KARBON MONOKSIDA DARI SUMBER SELAIN KANLPOT
Bongkahan arang dibuat untuk membara, tidak terbakar oleh nyala api. Pembakaran tidak sempurna yang sedang berlangsung menghasilkan karbon monoksida. Dengan demikian, jika panggangan digunakan di lingkungan yang tidak udara seperti rumah, garasi, rumah gandeng, tenda, atau bahkan di teras, kematian dapat disebabkan oleh karbon monoksida yang dihasilkan dalam jumlah besar. Adakalanya, orang yang tinggal di luar rumah akan menggunakan bongkah arang untuk menjaga supaya tetap hangat. Hal ini telah menghasilkan sejumlah keracunan karbon monoksida yang fatal. Keracunan karbon monoksida juga pernah terjadi secara alami dan pemanasan gas butan yang diikuti peningkatan lapisan karbon, diakibatkan pembakaran gas yang tidak sempurna.
Karbon monoksida dapat juga masuk ke dalam tabung udara penyelam. Dalam hal ini, karbon monoksida dikeluarkan oleh kompressor pendorong berbahan bakar bensin yang mungkin saja secara kebetulan tersedot dan bercampur dengan udara yang akan dipompa ke dalam tangki udara alat selam.

PEMBUSUKAN DAN KARBON MONOKSIDA
Kadar karbon monoksida dalam darah dan cairan rongga tubuh pada tubuh yang membusuk tergantung pada kadar karbon monoksida darah sebelum kematian. Mereka tidak dihasilkan oleh pembentukan karbon monoksida post mortem melalui pembusukan hemoglobin, mioglobin dan unsur lainnya. Dominguez dkk, menemukan bahwa saturasi karboksihemoglobin dalam darah tidaklah secara jelas berubah selama pembusukan postmortem, dengan kadar tidak lebih dari 6% yang diukur pada seekor anjing yang tenggelam dalam air laut selama 4 hari. Mereka juga menemukan bahwa saturasi karboksihemoglobin dalam darah tidak berbeda secara signifikan dengan yang ada pada cairan rongga thoraks.

GEJALA DAN TANDA KERACUNAN KARBON MONOKSIDA
Studi oleh Haldane dan Killick mungkin memberikan penjelasan paling baik dari efek keterpaparan karbon monoksida (CO). Gejalanya, pada saat muncul biasanya bersifat progresif, dan kira-kira sebanding dengan kadar CO darah. Pada awalnya, tanda dan gejala seringkali sulit dipisahkan. Pada kadar saturasi karboksihemoglobin 0 – 10%, umumnya tanpa gejala. Pada seseorang yang istirahat, kadar CO dari 10 sampai 20% sering tidak bergejala, kecuali sakit kepala. Akan tetapi, jika diuji orang ini akan menunjukkan pelemahan dalam melakukan tugas-tugas kompleks. Haldane mengamati tidak ada efek nyeri pada kadar mencapai 18 – 23 %. Gejala Killick dapat diabaikan pada kadar di bawah 30%, meskipun demikian kadar antara 30 – 35%, dia menunjukkan sakit kepala disertai denyutan dan perasaan penuh di kepala. Kadar CO antara 30 – 40%, ada sakit kepala berdenyut, mual, muntah, pingsan, dan rasa mengantuk pada saat istirahat. Pada saat kadarnya mencapai 40%, penggunaan tenaga sedikit pun menyebabkan pingsan. Denyut nadi dan pernapasan menjadi cepat. Tekanan darah turun. Kadar antara 40 – 60%, ada suatu kebingungan mental, kelemahan, dan hilangnya koordinasi. Haldane pada kadar 56% tidak mampu berjalan sendiri tanpa bantuan. Pada kadar CO 60% dan seterusnya, seseorang akan hilang kesadaran, pernapasan menjadi Cheyne-Stokes, terdapat kejang intermitten, penekanan kerja jantung dan kegagalan pernapasan, dan kematian. Dapat disertai peningkatan suhu tubuh.
KADAR FATAL KARBON MONOKSIDA
Kadar karbosihemoglobin pada seseorang yang meninggal karena keracunan CO dapat sangat bervariasi, tergantung pada sumber CO, keadaan sekitar tempat kematian, dan kesehatan orang tersebut. Pada orang tua, dan juga menderita penyakit berat seperti penyakit arteri koroner atau penyakit paru obstruktif kronik, saturasi serendah 20 – 30% dapat bersifat fatal. Kadar karboksihemoglobin dalam rumah yang terbakar rata-rata 57%, pada umumnya dengan kadar karbon monoksida 30 – 40%. Sebaliknya, seseorang yang meninggal karena menghirup gas knalpot kadarnya kebanyakan melebihi 70%, rata-rata 79%. Kadar rendah pada seseorang yang meninggal karena menghirup gas knalpot dapat ditemukan jika mobil berhenti setelah korban berada dalam kondisi koma yang ireversibel tetapi masih terus bernapas, dimana hal ini secara perlahan akan menurunkan konsentrasi karboksihemoglobin mereka meskipun terjadi cedera hipoksia ireversibel di otak. Waktu paruh karbon monoksida, jika menghirup udara ruangan yang rata dengan air laut yaitu sekitar 4 – 6 jam. Terapi oksigen mengurangi eliminasi waktu paruh, tergantung pada konsentrasi oksigennya. Eliminasi waktu paruh dengan terapi oksigen dipendekkan menjadi 40 – 80 menit dengan menghirup oksigen 100% pada 1 atm, dan menjadi 15 – 30 menit dengan menghirup oksigen hiperbarik. Jika seseorang masih bertahan hidup saat sampai di ruang gawat darurat, penggunaan oksimeter nadi tidak dapat dipercaya untuk menentukan secara akurat kadar oksigenasi. Alat ini tidak dapat membedakan antara karboksihemoglobin dengan oksihemoglobin pada panjang gelombang yang biasa digunakan.

BUNUH DIRI ATAU KECELAKAAN
Pada kasus bunuh diri dengan CO, diagnosis sering dapat ditentukan dengan cepat hanya dengan melihat saja. Korban biasanya sering ditemukan di garasi atau dalam mobil dengan starter dihidupkan. Mobil bisa dalam keadaan hidup, tetapi biasanya dimatikan. Pipa atau selang yang dihubungkan ke knalpot dapat ditemukan menjulur ke dalam kompartemen kendaraan.
Kematian karena kecelakaan yang disebabkan oleh karbon monoksida bisa saja sulit ditentukan dari tampilannya. Seseorang mungkin ditemukan meninggal dalam mobil yang diparkir dengan starter posisi on dan mesin dalam keadaan hidup atau dimatikan. Kematian disebabkan oleh karbon monoksida yang masuk melalui celah pada kendaraan. Akan tetapi, seorang penyidik bisa keliru dengan menganggap penyebab kematian karena penyakit jantung. Jika lebih dari satu orang meninggal dalam mobil dengan starter posisi on, hampir pasti kematiannya disebabkan oleh CO. Jika lebih dari satu orang ditemukan meninggal dalam sebuah rumah, atau satu orang meninggal dan yang lainnya koma, tanpa adanya bukti trauma, bahan pertama harus dicurigai adalah keracunan karbon monoksida yang disebabkan adanya cacad pada alat penghangat.
Adakalanya, orang berusaha membuat suatu bunuh diri seolah-olah seperti kecelakaan. Mereka biasa ditemukan di garasi dengan pintu tertutup, starter mobil posisi on, kap mobil terbuka, dan perkakas dalam spatbor. Kesimpulan yang diharapkan adalah bahwa seolah-olah orang tersebut dibawa pengaruh oleh gas knalpot pada saat memperbaiki mobilnya. Bagaimanapun, kasus seperti ini tetap merupakan kasus bunuh diri. Oleh karena, jika seseorang menghidupkan mobil dalam garasi yang tertutup maka dalam 2 – 3 menit udara akan menjadi sangat tercemar dan beracun, sangat mengiritasi sistem pernapasan, dimana hal yang satu ini tidak bisa dipengaruhi sama sekali dengan perbaikan apapun. Untuk itu penting mematikan mobil dan membuka pintu garasi untuk mengeluarkan asap.

