Sabtu, 27 Desember 2008

Asfiksia - Pencekikan

ASFIKSIA - PENCEKIKAN

ASFIKSIA


Kematian akibat asfiksia disebabkan oleh kegagalan sel-sel untuk memperoleh atau memanfaatkan oksigen. Kekurangan oksigen dapat parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Tanda-tanda klasik dari asfiksia adalah kongesti visera (organ-organ), petechiae, sianosis dan pengenceran darah. Tanda-tanda ini bagaimana pun tidak spesifik, dan dapat terjadi pada kematian karena penyebab lain. Kongesti visera terjadi akibat obstruksi venous return dan kongesti kapilovenous. Hal yang terakhir disebabkan oleh kerentanan pembuluh darah ini terhadap hipoksia, sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan stasisnya darah.

Petechiae adalah perdarahan pin point yang disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah kecil, terutama venule-venule kecil. Etiologi ruptur nampaknya mekanikal dan disebabkan oleh distensi berlebihan dan ruptur yang tiba-tiba dari pembuluh darah sebagai akibat peningkatan tiba-tiba tekanan intravaskular. Hal ini biasanya terlihat pada pleura viseral dan epikardium. Pada kematian asfiksia akibat strangulasi, petechiae secara klasik dapat ditemukan pada konjungtiva dan sklera. Petechiae, suatu marker nonspesifik,1,2 dapat ditemukan pada konjungtiva dan sklera dan berhubungan dengan berbagai kondisi yang berbeda, tidak semuanya fatal, dan tidak hanya pada kematian asfiksia saja. Mereka ditemukan secara rutin pada reflected scalp pada semua tipe kematian dan tidak memiliki diagnosis yang signifikan pada daerah tersebut. Petechiae pada epiglotis juga tidak signifikan. Gordon dan Mansfield melaporkan terjadinya petechiae epikardial setelah kematian.

Petechiae dapat terjadi setelah kematian pada daerah tubuh tertentu seperti pada lengan yang tergantung pada sisi tempat tidur. Disini, gravitasi menyebabkan peningkatan kongesti dan tekanan intravaskular dan menyebabkan ruptur mekanik pada pembuluh darah kecil. Jika petechiae bertambah lebar atau meluas, mereka disebut sebagai ekimosis.

Sianosis, tentu saja, non spesifik dan disebabkan oleh peningkatan jumlah hemoglobin tereduksi. Sianosis tidak akan terlihat sampai setidaknya terdapat 5 g hemoglobin tereduksi. Pengenceran darah post mortem bukanlah karakteristik asfiksia atau penyebab lain kematian, tapi lebih sebagai akibat dari tingginya fibrinolisis yang terjadi pada kematian yang cepat, kemungkinan oleh karena tingginya level agonal dari katekolamin.

Kematian asfiksia dapat dibedakan secara umum menjadi tiga kategori:
1. Mati lemas
2. Strangulasi
3. Asfiksia kimia

Kematian-keamtian ini dapat karena kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan. Dibandingkan pembunuhan dengan penyebab lain, pembunuhan dengan asfiksia relatif jarang di Amerika Serikat. Mereka peredominan melibatkan strangulasi – pencekikan dan penjeratan. Dalam sepuluh tahun terakhir, pembunuhan dengan strangulasi mencapai rata-rata 286 per tahun, dengan range 366 sampai 211. Nampaknya terjadi penurunan bertahap dalam angka kasus ini dari tahun ke tahun. Pembunuhan yang disebabkan oleh “asfiksiasi” (tidak ada deskripsi lebih lanjut tapi strangulasi tidak termasuk) terjadi kira-kira 107 tiap tahun, dimana angka ini cenderung konstan selama periode sepuluh tahun.

PENCEKIKAN

Pencekikan dihasilkan dari tekanan dari tangan, lengan bawah, atau anggota gerak lain terhadap leher, menekan struktur internal dari leher. Mekanisme kematiannya disebabkan oleh oklusi dari pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak seperti arteri karotid. Oklusi dari saluran pernafasan mungkin memiliki peranan minor, jika ada, dalam menyebabkan kematian. Pada dasarnya semua kasus pencekikan merupakan pembunuhan. Menurut pengalaman penulis, pencekikan merupakan metode terbanyak kedua pada pemubuhan dengan asfiksia. Pada studi oleh DiMaio terhadap 41 kematian akibat pencekikan, predominan wanita, dengan rasio wanita banding pria 1,9 banding 1 (27 banding 14). Dari ke 27 wanita yang dicekik, motifnya adalah perkosaan pada 14 kasus dan kekerasan rumah tangga sebanyak 10 kasus.