TEMUAN OTOPSI
Temuan otopsi pada kematian karena CO ciri khasnya sangat jelas. Pada ras Kaukasian, kesan yang pertama kali tampak pada tubuhnya yaitu orang tersebut kelihatannya sangat sehat. Corak kulit yang berwarna pink disebabkan oleh pewarnaan jaringan oleh karboksihemoglobin, yang memiliki ciri khas dengan tampilan cherry-red (merah cherry) atau pink terang yang dapat terlihat pada jaringan. Lebam mayat berwarna merah cherry mendukung diagnosis bahkan sebelum mengotopsi korban. Akan tetapi, harus disadari bahwa warna ini dapat juga ditimbulkan oleh keterpaparan tubuh dalam jangka lama dengan lingkungan dingin (ataupun di tempat kematian atau dalam rumah kematian dengan pendingin) atau keracunan sianida. Pada orang kulit hitam, warna tersebut terutama tampak di konjungtiva, kuku, dan mukosa bibir.
Pada pemeriksaan dalam, otot dan organ dalam akan tampak berwarna merah-cherry terang. Warna pada organ dalam ini akan menetap meskipun jaringannya diambil dan dimasukkan ke dalam formaldehid. Balsem mayat juga tidak akan merubah warna organ dalam tersebut. Darah yang diambil dari pembuluh darah juga akan memiliki ciri khas warna ini. Bagaimanapun, hal ini tidak akan berubah. Salah seorang penulis mengotopsi seseorang dengan kadar karboksihemoglobin 45% dimana ciri khas warna ini tidak didapatkan. Dia pada mulanya mencurugai penyebab kematian orang tersebut karena penyakit jantung. Orang tersebut sepertinya memiliki ”corak kulit yang sehat”. Akan tetapi, kecurigaan penulis ini cukup dibangun untuk membuat penentuan karbon monoksida. Kematian disebabkan oleh CO yang dihasilkan oleh adanya kebocoran pada alat penghangat dalam rumah.
Jika peningkatan kadar CO wajar terjadi dalam rumah yang terbakar, maka mungkin tidak ada peningkatan CO pada kematian akibat kebakaran yang terjadi di lingkungan terbuka. Orang-orang yang meninggal dalam kecelakaan kendaraan bermotor dimana terjadi ledakan pada tangki bensin, secara teori mungkin tidak menunjukkan adanya peningkatan kadar karbon monoksida. Meskipun terjadi, insidennya sangat jarang, dan biasanya melibatkan mekanisme yang tidak biasa terjadi.
Pada beberapa orang, kematian akibat keracunan karbon monoksida tidak terjadi dengan segera. Pada beberapa kasus, jika produksi karbon monoksida meningkat setelah terjadinya koma ireversibel, orang tersebut akan menghilangkan karbon monoksida secara bertahap dari tubuhnya, meskipun sudah terjadi kerusakan yang ireversibel. Demikian, penulis telah melihat orang-orang meninggal akibat keracunan karboksihemoglobin yang menunjukkan kadar karboksihemoglobin rendah atau bahkan negatif pada otopsi. Dalam hal yang demikian diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan luar (tampilan) korban. Sebagai contoh, seorang lelaki ditemukan meninggal dalam sebuah mobil yang diparkir. Starter dalam posisi on dan tangki bensin kosong. Otopsi dan analisis toksikologi lengkap tidak berhasil mengungkap penyebab kematian. Akan tetapi, pemeriksaan pada mobil menunjukkan adanya kerusakan dalam sistem kanlpot, dengan begitu CO dengan konsentrasi tinggi akan terbentuk dalam mobil pada saat mobil dihidupkan.
Karbon monoksida dapat lolos dari ibu ke dalam darah janin. Konsentrasi karboksihemoglobin (COHB) janin tergantung pada persentase saturasi hemoglobin ibu terhadap CO. Saturasi hemoglobin janin terhadap CO ketinggalan dibelakang saturasi hemoglobin ibu oleh karena disosiasi karboksihemoglobin ibu yang lambat. Akan tetapi, setelah beberapa saat keseimbangan akan tercapai. Hasil akhirnya adalah COHB janin 10% lebih tinggi dibandingkan COHB ibu. Karbon monoksida dapat menyebabkan kematian janin dalam rahim meskipun ibunya mungkin selamat.
Otak merupakan organ yang paling sensitif terhadap kerja karbon monoksida. Kerusakan otak ciri khasnya adalah terlokalisasi pada area selektif tertentu. Jika kematian tidak terjaadi dengan segera, kerusakan pada daerah ini bisa bertambah dalam beberapa jam dan hari. Karbon monoksida menghasilkan kerusakan selektif pada subtansia abu-abu otak. Nekrosis bilateral pada globus pallidus merupakan lesi paling khas, meskipun area lain dapat terkena, termasuk korteks otak, hipokampus, otak kecil, dan subtansia nigra. Akan tetapi, lesi pada globus pallidus tidak spesifik dan dapat juga dijumpai pada kasus overdosis obat-obatan.
Cacat neurologik yang disebabkan oleh keracunan CO dapat berkembang selama keracunan fase akut atau sesudah terpapar, setelah suatu periode dengan rentang dari beberapa hari sampai beberapa minggu tanpa gejala yang jelas. Dalam situasi ini, setelah interval asimptomatik (tanpa gejala), pada pasien dapat berkembang sakit kepala hebat, demam, rigiditas nuchal, dan gejala-gejala neuropsikiatri. Kebutaan tipe kortikal sementara dan gangguan memori juga sering. Sebagai tambahan, bisa ditemukan afasia, apati, disorientasi, halusinasi, inkontinensia, pergerakan lambat, dan kekakuan otot. Cacat permanen pada keracunan CO termasuk demensia, sindrom amnestik, psikosis, paralisis, khorea, kebutaan kortikal, neuropati perifer, dan inkontinensia. Dalam sebuah studi oleh Choi, 11,8% orang yang mendapatkan perawatan di rumah sakit akibat keracunan karbon monoksida menunjukkan kemunduran neurologik yang terlambat. Sebenarnya semua menunjukkan kemunduran mental , dengan mayoritas menderita inkontinensia dan gangguan berjalan. Umur rata-rata orang-orang yang menunjukkan kemunduran yang terlambat yaitu lebih tua dibandingkan kelompok yang mendapat perawatan secara keseluruhan. Interval yang jelas selama 2 – 4 minggu seringkali mendahului onset dari cacat neurologik. Tiga per empat pasien akan sembuh dalam setahun, meskipun beberapa diantaranya menunjukkan cacat neurologis ringan yang menetap. Tidak ada tanda klinik pada saat masuknya penderita yang memungkinkan dokter untuk menyimpulkan pasien yang mana akan mendapat cedera neurologik yang terlambat.
Telah diperlihatkan bahwa beberapa sel, misalnya sel-sel piramidal CAI di hipokampus dapat mulai lagi berfungsi setelah terpapar karbon monoksida lalu mati beberapa hari kemudian. Sudah dibuat hipotesa bahwa cacat yang terlambat ini disebabkan oleh cacat dengan perfusi kembali setelah iskemik dan efek CO terhadap endotel vaskular dan radikal oksigen diperantarai oleh reoksigenasi oksigen otak.
Sindrom neurologik terlambat pada keracunan karbon monoksida dihubungkan dengan lesi pada subtansia putih otak. Akan tetapi, lesi ini tidak spesifik dan ditemukan pada kondisi lain yang berhubungan dengan hipoksia dan hipotensi. Kelihatannya bahwa gabungan hipotensi dan hipoksia diperlukan untuk menghasilkan lesi ini.

Minggu, 28 Desember 2008

Gangguan Cemas

GANGGUAN CEMAS
Husnul Mubarak, S.Ked

PENDAHULUAN

Sensasi anxietas / cemas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, gelisah, dan sebagainya. Kumpulan gejala tertentu yang ditemui selama kecemasan cenderung bervariasi, pada setiap orang tidak sama.

Dalam praktek sehari-hari anxietas sering dikenal dengan istilah perasaan cemas, perasaan bingung, was-was, bimbang dan sebagainya, dimana istilah tersebut lebih merujuk pada kondisi normal. Sedangkan gangguan anxietas merujuk pada kondisi patologik. Anxietas sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level yang moderat misalnya pertandingan sepak bola, ujian, wawancara untuk masuk kerja mempunyai tingkat anxietas yang berbeda.

Anxietas sendiri dapat sebagai gejala saja yang terdapat pada gangguan psikiatrik, dapat sebagai sindroma pada neurosis cemas dan dapat juga sebagai kondisi normal. Anxietas normal sebenarnya sesuatu hal yang sehat, karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri dan anxietas juga dapat bersifat konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas, maka ia akan belajar secara giat supaya kecemasannya dapat berkurang. Istilah kecemasan dalam psikiatri muncul untuk merujuk suatu respon mental dan fisik terhadap situasi yang menakutkan dan mengancam. Secara mendasar lebih merupakan respon fisiologis ketimbang respon patologis terhadap ancaman. Sehingga orang cemas tidaklah harus abnormal dalam perilaku mereka, bahkan kecemasan merupakan respons yang sangat diperlukan. Ia berperan untuk meyiapkan orang untuk menghadapi ancaman (baik fisik maupun psikologik). Perasaan cemas atau sedih yang berlangsung sesaat adalah normal dan hampir semua orang pernah mengalaminya.

Cemas pada umumnya terjadi sebagai reaksi sementara terhadap stress dalam kehidupan sehari-hari. Bila cemas menjadi begitu besar atau sering seperti yang disebabkan oleh tekanan ekonomi yang berkepanjangan, penyakit kronik dan serius atau permasalahan keluarga maka akan berlangsung lama; kecemasan yang berkepanjangan sering menjadi patologis. Ia menghasilkan serombongan gejala-gejala hiperaktivitas otonom yang mengenai sistem muskuloskeletal, kardiovaskuler, gastrointestinal dan bahkan genitourinarius.

Respon kecemasan yang berkepanjangan ini sering diberi istilah gangguan kecemasan, dan ini merupakan penyakit. Dari aspek klinik kecemasan dapat dijumpai pada orang yang menderita stress normal; pada orang yang menderita sakit fisik berat, lama dan kronik; pada orang dengan gangguan psikiatri berat (skizofrenia, gangguan bipoler dan depresi); dan pada segolongan penyakit yang berdiri sendiri yang dinamakan gangguan kecemasan.

Anxietas dapat bersifat akut atau kronik. Pada anxietas akut serangan datang mendadak dan cepat menghilang. Anxietas kronik biasanya berlalu untuk jangka waktu lama walaupun tidak seintensif anxietas akut, pengalaman penderitaan dari gejala cemas ini oleh pasien biasanya dirasakan cukup gawat untuk mempengaruhi prestasi kerjanya. Bila dilihat dan segi jumlah, maka orang yang menderita anxietas kronik jauh lebih banyak daripada anxietas akut.

DEFINISI ANXIETAS

“Anxietas adalah perasaan yang difus, yang sangat tidak menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang. Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala atau rasa mau kencing atau buang air besar. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin bergerak dan gelisah. “ ( Harold I. LIEF) “Anenvous condition of unrest” ( Leland E. HINSIE dan Robert S CAMBELL) “Anxietas adalah perasaan tidak senang yang khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya atau frustrasi yang mengancam yang akan membahayakan rasa aman, keseimbangan, atau kehidupan seseorang individu atau kelompok biososialnya.” ( J.J GROEN)

PREVALENSI ANXIETAS

Survei terkini di Amerika (1996) melaporkan bahwa 15 - 33% pasien yang datang berobat ke dokter non psikiater merupakan pasien dengan gangguan mental. Dari jumlah tersebut minimal sepertiganya menderita gangguan kecemasan. Di Indonesia penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan Tambora Jakarta Barat tahun 1984 menunjukkan bahwa di puskesmas jumlah gangguan kesehatan jiwa yang sering muncul sebagai gangguan fisik adalah 28,73% untuk dewasa dan 34,39% untuk anak.