Seseorang tidak dapat melakukan bunuh diri dengan pencekikan, sebab, segera setelah kehilangan kesadaran, tekanan terlepas dan kesadaran akan kembali. Suatu genggaman erat dapat menjadi pencekikan jika dipertahankan cukup lama.

Terkadang, diklaim bahwa kematian yang diduga akibat pencekikan pada individu yang sehat adalah tidak disengaja dan diakibatkan oleh reaksi vasovagal (reflex cardiak death) yang terjadi akibat sentuhan, pegangan, atau serangan pada leher. Hal ini merupakan teori yang menarik, tetapi tidak terbukti secara objektif. Mekanisme kematian pada kasus seperti ini dapat berupa aritmia yang disebabkan oleh stimulasi sinus karotid. Sinus karotid merupakan daerah fokal pembesaran arteri karotid dimana ia bercabang menjadi arteri karotid eksternal dan internal. Penekanan atau stimulasi dari sinus karotid menyebabkan peningkatan tekanan darah pada sinus-sinus ini dengan hasil berupa perlambatan heart rate (bradikardia), dilatasi pembuluh darah (vasodilatasi), dan penurunan tekanan darah. Tekanan pada arteri karotid di bawah sinus mengurangi tekanan darah dalam sinus dengan jalan mengurangi jumlah darah yang mengalir di dalamnya. Hal ini menyerupai hipotensi atau penurunan suplai darah akibat perdarahan atau shock, menyebabkan jantung berdetak lebih cepat (takikardia), pembuluh darah berkonstriksi (vasokostriksi), dan peningkatan tekanan darah. Hal ini menjelaskan fakta bahwa, sebagaimana pada kebanyakan kasus pencekikan terjadi bradikardi, vasodilatasi , dan penurunan tekanan darah, pada kasus tertentu, bila tangan terletak lebih ke bawah dari leher, mungkin akan terjadi takikardia, vasokonstriksi, dan peningkatan tekanan darah.

Pada individu normal, tekanan pada sinus karotid menyebabkab efek minimal dengan penurunan heart rate kurang dari 6 kali per menit dan hanya sedikit penurunan tekanan darah (kurang dari 10 mmHg).Beberapa individu, akan tetapi, memperlihatkan hipersensitivitas ekstrim terhadap stimulasi sinus karotid. Pada individu tersebut, terjadi perlambatan pada jantung dan aritmia kardiak yang bervariasi dari aritmia ventrikel hingga stand-still cardiak dan hipotensi. Terdapat laporan bahwa memalingkan leher pada berbagai posisi atau kerah yang tinggi dan ketat telah menyebabkan rasa berputar dan pingsan. Beberapa artikel merujuk pada kasus stimulasi sinus karotid yang telah dibuktikan menyebabkan bradikardia, berlanjut menjadi serangan jantung dan kematian. Review dari laporan kasus mengindikasikan bahwa individu ini merupakan lanjut usia yang menderita dari beberapa penyakit kardiovaskuler berat yang dapat menyebabkan kematian mendadak.