ETIOLOGI

Faktor pencetus yang sering jelas dan secara psikodinamik berhubungan dengan faktor-faktor yang menahun seperti amarah yang direpresi atau impuls untuk melampiaskan hal sex. Biasanya urut-urutan kejadian sebagai berikut : Ketakutan ( kecemasan akut ) → represi dan konflik ( tak sadar ) → kecemasan menahun → stres pencetus → penurunan daya tahan dan mekanisme untuk mengatasinya → nerosa cemas.

GEJALA UMUM ANXIETAS

Gejala psikologik:
Ketegangan, kekuatiran, panik, perasaan tak nyata, takut mati , takut ”gila”, takut kehilangan kontrol dan sebagainya.

Gejala fisik:
Gemetar, berkeringat, jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing, ketegangan otot, mual, sulit bernafas, baal, diare, gelisah, rasa gatal, gangguan di lambung dan lain-lain. Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas kronik seperti: rasa sesak nafas; rasa sakit dada; kadang-kadang merasa harus menarik nafas dalam; ada sesuatu yang menekan dada; jantung berdebar; mual; vertigo; tremor; kaki dan tangan merasa kesemutan; kaki dan tangan tidak dapat diam ada perasaan harus bergerak terus menerus; kaki merasa lemah, sehingga berjalan dirasakan berat; kadang- kadang ada gagap dan banyak lagi keluhan yang tidak spesifik untuk penyakit tertentu.

Keluhan yang dikemukakan disini tidak semua terdapat pada pasien dengan gangguan anxietas kronik, melainkan seseorang dapat saja mengalami hanya beberapa gejala 1 keluhan saja. Tetapi pengalaman penderitaan dan gejala ini oleh pasien yang bersangkutan biasanya dirasakan cukup gawat.

Yang akan dibahas disini adalah gangguan cemas menyeluruh.

GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

Penyakit Kecemasan Menyeluruh merupakan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan akan sejumlah aktivitas atau peristiwa, yang berlangsung hampir setiap hari, selama 6 bulan atau lebih.

Gambaran esensial dan gangguan ini adalah adanya anxietas yang menyeluruh dan menetap (bertahan lama), Gejala yang dominan sangat bervariasi, tetapi keluhan tegang yang berkepanjangan, gemetaran, ketegangan otot, berkeringat, kepala terasa ringan, palpitasi, pusing kepala dan keluhan epigastrik adalah keluhan-­keluhan yang lazim dijumpai. Ketakutan bahwa dirinya atau anggota keluarganya akan menderita sakit atau akan mengalami kecelakaan dalam waktu dekat, merupakan keluhan yang seringkali diungkapkan. Kecemasan dan kekhawatiran ini sangat berlebihan sehingga sulit dikendalikan.

Selain itu, penderita mengalami 3 atau lebih dari gejala-gejala berikut:
gelisah
mudah lelah
sulit berkonsentrasi
mudah tersinggung
ketegangan otot
gangguan tidur.
Penyakit ini sering terjadi, sekitar 3-5% orang dewasa pernah mengalaminya.

2 kali lebih sering terjadi pada wanita. Seringkali berawal pada masa kanak-kanak atau remaja. Keadaan ini berfluktuasi, semakin memburuk ketika mengalami stres dan menetap selama bertahun-tahun.

Pedoman Diagnostik
Penderita harus menujukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja ( sifatnya “free floating” atau “mengambang”)

Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
a) Kecemasan ( khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb.);
b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai);
c) Overaktivitas otonomik ( kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb.).

Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menojol.

Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara ( untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif( F32.-), gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesif kompulsif (F42.-)

Terapi

Konseling dan medikasi: informasikan bahwa stres dan rasa khawatir keduanya mempunyai efek fisik dan mental. Mempelajari keterampilan untuk mengurangi dampak stres merupakan pertolongan yang paling efektif. Mengenali, menghadapi dan menantang kekhawatiran yang berlebihan dapat mengurangi gejala anxietas. Kenali kekhawatiran yang berlebihan atau pikiran yang pesimistik.

Latihan fisik yang teratur sering menolong. Medikasi merupakan terapi sekunder, tapi dapat digunakan jika dengan konseling gejala menetap. Medikasi anxietas : misal Diazepam 5 mg malam hari, tidak lebih dari 2 minggu, Beta bloker dapat membantu mengobati gejala fisik, antidepresan bila ada depresi. Konsultasi spesialistik bila anxietas berat dan berlangsung lebih dan 3 bulan.

Untuk mengatasinya biasanya diberikan obat anti-cemas (misalnya benzodiazepin); tetapi karena pemberian jangka panjang bisa menyebabkan ketergantungan fisik, maka dosisnya harus dikurangi secara perlahan, tidak dihentikan secara tiba-tiba. Buspiron merupakan obat lainnya yang juga efektif untuk mengatasi kecemasan menyeluruh. Pemakaian obat ini tampaknya tidak menyebabkan ketergantungan fisik. Tetapi efeknya baru tampak setelah 2 minggu atau lebih, sedangkan efek benzodiazepin akan tampak beberapa menit setelah pemberian obat.

Terapi perilaku biasanya tidak efektif, karena keadaan yang memicu terjadinya kecemasan tidak jelas. Kadang dilakukan relaksasi dan teknik biofeed-back. Penyakit kecemasan menyeluruh bisa berhubungan dengan pertentangan psikis.

Pertentangan ini seringkali berhubungan dengan rasa tidak aman dan sikap kritis yang merusak diri sendiri. Pada keadaan ini dilakukan psikoterapi untuk membantu memahami dan menyelesaikan pertentangan psikis.

Sabtu, 27 Desember 2008

Asfiksia - Pencekikan

ASFIKSIA - PENCEKIKAN

ASFIKSIA


Kematian akibat asfiksia disebabkan oleh kegagalan sel-sel untuk memperoleh atau memanfaatkan oksigen. Kekurangan oksigen dapat parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Tanda-tanda klasik dari asfiksia adalah kongesti visera (organ-organ), petechiae, sianosis dan pengenceran darah. Tanda-tanda ini bagaimana pun tidak spesifik, dan dapat terjadi pada kematian karena penyebab lain. Kongesti visera terjadi akibat obstruksi venous return dan kongesti kapilovenous. Hal yang terakhir disebabkan oleh kerentanan pembuluh darah ini terhadap hipoksia, sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan stasisnya darah.

Petechiae adalah perdarahan pin point yang disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah kecil, terutama venule-venule kecil. Etiologi ruptur nampaknya mekanikal dan disebabkan oleh distensi berlebihan dan ruptur yang tiba-tiba dari pembuluh darah sebagai akibat peningkatan tiba-tiba tekanan intravaskular. Hal ini biasanya terlihat pada pleura viseral dan epikardium. Pada kematian asfiksia akibat strangulasi, petechiae secara klasik dapat ditemukan pada konjungtiva dan sklera. Petechiae, suatu marker nonspesifik,1,2 dapat ditemukan pada konjungtiva dan sklera dan berhubungan dengan berbagai kondisi yang berbeda, tidak semuanya fatal, dan tidak hanya pada kematian asfiksia saja. Mereka ditemukan secara rutin pada reflected scalp pada semua tipe kematian dan tidak memiliki diagnosis yang signifikan pada daerah tersebut. Petechiae pada epiglotis juga tidak signifikan. Gordon dan Mansfield melaporkan terjadinya petechiae epikardial setelah kematian.

Petechiae dapat terjadi setelah kematian pada daerah tubuh tertentu seperti pada lengan yang tergantung pada sisi tempat tidur. Disini, gravitasi menyebabkan peningkatan kongesti dan tekanan intravaskular dan menyebabkan ruptur mekanik pada pembuluh darah kecil. Jika petechiae bertambah lebar atau meluas, mereka disebut sebagai ekimosis.

Sianosis, tentu saja, non spesifik dan disebabkan oleh peningkatan jumlah hemoglobin tereduksi. Sianosis tidak akan terlihat sampai setidaknya terdapat 5 g hemoglobin tereduksi. Pengenceran darah post mortem bukanlah karakteristik asfiksia atau penyebab lain kematian, tapi lebih sebagai akibat dari tingginya fibrinolisis yang terjadi pada kematian yang cepat, kemungkinan oleh karena tingginya level agonal dari katekolamin.

Kematian asfiksia dapat dibedakan secara umum menjadi tiga kategori:
1. Mati lemas
2. Strangulasi
3. Asfiksia kimia

Kematian-keamtian ini dapat karena kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan. Dibandingkan pembunuhan dengan penyebab lain, pembunuhan dengan asfiksia relatif jarang di Amerika Serikat. Mereka peredominan melibatkan strangulasi – pencekikan dan penjeratan. Dalam sepuluh tahun terakhir, pembunuhan dengan strangulasi mencapai rata-rata 286 per tahun, dengan range 366 sampai 211. Nampaknya terjadi penurunan bertahap dalam angka kasus ini dari tahun ke tahun. Pembunuhan yang disebabkan oleh “asfiksiasi” (tidak ada deskripsi lebih lanjut tapi strangulasi tidak termasuk) terjadi kira-kira 107 tiap tahun, dimana angka ini cenderung konstan selama periode sepuluh tahun.

PENCEKIKAN

Pencekikan dihasilkan dari tekanan dari tangan, lengan bawah, atau anggota gerak lain terhadap leher, menekan struktur internal dari leher. Mekanisme kematiannya disebabkan oleh oklusi dari pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak seperti arteri karotid. Oklusi dari saluran pernafasan mungkin memiliki peranan minor, jika ada, dalam menyebabkan kematian. Pada dasarnya semua kasus pencekikan merupakan pembunuhan. Menurut pengalaman penulis, pencekikan merupakan metode terbanyak kedua pada pemubuhan dengan asfiksia. Pada studi oleh DiMaio terhadap 41 kematian akibat pencekikan, predominan wanita, dengan rasio wanita banding pria 1,9 banding 1 (27 banding 14). Dari ke 27 wanita yang dicekik, motifnya adalah perkosaan pada 14 kasus dan kekerasan rumah tangga sebanyak 10 kasus.

Seseorang tidak dapat melakukan bunuh diri dengan pencekikan, sebab, segera setelah kehilangan kesadaran, tekanan terlepas dan kesadaran akan kembali. Suatu genggaman erat dapat menjadi pencekikan jika dipertahankan cukup lama.

Terkadang, diklaim bahwa kematian yang diduga akibat pencekikan pada individu yang sehat adalah tidak disengaja dan diakibatkan oleh reaksi vasovagal (reflex cardiak death) yang terjadi akibat sentuhan, pegangan, atau serangan pada leher. Hal ini merupakan teori yang menarik, tetapi tidak terbukti secara objektif. Mekanisme kematian pada kasus seperti ini dapat berupa aritmia yang disebabkan oleh stimulasi sinus karotid. Sinus karotid merupakan daerah fokal pembesaran arteri karotid dimana ia bercabang menjadi arteri karotid eksternal dan internal. Penekanan atau stimulasi dari sinus karotid menyebabkan peningkatan tekanan darah pada sinus-sinus ini dengan hasil berupa perlambatan heart rate (bradikardia), dilatasi pembuluh darah (vasodilatasi), dan penurunan tekanan darah. Tekanan pada arteri karotid di bawah sinus mengurangi tekanan darah dalam sinus dengan jalan mengurangi jumlah darah yang mengalir di dalamnya. Hal ini menyerupai hipotensi atau penurunan suplai darah akibat perdarahan atau shock, menyebabkan jantung berdetak lebih cepat (takikardia), pembuluh darah berkonstriksi (vasokostriksi), dan peningkatan tekanan darah. Hal ini menjelaskan fakta bahwa, sebagaimana pada kebanyakan kasus pencekikan terjadi bradikardi, vasodilatasi , dan penurunan tekanan darah, pada kasus tertentu, bila tangan terletak lebih ke bawah dari leher, mungkin akan terjadi takikardia, vasokonstriksi, dan peningkatan tekanan darah.

Pada individu normal, tekanan pada sinus karotid menyebabkab efek minimal dengan penurunan heart rate kurang dari 6 kali per menit dan hanya sedikit penurunan tekanan darah (kurang dari 10 mmHg).Beberapa individu, akan tetapi, memperlihatkan hipersensitivitas ekstrim terhadap stimulasi sinus karotid. Pada individu tersebut, terjadi perlambatan pada jantung dan aritmia kardiak yang bervariasi dari aritmia ventrikel hingga stand-still cardiak dan hipotensi. Terdapat laporan bahwa memalingkan leher pada berbagai posisi atau kerah yang tinggi dan ketat telah menyebabkan rasa berputar dan pingsan. Beberapa artikel merujuk pada kasus stimulasi sinus karotid yang telah dibuktikan menyebabkan bradikardia, berlanjut menjadi serangan jantung dan kematian. Review dari laporan kasus mengindikasikan bahwa individu ini merupakan lanjut usia yang menderita dari beberapa penyakit kardiovaskuler berat yang dapat menyebabkan kematian mendadak.

Pada pencekikan, biasanya terlihat kongesti dan sianotik pada wajah, dengan petechiae pada konjungtiva dan sklera. DiMaio menemukan 89% dari kasusnya memiliki petechiae pada konjungtiva atau pada sklera. Petechiae juga dapat ditemukan pada kulit wajah. Petechiae paling mudah terlihat pada konjungtiva bulbar dan saccus konjungtiva, kulit pada kelopak mata atas dan bawah, jembatan hidung, alis dan kedua pipi. Perdarahan konjungtiva dapat lebih lebar hila korban melawan dan penyerang merespon dengan meningkatkan tekanan pada leher. Petechiae disebabkan oleh ruptur sekunder vena dan kapiler akibat peningkatan tekanan intravaskuler sebagai hasil dari obstruksi venous return (vena jugularis interna) yang digabungkan dengan obstruksi inkomplit dari arteri, yang menyebabkan arteri vertebralis terus menyuplai darah ke otak. Tanda khas dari asfiksia – sianosis dan petechiae multipel – paling terlihat di atas tempat penekanan pada leher. Akan tetapi, petechiae tidak patognomonis untuk kematian karena asfiksia. Mereka juga ditemukan pada penyakit lain, contohnya, acute heart failure. Pada muntah dan batuk hebat, terkadang petechiae dapat ditemukan. Jika tubuh tetap pada posisi tegak hingga periode waktu yang lama, hingga hampir terjadi dekomposisi, petechiae post mortem dapat terbentuk dalam pendistribusian livor mortis. Petechiae ini dapat muncul pada kulit, konjungtiva dan sklera. Terkadang, pada kasus pencekikan, terjadi edema pulmonum, dengan cairan edema yang berbuih terlihat dari lubang hidungnya.

Insidens fraktur pada pencekikan tinggi bila dilakukan diseksi leher yang hati-hati. Pada 41 kasus pencekikan yang dipelajari oleh DiMaio, insidens fraktur adalah 68,1% (28 kasus) – 100% pada pria (14 dari 14 kasus) dan 52% (14 dari 27 kasus) dari wanita. Harm dan Rajs melaporkan insidens 70% dari 20 kasus mereka: Simpson dan Knight 92% dari 25 kasus. Pada kasus DiMaio, dari ke 14 wanita dengan fraktur, semuanya mengalami fraktur hioid, baik itu sendiri (5 kasus) atau dikombinasi dengan kartilago thyroid (4); dikombinasi dengan krikoid (3) atau kombinasi dengan baik thyroid dan krikoid (2). Dari 14 pria, 10 mengalami fraktur hioid, baik sendiri (4 kasus) atau dengan kombinasi dengan struktur lain (6); dua memiliki fraktur yang terbatas pada kartilago thyroid; dua pada kartilago krikoid. Terdapat 60 fraktur terpisah pada ke 28 kasus DiMaio.


Gambar 1 (A & B) Pencekikan dengan bekas kuku dan goresan pada sisi leher.

Fraktur unilateral dari hioid lebih dominan dibanding fraktur bilateral 3 banding 1. Pada fraktur unilateral pada hioid, fraktur pada sisi kiri mendominasi 11 banding 7. Semua fraktur pada kartilago thyroid melibatkan cornu superior dibanding badan dari thyroid. Fraktur yang terakhir cenderung vertikal dan biasanya disebabkan oleh pukulan pada kartilago thyroid.

Karena lokasinya yang tinggi pada leher, tulang hioid relatif aman dari pukulan langsung kecuali leher ditengadahkan. Pada pukulan langsung pada leher, fraktur pada hioid umumnya hanya terlihat bila berhubungan dengan fraktur mandibula. Bentuk U pada hioid membuatnya rentan terhaap fraktur karena kompresi. Jadi, fraktur pada hioid, hanya terlihat pada strangulasi. Apakah ujung fraktur tulang hioid mengarah kedalam atau keluar tidaklah penting.

Laring, terletak di depan vertebra servikal keempat hingga keenam, dilindungi pada garis tengah oleh kulit dan dua lapis fascia. Sehingga membuatnya rentan terhadap trauma leher langsung, seperti, pukulan pada leher. Jadi, fraktur pada badan kartilago tyroid dapat dilihat pada pukulan pada leher. Kompresi lateral dari laring, sebagaimana pada pencekikan, menyebabkan fraktur pada cornu tyroid. Fraktur pada kartilago krikoid terjadi paling sering bila kartilago tersebut ditekan dari arah anteroposterior terhadap columna vertebral. Fraktur ini, biasanya vertikal, mungkin terjadi pada garis tengh atau lateral.

Pada pencekikan, biasanya terdapat trauma pada baik aspek eksternal maupun internal dari leher. Oleh karena cara leher dipegang, ujung dari keempat jari beserta kukunya biasanya menusuk leher. Tergantung dari panjang, ketajaman dan regularitas dari kuku, sehingga dapat menyebabkan abrasi (luka lecet) linier atau semilinier, goresan, dan garukan (gambar 1). Ujung jari dapat mengakibatkan kontusi atau tanda-tanda eritematous. Tekanan akibat ibu jari cenderung tidak berada pada ujung, tapi pada bantalannya. Sehingga, pada ibu jari bekas kuku jarang terlihat, meskipun mungkin terdapat kontusio.

Berbagai metode dapat digunakan pada pencekikan. Yang paling sederhana melibatkan satu tangan dan menyerang korban dari depan. Pada metode penyerangan ini, terlihat adanya kontusio kecil dan tanda eritematous yang dihubungkan dengan bekas kuku pada satu sisi bagian depan leher yang disebabkan oleh jari. Suatu tanda eritematous atau kontusi dan, lebih jarang, bekas kuku yang disebabkan oleh ibu jari, mungkin terdapat pada sisi lain dari leher. Bila yang digunakan adalah tangan kanan, bekas ibu jari berada pada sisi kanan dari leher. Bila yang digunakan adalah dua tangan dan korbannya diserang dari depan, biasanya terdapat tanda eritematous dan kontusi atau bekas kuku pada kedua sisi depan leher, biasanya posterior dari m. sternocleidomastoideus. Suatu variasi dari penyerangan dengan dua tangan pada bagian depan leher melibatkan penggunaan tekanan dari kedua ibu jari pada aspek sentral dari leher. Disini, penyerang menekan kedua jempolnya sepanjang sisi laring dan trachea. Hal ini mengakibatkan tanda eritematous atau kontusi pada aspek anterior leher. Daerah perdarahan dapat pada bidang parasagital bilateral atau konfluen pada garis tangah. Bekas kuku, kontusi, dan tanda eritematous yang disebabkan oleh jari akan berada pada aspek lateral dari leher.