Pada pencekikan, biasanya terlihat kongesti dan sianotik pada wajah, dengan petechiae pada konjungtiva dan sklera. DiMaio menemukan 89% dari kasusnya memiliki petechiae pada konjungtiva atau pada sklera. Petechiae juga dapat ditemukan pada kulit wajah. Petechiae paling mudah terlihat pada konjungtiva bulbar dan saccus konjungtiva, kulit pada kelopak mata atas dan bawah, jembatan hidung, alis dan kedua pipi. Perdarahan konjungtiva dapat lebih lebar hila korban melawan dan penyerang merespon dengan meningkatkan tekanan pada leher. Petechiae disebabkan oleh ruptur sekunder vena dan kapiler akibat peningkatan tekanan intravaskuler sebagai hasil dari obstruksi venous return (vena jugularis interna) yang digabungkan dengan obstruksi inkomplit dari arteri, yang menyebabkan arteri vertebralis terus menyuplai darah ke otak. Tanda khas dari asfiksia – sianosis dan petechiae multipel – paling terlihat di atas tempat penekanan pada leher. Akan tetapi, petechiae tidak patognomonis untuk kematian karena asfiksia. Mereka juga ditemukan pada penyakit lain, contohnya, acute heart failure. Pada muntah dan batuk hebat, terkadang petechiae dapat ditemukan. Jika tubuh tetap pada posisi tegak hingga periode waktu yang lama, hingga hampir terjadi dekomposisi, petechiae post mortem dapat terbentuk dalam pendistribusian livor mortis. Petechiae ini dapat muncul pada kulit, konjungtiva dan sklera. Terkadang, pada kasus pencekikan, terjadi edema pulmonum, dengan cairan edema yang berbuih terlihat dari lubang hidungnya.

Insidens fraktur pada pencekikan tinggi bila dilakukan diseksi leher yang hati-hati. Pada 41 kasus pencekikan yang dipelajari oleh DiMaio, insidens fraktur adalah 68,1% (28 kasus) – 100% pada pria (14 dari 14 kasus) dan 52% (14 dari 27 kasus) dari wanita. Harm dan Rajs melaporkan insidens 70% dari 20 kasus mereka: Simpson dan Knight 92% dari 25 kasus. Pada kasus DiMaio, dari ke 14 wanita dengan fraktur, semuanya mengalami fraktur hioid, baik itu sendiri (5 kasus) atau dikombinasi dengan kartilago thyroid (4); dikombinasi dengan krikoid (3) atau kombinasi dengan baik thyroid dan krikoid (2). Dari 14 pria, 10 mengalami fraktur hioid, baik sendiri (4 kasus) atau dengan kombinasi dengan struktur lain (6); dua memiliki fraktur yang terbatas pada kartilago thyroid; dua pada kartilago krikoid. Terdapat 60 fraktur terpisah pada ke 28 kasus DiMaio.


Gambar 1 (A & B) Pencekikan dengan bekas kuku dan goresan pada sisi leher.

Fraktur unilateral dari hioid lebih dominan dibanding fraktur bilateral 3 banding 1. Pada fraktur unilateral pada hioid, fraktur pada sisi kiri mendominasi 11 banding 7. Semua fraktur pada kartilago thyroid melibatkan cornu superior dibanding badan dari thyroid. Fraktur yang terakhir cenderung vertikal dan biasanya disebabkan oleh pukulan pada kartilago thyroid.

Karena lokasinya yang tinggi pada leher, tulang hioid relatif aman dari pukulan langsung kecuali leher ditengadahkan. Pada pukulan langsung pada leher, fraktur pada hioid umumnya hanya terlihat bila berhubungan dengan fraktur mandibula. Bentuk U pada hioid membuatnya rentan terhaap fraktur karena kompresi. Jadi, fraktur pada hioid, hanya terlihat pada strangulasi. Apakah ujung fraktur tulang hioid mengarah kedalam atau keluar tidaklah penting.

Laring, terletak di depan vertebra servikal keempat hingga keenam, dilindungi pada garis tengah oleh kulit dan dua lapis fascia. Sehingga membuatnya rentan terhadap trauma leher langsung, seperti, pukulan pada leher. Jadi, fraktur pada badan kartilago tyroid dapat dilihat pada pukulan pada leher. Kompresi lateral dari laring, sebagaimana pada pencekikan, menyebabkan fraktur pada cornu tyroid. Fraktur pada kartilago krikoid terjadi paling sering bila kartilago tersebut ditekan dari arah anteroposterior terhadap columna vertebral. Fraktur ini, biasanya vertikal, mungkin terjadi pada garis tengh atau lateral.

Pada pencekikan, biasanya terdapat trauma pada baik aspek eksternal maupun internal dari leher. Oleh karena cara leher dipegang, ujung dari keempat jari beserta kukunya biasanya menusuk leher. Tergantung dari panjang, ketajaman dan regularitas dari kuku, sehingga dapat menyebabkan abrasi (luka lecet) linier atau semilinier, goresan, dan garukan (gambar 1). Ujung jari dapat mengakibatkan kontusi atau tanda-tanda eritematous. Tekanan akibat ibu jari cenderung tidak berada pada ujung, tapi pada bantalannya. Sehingga, pada ibu jari bekas kuku jarang terlihat, meskipun mungkin terdapat kontusio.

Berbagai metode dapat digunakan pada pencekikan. Yang paling sederhana melibatkan satu tangan dan menyerang korban dari depan. Pada metode penyerangan ini, terlihat adanya kontusio kecil dan tanda eritematous yang dihubungkan dengan bekas kuku pada satu sisi bagian depan leher yang disebabkan oleh jari. Suatu tanda eritematous atau kontusi dan, lebih jarang, bekas kuku yang disebabkan oleh ibu jari, mungkin terdapat pada sisi lain dari leher. Bila yang digunakan adalah tangan kanan, bekas ibu jari berada pada sisi kanan dari leher. Bila yang digunakan adalah dua tangan dan korbannya diserang dari depan, biasanya terdapat tanda eritematous dan kontusi atau bekas kuku pada kedua sisi depan leher, biasanya posterior dari m. sternocleidomastoideus. Suatu variasi dari penyerangan dengan dua tangan pada bagian depan leher melibatkan penggunaan tekanan dari kedua ibu jari pada aspek sentral dari leher. Disini, penyerang menekan kedua jempolnya sepanjang sisi laring dan trachea. Hal ini mengakibatkan tanda eritematous atau kontusi pada aspek anterior leher. Daerah perdarahan dapat pada bidang parasagital bilateral atau konfluen pada garis tangah. Bekas kuku, kontusi, dan tanda eritematous yang disebabkan oleh jari akan berada pada aspek lateral dari leher.

Bila digunakan satu atau dua tangan dan korban diserang dari belakang, tanda eritematous atau kontusi akibat ujung jari, sebagaimana bekas kuku, umumnya ditemukan pada bagian depan leher diantara laring dan sternocleidomastoideus. Dengan satu tangan, tanda tersebut hanya akan ada pada satu sisi leher; dengan dua tangan, pada kedua sisi. Memar akibat ibu jari akan nampak pada bagian belakang leher.

Metode yang lebih jarang dari strangulasi adalah menyerang dari depan menggunakan telapak tangan untuk memberikan tekanan pada leher tanpa menggunakan ujung jari. Penulis telah melihat hal ini pada beberapa kesempatan, semuanya melibatkan orang dewasa yang tidak sadar akibat intoksikasi alkohol akut, atau pada anak-anak yang lebih muda. Tidak terdapat bukti dari trauma eksternal yang tidak berhubungan dengan ujung jari atau kuku. Pada semua kecuali satu kasus, terdapat kongesti pada wajah dan petechiae pada konjungtiva dan sklera, sebagaimana petechiae pada kulit periorbital. Tidak ditemukan adanya perdarahan internal dan tidak terdapat kerusakan pada struktur internal leher.

Bekas kuku dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe menggunakan klasifikasi Harm dan Rajs: tanda impresi, bekas cakar, dan tanda goresan. Tanda impresi berupa ”garis kurva reguler, seperti koma, serupa tanda eksklamasi, seperti tanda dash, atau oval, triangular, luka epidermis rektangular berukuran panjang 10 – 15 mm dan lebar hingga beberapa milimeter.” Mereka terjadi ketika ujung jari menusuk kulit pada sudut yang tepat sehingga terjadi penetrasi kuku ke epidermis hingga dermis. Pada kasus kurva imprint, permukaan konkaf tidak selalu berhubungan dengan permukaan konkaf pada kuku, tetapi mungkin dapat berupa suatu ”mirror image”.

Bekas cakar merupakan luka berbentuk-U pada baik epidermis dan dermis, dengan panjang yang bervariasi dari 3-4 mm hingga beberapa cm. Pada bekas cakar, kuku menusuk kulit pada sudut tangensial, memotong epidermis dan dermis secara tangensial dan memisahkannya dari lapisan dibawahnya. Tanda goresan merupakan abrasi linier yang paralel atau pita eritematous pada epidermis dengan lebar hingga 1,0 cm, disebabkan oleh kuku yang menusuk epidermis pada sudut vertikal dan kemudian ditarik sepanjang kulit menyebabkan luka yang memanjang.