Bila digunakan satu atau dua tangan dan korban diserang dari belakang, tanda eritematous atau kontusi akibat ujung jari, sebagaimana bekas kuku, umumnya ditemukan pada bagian depan leher diantara laring dan sternocleidomastoideus. Dengan satu tangan, tanda tersebut hanya akan ada pada satu sisi leher; dengan dua tangan, pada kedua sisi. Memar akibat ibu jari akan nampak pada bagian belakang leher.

Metode yang lebih jarang dari strangulasi adalah menyerang dari depan menggunakan telapak tangan untuk memberikan tekanan pada leher tanpa menggunakan ujung jari. Penulis telah melihat hal ini pada beberapa kesempatan, semuanya melibatkan orang dewasa yang tidak sadar akibat intoksikasi alkohol akut, atau pada anak-anak yang lebih muda. Tidak terdapat bukti dari trauma eksternal yang tidak berhubungan dengan ujung jari atau kuku. Pada semua kecuali satu kasus, terdapat kongesti pada wajah dan petechiae pada konjungtiva dan sklera, sebagaimana petechiae pada kulit periorbital. Tidak ditemukan adanya perdarahan internal dan tidak terdapat kerusakan pada struktur internal leher.

Bekas kuku dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe menggunakan klasifikasi Harm dan Rajs: tanda impresi, bekas cakar, dan tanda goresan. Tanda impresi berupa ”garis kurva reguler, seperti koma, serupa tanda eksklamasi, seperti tanda dash, atau oval, triangular, luka epidermis rektangular berukuran panjang 10 – 15 mm dan lebar hingga beberapa milimeter.” Mereka terjadi ketika ujung jari menusuk kulit pada sudut yang tepat sehingga terjadi penetrasi kuku ke epidermis hingga dermis. Pada kasus kurva imprint, permukaan konkaf tidak selalu berhubungan dengan permukaan konkaf pada kuku, tetapi mungkin dapat berupa suatu ”mirror image”.

Bekas cakar merupakan luka berbentuk-U pada baik epidermis dan dermis, dengan panjang yang bervariasi dari 3-4 mm hingga beberapa cm. Pada bekas cakar, kuku menusuk kulit pada sudut tangensial, memotong epidermis dan dermis secara tangensial dan memisahkannya dari lapisan dibawahnya. Tanda goresan merupakan abrasi linier yang paralel atau pita eritematous pada epidermis dengan lebar hingga 1,0 cm, disebabkan oleh kuku yang menusuk epidermis pada sudut vertikal dan kemudian ditarik sepanjang kulit menyebabkan luka yang memanjang.

Sementara, pada kebanyakan pencekikan, terdapat bukti dari baik luka eksternal dan internal pada leher, pada beberapa kasus, tidak terdapat luka, baik eksternal ataupun internal. Salah seorang penulis (VDM), selama periode lebih 3 bulan, melihat tiga wanita yang telah dicekik. Yang pertama, sama sekali tidak terdapat bukti, baik eksternal maupun internal; yang kedua memperlihatkan kongesti pada wajah dengan petechiae pada konjungtiva dan kulit wajah, tapi tidak terdapat bukti adanya luka pada leher, baik eksternal maupun internal; dan korban ketiga mengalami abrasi dan goresan pada kulit dengan perdarahan ekstensif hingga ke otot-otot leher. Ketiga wanita tersebut dibunuh oleh individu yang sama. Semuanya memiliki kadar alkohol dalam darah lebih dari 0,300 g/dL. Modus operandi dari pelaku adalah menemui seorang wanita di sebuah bar, mentraktirnya minuman keras hingga wanita tersebut mengalami intoksikasi berat, kemudian mengajak wanita itu pergi dan melakukan intercourse seksual. Pelaku kemudian mencekik wanita tersebut. Pada saat strangulasi dilakukan, wanita tersebut sedang tidak sadar akibat intoksikasi akut alkohol, sehingga hanya diperlukan sejumlah kecil tekanan. Pelaku meletakkan tangannya di atas leher dan mendorongnya ke bawah, menekan pembuluh darah pada leher. Pada kasus yang terakhir, individu tersebut memperoleh kesadarannya dan melawan, sehingga menyebabkan luka. Pelaku mengakui telah membunuh sejumlah wanita lain dengan cara yang sama selama beberapa tahun terakhir di sejumlah negara bagian.

Pada pencekikan, korban biasanya wanita. Bila korbannya pria, biasanya dalam kondisi intoksikasi sangat berat. Disarankan bahwa, pada semua pencekikan, dilakukan screening toksikologi lengkap.

Inkontinensia sfingter dipikirkan merupakan suatu karakteristik pada strangulasi. Harm dan Rajs menempatkan pertanyaan ini pada studi terhadap 37 kasus kematian dan 79 korban yang selamat dari strangulasi. Dari ke 37 korban meninggal, 60% (22) diantaranya memiliki kandung kemih yang kosong, dibandingkan dengan 14% dari 54 autopsi terkontrol yang penyebab kematiannya selain dari kekerasan. Dari ke 79 korban yang selmat dari asfiksia, 5% (4) mengalami inkontinensia sfingter. Jadi inkontinensia sfingter, meskipun sering pada strangulasi, bukanlah penemuan yang absolut.

Pada kasus strangulasi, keberadaan fraktur laring atau hioid hanya mengindikasikan bahwa tekanan atau kekuatan telah diberikan pada leher. Fraktur ini sendirinya tidak dapat mengakibatkan kematian. Mereka hanya penanda dari trauma pada leher. Penulis telah melihat kasus dimana seseorang telah mencoba mencekik seseorang, menyebabkan terjadinya fraktur kartilago thyroid atau hioid, hanya untuk menyerah dan menikam atau memukuli korban hingga mati.

Seseorang harus yakin bahwa fraktur tersebut ante mortem, karena tidak jarang terjadi fraktur laring pada saat dilakukan autopsi. Perbedaan karakteristik dari fraktur antemortem adalah perdarahan pada tempat fraktur. Perdarahan ini dapat terlihat dengan jelas. Perdarahan yang hanya terlihat secara mikroskopik dapat merupakan artefak postmortem. Dalam menangani kasus yang dicurigai merupakan strangulasi, seseorang harus sangat berhati-hati mengenai interpretasi perdarahan retrofaringeal dan paravertebra servikal. Perdarahan pada bagian depan dan samping laring pada dasarnya merupakan diagnosis terjadinya trauma seperti strangulasi, pukulan, atau suatu garis lintravenous. Hal ini bukanlah kasus untuk perdarahan retroesofageal dan paravertebra servikal. Hal ini hampir selalu merupakan artefak dan sering dijumpai pada kematian wajar, terutama pada individu lanjut usia yang sekarat seperti pada kematian karena hipoksia. Keberadaan petechiae pada mukosa epigglotis atau laring bukanlah suatu diagnosis strangulasi atau bentuk asfiksia spasifik apapun.

Cedera pada Faring dan Laring yang Disebabkan oleh Intubasi Resusitatif
Cedera resusitasi pada faring dan laring sekunder akibat intubasi dapat menyerupai cedera yang diakibatkan strangulasi dan penekanan leher. Pada suatu studi yang dilakukan terhadap 50 individu dengan intubasi endotrachea sebelum mencapai ruang gawat darurat, dalam usaha resusitasi yang tidak berhasil, 37 (74%) diantaranya mengalami cedera pada saluran pernafasan akibat intubasi. Cedera pada mulut terdiri dari kontusi fokal, laserasi, dan abrasi fokal dari bibir dan mukosa bukal. Cedera pada orofaring posterior dan laringofaring berupa kontusi pada basal lidah, kontusi pada epiglotis, kontusi pada resesus piriformis, dan laserasi pada epiglotis (satu kasus). Cedera pada laring (32 kasus) termasuk kontusi dan petechiae pada mukosa sebagaimana pada tujuh kasus dimana terdapat perdarahan pada otot superfisial dan dalam dari laring. Sebagaimana telah tercatat sebelumnya, petechiae pada epiglotis, laring dan trachea bukanlah suatu penanda diagnosis. Sehubungan dengan perdarahan pada otot-otot leher, Raven dkk. tidak memberikan lokasi tepatnya dari perdarahan ini dan seberapa luas. Pada bagian eksternal, individu akan memiliki abrasi kutaneus pada leher pada dua kasus; petechiae fasial pada tiga kasus dan petechiae konjungtiva pada sepuluh kasus. Terdapatnya petechiae diduga disebabkan oleh kompresi dada saat resusitasi.

Cedera pada Pelaku Strangulasi

Artikel Harm dan Rajs dianggap tidak biasa sebab, tidak hanya memperhatikan karakteristik dan pola luka pada korban pada baik pencekikan maupun penjeratan, tetapi juga mendokumentasikan luka pada penyerang. Penulis mempelajari 37 kasus mematikan dari strangulasi – 20 pencekikan, 12 penjeratan, dan lima pencekikan dan penjeratan. Pada 32 kasus, pelakunya telah diketahui. 20 diantaranya diperiksa untuk cedera yang dialami. Dari jumlah ini, 13 (65%) diantaranya menunjukkan total 98 luka. Menariknya, ada atau tidaknya luka defensif pada tubuh korban tidak berhubungan dengan keberadan luka pada pelaku. Jadi, dari korban yang dibunuh oleh ke 13 pelaku yang menunjukkan bukti adanya luka, enam diantaranya memiliki luka defensif pada tangan dan lengan, sementara tujuh tidak menunjukkan adanya luka sehingga tidak terdapat indikasi adanya perlawanan walaupun luka pada pelaku mengindikasikan bahwa mereka telah melakukan perlawanan.