Sementara, pada kebanyakan pencekikan, terdapat bukti dari baik luka eksternal dan internal pada leher, pada beberapa kasus, tidak terdapat luka, baik eksternal ataupun internal. Salah seorang penulis (VDM), selama periode lebih 3 bulan, melihat tiga wanita yang telah dicekik. Yang pertama, sama sekali tidak terdapat bukti, baik eksternal maupun internal; yang kedua memperlihatkan kongesti pada wajah dengan petechiae pada konjungtiva dan kulit wajah, tapi tidak terdapat bukti adanya luka pada leher, baik eksternal maupun internal; dan korban ketiga mengalami abrasi dan goresan pada kulit dengan perdarahan ekstensif hingga ke otot-otot leher. Ketiga wanita tersebut dibunuh oleh individu yang sama. Semuanya memiliki kadar alkohol dalam darah lebih dari 0,300 g/dL. Modus operandi dari pelaku adalah menemui seorang wanita di sebuah bar, mentraktirnya minuman keras hingga wanita tersebut mengalami intoksikasi berat, kemudian mengajak wanita itu pergi dan melakukan intercourse seksual. Pelaku kemudian mencekik wanita tersebut. Pada saat strangulasi dilakukan, wanita tersebut sedang tidak sadar akibat intoksikasi akut alkohol, sehingga hanya diperlukan sejumlah kecil tekanan. Pelaku meletakkan tangannya di atas leher dan mendorongnya ke bawah, menekan pembuluh darah pada leher. Pada kasus yang terakhir, individu tersebut memperoleh kesadarannya dan melawan, sehingga menyebabkan luka. Pelaku mengakui telah membunuh sejumlah wanita lain dengan cara yang sama selama beberapa tahun terakhir di sejumlah negara bagian.

Pada pencekikan, korban biasanya wanita. Bila korbannya pria, biasanya dalam kondisi intoksikasi sangat berat. Disarankan bahwa, pada semua pencekikan, dilakukan screening toksikologi lengkap.

Inkontinensia sfingter dipikirkan merupakan suatu karakteristik pada strangulasi. Harm dan Rajs menempatkan pertanyaan ini pada studi terhadap 37 kasus kematian dan 79 korban yang selamat dari strangulasi. Dari ke 37 korban meninggal, 60% (22) diantaranya memiliki kandung kemih yang kosong, dibandingkan dengan 14% dari 54 autopsi terkontrol yang penyebab kematiannya selain dari kekerasan. Dari ke 79 korban yang selmat dari asfiksia, 5% (4) mengalami inkontinensia sfingter. Jadi inkontinensia sfingter, meskipun sering pada strangulasi, bukanlah penemuan yang absolut.

Pada kasus strangulasi, keberadaan fraktur laring atau hioid hanya mengindikasikan bahwa tekanan atau kekuatan telah diberikan pada leher. Fraktur ini sendirinya tidak dapat mengakibatkan kematian. Mereka hanya penanda dari trauma pada leher. Penulis telah melihat kasus dimana seseorang telah mencoba mencekik seseorang, menyebabkan terjadinya fraktur kartilago thyroid atau hioid, hanya untuk menyerah dan menikam atau memukuli korban hingga mati.

Seseorang harus yakin bahwa fraktur tersebut ante mortem, karena tidak jarang terjadi fraktur laring pada saat dilakukan autopsi. Perbedaan karakteristik dari fraktur antemortem adalah perdarahan pada tempat fraktur. Perdarahan ini dapat terlihat dengan jelas. Perdarahan yang hanya terlihat secara mikroskopik dapat merupakan artefak postmortem. Dalam menangani kasus yang dicurigai merupakan strangulasi, seseorang harus sangat berhati-hati mengenai interpretasi perdarahan retrofaringeal dan paravertebra servikal. Perdarahan pada bagian depan dan samping laring pada dasarnya merupakan diagnosis terjadinya trauma seperti strangulasi, pukulan, atau suatu garis lintravenous. Hal ini bukanlah kasus untuk perdarahan retroesofageal dan paravertebra servikal. Hal ini hampir selalu merupakan artefak dan sering dijumpai pada kematian wajar, terutama pada individu lanjut usia yang sekarat seperti pada kematian karena hipoksia. Keberadaan petechiae pada mukosa epigglotis atau laring bukanlah suatu diagnosis strangulasi atau bentuk asfiksia spasifik apapun.