Bekas kuku (impresi, bekas cakaran, dan goresan) menyumbangkan 82% dari luka yang timbul pada ke 13 penyerang. Sisanya 18% tidak spesifik. Sebelas (85%) dari penyerang memiliki 2 hingga 26 bekas kuku. Tujuh puluh persen dari bekas kuku ini pada 10 dari 13 penyerang terdapat pada punggung tangan dan lengan bawah dan dominan impresi. Sebagian besar bekas kuku terkonsentrasi pada bagian belakang dari jari telunjuk dan ibu jari. Tempat luka sekunder adalah wajah dan bahu kanan.

Bila distribusi luka pada pencekik dibandingkan dengan yang diterima pada pemerkosa yang tidak mencekik korbannya, ditemukan bahwa lesi paling banyak pada pemerkosa adalah goresan paralel pada tubuh akibat kuku. Bekas kuku (kebanyakan goresan dan bekas cakaran) lebih sering pada wajah dan leher pada pemerkosa dan luka nonspesifik lebih sering ditemukan daripada pencekik (47 dibanding 18%).

Kematian Mendadak

KEMATIAN MENDADAK - MATI WAJAR

Definisi

Kematian mendadak adalah kematian yang terjadi dalam waktu 48 jam sejak timbulnya gejala penyakit yang membawa kematian tersebut. Tidak termasuk kecelakaan, misal kecelakaan lalu lintas dan keracunan. Jadi kematian mendadak pasti mati wajar. Kematian kurang dari 1 jam setelah onset dikategorikan dalam instantaneous death (kematian seketika).

Insidens
· Belum ada ketetapan pasti.
· Laki-laki : Perempuan = 2 : 1 (kemungkinan laki-laki lebih banyak oleh karena faktor emosi/stres)
· Ada 2 kelompok umur (2 peak/puncak) umur 0-6 bulan dan 35-70 tahun.
· Penduduk kota lebih sering daripada desa.

Etiologi
Penyebab kematian mendadak dapat diklasifikasikan menurut sistem tubuh, yaitu sistem susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler, sistem pernafasan, sistem gastro intestinal dan sistem urogenital. Dari sitem-sistem tersebut, yang terbanyak menjadi penyebab kematian adalah sistem kardiovaskuler, dalam hal ini penyakit jantung.

1. Sistem Kardiovaskuler
· Penyakit pembuluh nadi koroner merupakan penyebab kematian yang terbanyak.
· Untuk dapat menyebabkan kematian tidak perlu harus ada penyumbatan.
· Adanya penyempitan atau penebalan khususnya pada rumus descenden a. coronaria sinistra, yaitu arteri yang mensuplai darah bagi sistem konduksi (pacemaker).
· Dengan berkurangnya suplai darah ke tempat tersebut, yang terjadi pada waktu melakukan kerja fisik (oleh karena ada penebalan atau penyempitan sehingga tidak bisa melebar sewaktu dibutuhkan), terjadi hipoksia yang diikuti fibrilasi atrium dan berakhir dengan kematian.
· Hal lain, yaitu bila terdapat sumbatan atau penebalan yang hebat dapat terjadi infark miokard.
· Untuk konfirmasi bila dibutuhkan, dapat dibuat sediaan histopatologik yaitu untuk melihat adanya tanda-tanda infark.
· Tempat dimana a. coronaria sering mengalami penyempitan adalah :
1. ramus descenden a. coronaria sinistra (45-64%)
2. a. coronaria dextra (24-46%)
3. a. circumflexa coronaria sinistra (0-10%)
4. pangkal a. coronaria sinistra (0-10%)
· Pecahnya aneurysma aortae, endocarditis serta kelainan katup jantung, juga merupakan penyebab kematian mendadak.
· Terjadinya serrangan jantung atau kematian seseorang karena penyakit jantung biasanya sudah dapat diduga, yaitu kematian setelah orang tersebut melakukan kerja fisik yang belebihan, misalnya setelah melakukan persetubuhan yang bukan dengan istrinya atau setelah olahraga.

2. Sistem Saraf Pusat
· Pecahnya a. lenticulostriata pada penderita hipertensi merupakan penyebab kematian yang tersering, biasanya didahului oleh rasa sakit kepala, pusing, mual dan kemudian jatuh.
· Penyempitan pembuluh darah otak, pada penderita lanjut usia atau mereka yang kadar kolesterolnya tinggi, merupakan penyebab lain kematian.
· Pada dewasa muda kematian mendadak oleh karena adanya kelainan pada susunan saraf pusat adalah pecahnya aneurysma cerebri, yang dapat diketahui lokasi aneurysma tersebut, bila pemeriksaan atas pembuluh darah otak (circulus willisi) dikerjakan dengan teliti; dimana pada pemeriksaan akan ditandai dengan adanya perdarahan subarachnoid
· Perdarahan karena tumor ganas di otak serta peradangan (meningitis atau meningo-encephalitis), juga merupakan penyebab kematian, dimana yang terakhir tadi yaitu peradangan biasanya menyerang anak-anak.

3. Sistem Pernafasan
· Perdarahan akibat tuberkulosa yang menyumbat saluran pernafasan merupakan penyebab kematian yang paling sering di negara yang belum berkembang
· Penyakit infeksi pada paru-paru yang mendadak juga dapat menyebabkan kematian mendadak.
· Asma bronkiale, bronkiektasis dan difter juga dapat merupakan penyebab kematian mendadak yang tidak jarang terjadi.

4. Sistem Gastrointestinal
· Pecahnya varises esofagus pada penderita sirosis hepatis, merupakan penyebab kematian yang tersering.
· Perforasi ulkus ventrikuli, khususnya terjadi setelah seseorang meminum alkohol atau menelan obat yang mengiritasi lambung, misalnya aspirin dapat menyebabkan kematian mendadak.

5. Sistem urogenitalis
· Peradangan ginjal dan payah ginjal mendadak (acute renal failure) merupakan penyebab kematian mendadak pada sistem ini.

Tidur dan Jantung

Tidur Lebih Lama Akan Menolong Jantung Anda
Penelitian Menunjukkan Seseorang yang Tidur Lebih Lama Maka Kemungkinan Kalsifikasi Pada Arteri Koroner Semakin Berkurang
By Miranda Hitti
WebMD Health News
Reviewed by Louise Chang, MD
Translated by Husnul Mubarak

Dec. 23, 2008 -- Tidur berlebih dapat baik untuk jantung anda, suatu penelitian terbaru telah membuktikannya

Pada penelitian tersebut, Setiap tambahan satu jam tidur berkaitan dengan penurunan kemungkinan kalsifikasi arteri koroner sebesar 33% pada peserta penelitian dalam waktu 5 tahun

Dalam jangka panjang, hal tersebut dapat mengurangi resiko serangan jantung atau "kejadian" kardiak lainnya, walaupun penelitian yang lebih lama dibutuhkan untuk membuktikannya, jelas peneliti dalam The Journal of the American Medical Association.

Mengenai Kalsifikasi Arteri Koroner

Penelitian ini benar-benar mencari kasus kalsifikasi arteri koroner baru diantara sekitar 500 orang dewasa berusia menengah selama periode 5 tahun

Arteri koroner menyuplai otot jantung dengan darah kaya oksigen. Pada penyakit jantung koroner, plaq tertimbun di dalam dinding arteri koroner, mempersempit arteri. Semakin banyak plaq, semakin banyak kalsium ditemukan pada dinding arteri. Sehingga mengukur kalsium koroner dapat digunakan untuk mengukur plaque.

Kebiasaan Tidur

Pada penelitian ini, dilakukan scan pada arteri koroner dari peserta penelitian menggunakan CT-scan pada saat awal dan akhir penelitian.

Peserta juga menggunakan suatu peralatan khusus yang dikenakan pada pergelangan tangan pada awal penelitian untuk mengukur aktivitas mereka, dan memberikan informasi mengenai kebiasaan tidur.

Durasi rata-rata tidur pada peserta peneliti adalah sekitar 6 jam tidur malam. Hanya beberapa orang yang tidur lebih dari 8 jam per malam, dilaporkan oleh Christopher Ryan King, et al dari University of Chicago

Semakin Lama Tidur, Semakin Kurang Kalsifikasi

Pada peserta penelitian dilakukan CT-scan arteri koroner lainnya pada akhir penelitian. Sekitar 12% mengalami kalsifikasi arteri koroner.

Peserta yang tidur lebih lama --yang diukur dengan monitor pada pergelangan tangan -- memiliki kemungkinan mengalami kalsifikasi arteri koroner yang lebih rendah

"Tiap satu jam tambahan tidur menurunkan kemungkinan kalsifikasi sebesar 33%" Tulis tim King.

Penemuan ini mempertimbangkan usia, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan, merokok, dan resiko sleep apnea.

King et al, membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasikan penemuan ini, untuk mempelajari bagaimana durasi tidur berhubungan dengan dengan kalsifikasi arteri koroner, dan mengetahui seberapa lama tidur yang paling baik untuk menurunkan resiko kalsifikasi koroner.

Artikel asli http://www.webmd.com/heart-disease/n...src=RSS_PUBLIC

Rabu, 17 Desember 2008

Malpraktek

MALPRAKTEK

DEFINISI
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Untuk malpraktek dokter dapat dikenai hukum kriminal dan hukum sipil. Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal : (1) Tanggung jawab kriminal, (2) Malpraktik secara etik, (3) Tanggung jawab sipil, dan (4) Tanggung jawab publik(5,9)

Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan lima elemen : (1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan, (3) kerugian yang ditimbulkan, (4) Penyebabnya, dan (5) Antisipasi yang dilakukan. (2,3)

Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan bukti – bukti yang cukup dihadirkan di depan pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh (dokter atau rumah sakit) lalu memberikan bukti – bukti yang menyanggah tuduhan yang dikenakan kepadanya. Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap kasusnya itu tidaklah cukup. Namun, terdapat sanggahan – sanggahan yang dapat diterima yang dapat membuatnya lepas dari tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang dilakukan telah diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (resiko diketahui dengan informed consent / surat tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau melanggar pantangan – pantangan yang ada, atau (3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan diagnosis tanpa bantuan pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini dianggap sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan contohnya saat dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini merupakan dasar dan alasan yang penting dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang berlaku. Pengadilan akan memberikan pengertian terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam menggunakan standar dan uji diagnostik yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah praktik kedokteran yang substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka badan hukum mulai menyelidiki tagihan – tagihan yang diberikan rumah sakit, dokter dan penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan seksama diberikan terhadap prosedur – prosedur yang tidak dapat dibenarkan secara medis, namun dikerjakan secara hati – hati baik sehingga dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang melecehkan tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan dan persetujuan dokter – pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya peraturan – peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik serta dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut.(3)

Malpraktek Kriminal. Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat – obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien.(3,6)

Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas. (6,9)

Civil Malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka atau meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata.(9)

Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.(9)

Malpraktik secara Etik, Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan menjadi perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang – orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.(3)

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu (a) duty, (b) adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c) penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct caution), (d) sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage). (2,9,10)

a. Duty (kewajiban)

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.(2)

Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan: (1)
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.

Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29 tahun 2004 Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan pada bagian kesatu pasal 36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan bagian kedua tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43. Pada bagian ketiga menegaskan tentang pemberian pelayanan, dimana paragraf 1 membahas tentang standar pelayanan yang diatur dengan Peraturan Menteri. Standar Pelayanan adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran. (6,10)

Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Standar profesi yang dimaksud adalah yang tercantum dalam KODEKI Pasal 2 dimana Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, dimana tolak ukuran tertinggi adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat.(9)

Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan pasien harus diberi penjelasan yang lengkap akan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Di mana penjelasan itu mencakup sekurang-kurangnya :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Yang harus ditekankan lagi oleh seorang dokter adalah ketika dia menjalankan praktik kedokteran wajib untuk membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang parktek kedokteran pasal 46. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan dan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.(6)
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin “ Res ipsa Loquitur”. Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.(2,6,8)

c. Direct Causation (penyebab langsung)


Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun.(10)

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya. (2)

d. Damage (kerugian)

Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain. (2)


Pasien/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena: (6)
- Dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menyembuhkan penyakit atau setidak-tidaknya meringankan penderitaan.
- Dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti
- Dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya.
- Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
- Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran
- Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
- Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati
- Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian kerena kelalaian, maka penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut:
- Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien
- Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
- Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar

Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang tergugat. Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi “Res Ipsa Loquitur”, yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokter lah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (kriminil), kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal oleh Negara.

Menurut W.L. Prosser dalam buku The Law of Torts yang dikutip oleh Dagi, T.F dalam tulisannya yang berjudul Cause and Culpability di Journal of Medicine and Philosophy Vol. 1, No. 4, 1976, unsur malapraktik adalah (1) Adanya perjanjian dokter-pasien; (2) Adanya pengingkaran perjanjian; (3) Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu dengan musibah yang terjadi; (4) Tindakan pengingkaran itu merupakan penyebab utama dari musibah dan; (5) Musibah itu dapat dibuktikan keberadaannya.(mlpraktek: kapan dokter disebut malpraktek)

Adanya perjanjian. Unsur ini yang tersedia untuk digarap oleh pengacara kasus malapraktik. Perjanjian dokter-pasien, oleh kalangan kedokteran di Indonesia disebut sebagai transaksi terapeutik (TT) atau ikatan untuk pengobatan. Oleh karena perjanjian yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak menguntungkan pasien, Ikatan Dokter Indonesia dengan SKB No. 319/88 yang dikuatkan oleh Menteri Kesehatan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 595/89 tentang Persetujuan Tindakan Medik.

Sahnya perjanjian menurut KUHPer pasal 1320:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu pokok persoalan tertentu; dan Suatu sebab yang tidak terlarang.

Namun, kalangan kedokteran menyadari bahwa pasien bukanlah dokter, sehingga setingkatnya kecakapan itu hampir tidak mungkin. Oleh karena itu adalah suatu keharusan bagi dokter, untuk memberikan keterangan yang lengkap kepada pasien tentang upaya penyembuhannya. Jelaslah bahwa dasar tindakan medik adalah adanya perjanjian atau kesepakatan. Selain keadaan darurat, tanpa persetujuan tindakan medik, melakukan pengobatan atau pun pembedahan adalah kejahatan. Malapraktik terjadi bila persetujuan itu tidak lengkap seperti tidak memberitahukan apa yang akan dilakukan, risiko melakukannya dan risiko bila tidak melakukannya. Membuka perut (laparotomi) adalah suatu pokok persoalan yang umum, melakukan pengangkatan usus buntu (apendektomi) adalah persoalan tertentu. Risiko melakukan tindakan dibicarakan dengan jujur tanpa menakut-nakuti. Ia terbatas pada risiko yang lazim terjadi serta berhubungan dengan tindakan ataupun fasilitas. Memindahkan anus ke perut (kolostomi) adalah risiko yang berhubungan dengan tindakan medis misalnya kanker usus. Mati, bukan risiko yang akan disampaikan karena dapat terjadi kapan saja, apa pun tindakan medis yang dilakukan serta berada di luar wewenang dokter. Memberikan harapan yang berkelebihan juga malapraktik seperti menjanjikan bisa bermain bola dalam waktu 3 bulan, bagi seorang patah tulang (Nova 684/XIV 8 April 2001).

Walaupun demikian, hal itu membuktikan tidak mudah karena pemberitahuan dapat dilakukan secara lisan. Bila perawat bersaksi membantu dokter, maka perjanjian selalu akan benar. Adanya pengingkaran perjanjian. Unsur ini adalah wewenang Komite Medik Rumah Sakit yang salah satu tugasnya adalah menyusun standar pelayanan dan memantaunya (SK Dirjenyanmed 811/1993).

Pengingkaran perjanjian dapat terjadi di kedua pihak baik dokter atau pun pasien. Dokter melakukannya bila ia tidak bertindak sesuai dengan kepatutan yaitu standar profesi dan menghormati hak pasien (UU Kesehatan No. 23/92 Pasal 53). Pasien melakukannya bila ia tidak konsisten berobat. Standar profesi merupakan topik yang terhangat di media. Ia adalah ukuran tertentu yang dapat dipakai sebagai patokan upaya kedokteran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2001). Patokan itu adalah upaya dokter dalam melakukan pengobatan dan menggunakan teknologi, sesuai dengan kemampuan yang seharusnya dipunyainya. Ia berbeda untuk setiap komunitas dan domisili dokter, hingga memang tidak akan mungkin akan ada standar Indonesia.

Standar di RSU tipe C yang hanya mempunyai spesialis umum tidak sama dengan RSU tipe B, dengan berbagai superspesialis. Di RSU tipe C, patah tulang hanya akan ditarik (bone traction) sedangkan di RSU tipe B dengan pen. Tumor yang dilihat dengan foto ronsen biasa, di RSU tipe B akan disidik dengan alat canggih seperti MRI. Diagnosis usus buntu di Banda Aceh tahun 1986 dilakukan hanya dengan perabaan, sedangkan di saat yang sama di Jakarta dapat dibantu dengan alat canggih seperti USG. Operasi usus buntu di Kalimantan, dilakukan dengan sayatan pada perut, sedangkan di Jakarta dengan tusukan alat laparoskopi. Kecanggihan ini juga bernuansa malapraktik bila dilakukan dengan membabi buta. Maka, yang paling berhak menentukan pengingkaran atas standar profesi adalah Komite Medik di rumah sakit yang bersangkutan. Mereka mengetahui seperti mengenal tapak jarinya, standar komunitas dokternya dan teknologi yang tersedia. Adanya sanksi terhadap dokter tersangka, adalah bukti akan pengingkaran perjanjian. Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu dengan musibah yang terjadi. Unsur ini juga wewenang Komite Medik. Ia tidak ada bila terjadi pengingkaran perjanjian oleh pasien seperti tidak datang pada waktu yang ditetapkan, tidak membeli obat yang diresepkan (pasien berhak meminta obat generik yang sama kandungannya), menolak dirawat atau operasi, melanggar aturan yang ditetapkan seperti tidak boleh makan garam, makan tatkala harus puasa dan sebagainya. Namun, ini bukan berarti tanpa kelalaian pasien, memutuskan adanya malapraktik menjadi mudah. Komite medik harus memilah berbagai faktor lainnya seperti salah memberikan obat yang merupakan tanggung jawab rumah sakit (Pikiran Rakyat , 10 November 2002) ataupun malapraktik rekanan, yang kebanyakan tidak memenuhi syarat (Pikiran Rakyat 14 Juni 2002). Pengingkaran perjanjian itu merupakan penyebab musibah. Unsur ini adalah wewenang dokter lain yang setingkat dalam pendidikan dan pengalaman, berada di rumah sakit dan kota yang setingkat. Hal ini adil karena ialah yang mengetahui komunitas dan teknologi yang tersedia untuk tersangka. Kesaksian ahli bedah konsultan plastik bagi ahli bedah umum tentu tidak adil, sebagaimana ahli penyakit dalam yang bertugas di Irian dengan Surabaya.

Menurut Prosser, W.L. yang dikutip oleh Dagi, penyebab itu itu dapat berupa,
- Apakah tindakan medis itu yang paling mungkin menyebabkan musibah (the nearest cause). Contohnya adalah kasus Ny. A yang meninggal karena perdarahan akibat memasukkan alat pengukur tekanan pembuluh balik pusat (Central Vena Pressure-CVP) pada urat nadi besar (http :/ /www. Suarapembaruan .com/ News /2004 /04 /04 /Utama /ut02 .htm) ;
- Apakah tindakan medis itu merupakan penyebab musibah yang terakhir (the last human wrongdoer). Contohnya adalah kasus Tn. A yang meninggal sesudah dua kali operasi. Operasi pertama yang meninggalkan kain kasa menyebabkan infeksi hingga dibutuhkan operasi kedua. Operasi pertama adalah penyebab musibah sedangkan yang kedua upaya penyelamatannya (Sinar, No. 4 tahun 1996).
- Apakah dokter tersangka menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya musibah (condition necessary for the injury). Contohnya adalah kasus Nn. S. Operasi pertama adalah pengangkatan kista ovarium (indung telur). Operasi kedua adalah perbaikan usus yang bocor. Operasi pertama menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya musibah (Gatra 3, Februari 2001);
- Apakah tindakan itu merupakan faktor penting dalam musibah (substantial factor). Contohnya adalah kasus Ny. A karena penusukan urat nadi besar merupakan penyebab langsung kematian;
- Tindakan itu hanya penyebab yang terkait (justly attachable). Contohnya adalah nyeri dan sakit karena alat operasi ginjal tertinggal dalam perut (Pikiran Rakyat 27, Maret 2003); Dan (6) tindakan itu menimbulkan pengaruh yang akan memicu pengaruh lainnya atau menimbulkan pengaruh baru yang akhirnya menyebabkan musibah (created a force which has remained active itself or created another force which remained active until it directly caused the result or created a new active risk of being acted upon by active force which causes the result). Contohnya adalah kasus Tn. A di mana kasa yang tertinggal menyebabkan infeksi yang memerlukan operasi ulangan.


Musibah akan ditentukan oleh pengadilan. Ia ada bila berakhir dengan mati atau cacat. Maka, bila kelima unsur ini ada, dokter yang bersangkutan patut dipersalahkan telah melakukan malapraktik. Ia layak dituntut bila Anda mempunyai bukti tertulis adanya sanksi Komite Medik atas dokter tersangka, kesaksian tertulis seorang dokter yang setingkat. Barulah sesudah itu Anda harus mencari seorang pengacara yang amanah. Ia terlihat dari tidak mengumbar janji, tidak meminta uang muka kecuali ongkos yang harus dikeluarkan dan cerewet sebelum memutuskan untuk menerima kasus Anda. (malpraktek: kapan dokter disebut malpraktek
MEDIKOLEGAL

Akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau kelalaian medik di Indonesia, ditambah “keberanian” pasien yang menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai 'sibuk' berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya (7)

Demikian saktinya media, hingga berbagai pengadilan dirancang untuk mengadili dokter yang melakukan malapraktik. Selain sudah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Pengadilan Negeri, ada yang mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Profesi Dokter (MKPD) dan peradilan ad hoc. Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.(4)

Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan, banyak yang memerlukan pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata laksana standar kedokteran ada di luar pengetahuan juri. Jika terdapat tuduhan tindakan malpraktik maka orang yang mengajukan tuduhan tersebut disyaratkan untuk memberikan bukti adanya penyimpangan tersebut. Bukti tersebut harus datang dari ahli yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan subjek yang dipermasalahkan. Karena itu, umumnya banyak didapatkan dokter enggan bersaksi melawan teman sejawatnya. Alasan keengganannya tersebut bervariasi mulai dari stigma tuduhan malpraktik, nama buruk yang didapat setelah bersaksi, ancaman pengeluaran dari komunitas tempat dia bernaung, ancaman dari perusahaan asuransi dokter tersebut, ancaman pengadilan profesi, dan adanya konspirasi untuk tutup mulut. Pembelaan yang lebih relevan dan dapat diterapkan dalam praktik kedokteran sehari-hari termasuk : (1) Asumsi pasien mengenai resiko berdasarkan surat persetujuan yang telah dibuat, (2) Faktor penyebab kelalaian terletak di tangan pasien, (3) Kelalaian terletak pada pihak ke tiga. Terdapat pencegahan-pencegahan tertentu yang dapat dilakukan secara rutin sehingga tuduhan malpraktik dapat dielakkan. Hal ini termasuk :
1. Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai asisten tersebut dapat memenuhi standar kualifikasi yang ada.
2. Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di tempat praktik.
3. Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.
4. Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah diakses oleh pasien. Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien membaca dan menyalahartikan literatur yang ada.
5. Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.
6. Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.
7. Jangan memberikan resep obat lewat telepon.
8. Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang ada.
9. Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan membocorkan informasi yang ada kepada siapapun. Rahasia ini hanya diketahui oleh dokter dan pasien.
10. Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau mengubah isi yang ada.
11. Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu di rekam medis.
12. Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah alat bantu yang penting dalam menyimpan surat persetujuan yang telah dibuat.
13. Jangan mengabaikan pasienmu.
14. Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter yang terlampau mahal. Buatlah diskusi dan pengertian dengan pasien mengenai tarif dokter yang wajar.
15. Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien. Jangan pernah menduga jika pasien mengerti apa yang kita ucapkan.
16. Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini tata laksana akan menjadi komprehensif.
17. Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan penipuan kepada pasien. Jangan mengakali pasienmu. Jangan mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.
18. Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata laksana jika pasien masih berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh pengobatan yang mengandung narkotika.
19. Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan dana sendiri. Jika pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi yang pasien miliki, maka jangan limpahkan kepada polis asuransi yang kita miliki.
20. Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawatmu.
21. Jangan pernah ikut serta dalam gerakan tutup mulut.

Pembelaan Dapat Dilakukan Seorang Dokter Jika Diisukan Melakukan Penelantaran. Meskipun seorang pasien mengajukan kasus prima facie bahwa dokter telah melakukan penelantaran, bahkan mengajukan bukti bahwa dokter tersebut tidak memberikan kenyamanan pelayanan kesehatan sesuai standar media yang diharapkan oleh pasien pada waktu tertentu atau berdasarkan kepercayaan pada doktrin res ipsa loquitur (Bukti – bukti berbicara untuk dirinya sendiri), hukum membolehkan seorang dokter untuk membela dirinya, selain penyangkalan tindakan penelantaran. Pembelaan yang dapat dilakukan, antara lain :
1. Perkiraan resiko tindakan pada pasien
2. Keikutsertaan terjadinya penelantaran oleh pasien sendiri
3. Bahwa penelantaran tersebut bukan untuk melindungi dokter tersebut melainkan orang lain, misal perawat

The Assumption of Risk, Violenti non fit Injuria. Biasanya, kenyataan bahwa pasien mengetahui resiko dari tindakan medis dan mau mendapat terapi tersebut tidak melepas kewajiban dokter tersebut dalam menangani pasien dengan baik. Bagaimanapun juga jika pasien bersikeras mendapat penanganan yang dapat membahayakannya, melawan saran dari dokter, maka dokter tersebut lepas dari tanggung jawabnya. Posisi ini dapat menjadi sangat rumit jika pasien yang ditangani berada dalam kondisi mental yang kurang siaga dalam menerima tanggung jawab menjalankan instruksi, dalam hal ini yang dimaksud adalah mengerti dan memahami penjelasan sang dokter.(2)

Sikap dokter terhadap hukum. Dokter yang terlibat pada kasus hukum dan telah membaca laporan kasus hukum sering kesal pada tatalaksana yang diterima oleh mereka sendiri atau koleganya di tangan pengacara. Namun, terlihat jelas dari laporan kasus singkat pada bab ini, bahwa pasien telah sering mengalami banyak kehilangan dan satu-satunya kesempatan kompensasi untuk dirinya sendiri dan tergugat bergantung pada tindakan hukum. Juga jelas dari laporan kasus bahwa pengadilan menjunjung tinggi reputasi dokter saat hal tersebut mungkin, dan tidak boleh bersimpati terhadap disabilitas pasien yang berpengaruh pada keputusan hukum. Sikap tidak memihak ini lebih dijelaskan pada kasus Roe and Woolley v. Minister of Health dimana terdapat cedera berat pada penggugat, namun pengadilan mengatakan bahwa ’kami seharusnya tidak menghukum kelalaian yang hanya merupakan kecelakaan. Kami seharusnya selalu berada pada kehati-hatian terhadapnya, terutama pada kasus melawan rumah sakit dan dokter.’Untuk perlindungan diri, seorang dokter harus selalu memperhatikan kasus-kasusnya dengan seksama, bersiap memberikan alasan untuk segala keputusan yang dibuatnya dan menjaga pasien agar tetap diinformasikan dengan baik dan berada dalam kepercayaannya. Jika pada saat tidak beruntung ia menjadi tergugat secara hukum, maka ia telah memiliki dasar yang baik untuk pembelaan. Selama mendengarkan kasus, ia harus berpengetahuan penuh mengenai semua kenyataan yang terjadi pada kasus, walaupun terkadang terlewat saat sesi pertanyaan, dan harus bersiap untuk menjawab pertanyaan berdasarkan pemahamannya atas tatalaksana dan pendapatnya. Ia harus mengingat bahwa kapanpun tindakannya dipertanyakan, ia harus selalu terlihat mempunyai alasan yang tepat. Ia tidak pernah harus menunjukkan bahwa tindakannya sempurna.(2)

Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan tindakan malpraktek maka dia akan dikenai sanksi hukum sesuai dengan UU No. 23 1992 tentang kesehatan. Dan UU Praktek kedokteran dalam BAB X Ketentuan Pidana Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sehubungan dengan hasil keputusan Mahkama Konstitusi pasal tersebut telah mengalami revisi, dimana salah satu keputusan dari Mahkama Konstitusi adalah ketentuan ancaman pidana penjara kurungan badan yang tercantum dalam pasal 75, 76, 79, huruf a dan c dihapuskan. Namun mengenai sanksi pidana denda tetap diberlakukan.

Ayat (2) berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia

Ayat (3) berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja. Surat tanda registrasi yang dimaksud adalah melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Selain pasal 75, masih ada beberapa pasal yang akan menjerat dokter apabila melakukan kesalahan yaitu diantaranya Pasal 76, 77, 78, dan 79.