Cedera pada Faring dan Laring yang Disebabkan oleh Intubasi Resusitatif
Cedera resusitasi pada faring dan laring sekunder akibat intubasi dapat menyerupai cedera yang diakibatkan strangulasi dan penekanan leher. Pada suatu studi yang dilakukan terhadap 50 individu dengan intubasi endotrachea sebelum mencapai ruang gawat darurat, dalam usaha resusitasi yang tidak berhasil, 37 (74%) diantaranya mengalami cedera pada saluran pernafasan akibat intubasi. Cedera pada mulut terdiri dari kontusi fokal, laserasi, dan abrasi fokal dari bibir dan mukosa bukal. Cedera pada orofaring posterior dan laringofaring berupa kontusi pada basal lidah, kontusi pada epiglotis, kontusi pada resesus piriformis, dan laserasi pada epiglotis (satu kasus). Cedera pada laring (32 kasus) termasuk kontusi dan petechiae pada mukosa sebagaimana pada tujuh kasus dimana terdapat perdarahan pada otot superfisial dan dalam dari laring. Sebagaimana telah tercatat sebelumnya, petechiae pada epiglotis, laring dan trachea bukanlah suatu penanda diagnosis. Sehubungan dengan perdarahan pada otot-otot leher, Raven dkk. tidak memberikan lokasi tepatnya dari perdarahan ini dan seberapa luas. Pada bagian eksternal, individu akan memiliki abrasi kutaneus pada leher pada dua kasus; petechiae fasial pada tiga kasus dan petechiae konjungtiva pada sepuluh kasus. Terdapatnya petechiae diduga disebabkan oleh kompresi dada saat resusitasi.

Cedera pada Pelaku Strangulasi

Artikel Harm dan Rajs dianggap tidak biasa sebab, tidak hanya memperhatikan karakteristik dan pola luka pada korban pada baik pencekikan maupun penjeratan, tetapi juga mendokumentasikan luka pada penyerang. Penulis mempelajari 37 kasus mematikan dari strangulasi – 20 pencekikan, 12 penjeratan, dan lima pencekikan dan penjeratan. Pada 32 kasus, pelakunya telah diketahui. 20 diantaranya diperiksa untuk cedera yang dialami. Dari jumlah ini, 13 (65%) diantaranya menunjukkan total 98 luka. Menariknya, ada atau tidaknya luka defensif pada tubuh korban tidak berhubungan dengan keberadan luka pada pelaku. Jadi, dari korban yang dibunuh oleh ke 13 pelaku yang menunjukkan bukti adanya luka, enam diantaranya memiliki luka defensif pada tangan dan lengan, sementara tujuh tidak menunjukkan adanya luka sehingga tidak terdapat indikasi adanya perlawanan walaupun luka pada pelaku mengindikasikan bahwa mereka telah melakukan perlawanan.

Bekas kuku (impresi, bekas cakaran, dan goresan) menyumbangkan 82% dari luka yang timbul pada ke 13 penyerang. Sisanya 18% tidak spesifik. Sebelas (85%) dari penyerang memiliki 2 hingga 26 bekas kuku. Tujuh puluh persen dari bekas kuku ini pada 10 dari 13 penyerang terdapat pada punggung tangan dan lengan bawah dan dominan impresi. Sebagian besar bekas kuku terkonsentrasi pada bagian belakang dari jari telunjuk dan ibu jari. Tempat luka sekunder adalah wajah dan bahu kanan.

Bila distribusi luka pada pencekik dibandingkan dengan yang diterima pada pemerkosa yang tidak mencekik korbannya, ditemukan bahwa lesi paling banyak pada pemerkosa adalah goresan paralel pada tubuh akibat kuku. Bekas kuku (kebanyakan goresan dan bekas cakaran) lebih sering pada wajah dan leher pada pemerkosa dan luka nonspesifik lebih sering ditemukan daripada pencekik (47 dibanding 18%).

Tidak ada komentar: