Senin, 29 Desember 2008

Keracunan CO

KERACUNAN KARBON MONOKSIDA

Karbon monoksida (CO) merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan non-iritatif, yang densitasnya relatif sedikit lebih rendah dibandingkan dengan udara. Sumber utama karbon monoksida pada kasus kematian adalah kebakaran, knalpot mobil, pemanasan tidak sempurna, dan pembakaran yang tidak sempurna dari produk-produk terbakar, seperti bongkahan arang. Diluar kematian akibat kebakaran, ada sekitar 2700 kematian yang disebabkan oleh karbon monoksida setiap tahunnya di AS. Sekitar 2000 dari kasus ini adalah bunuh diri dan 700-nya adalah kecelakaan. Pada kenyataannya seluruh kasus bunuh diri tersebut melibatkan penghirupan gas buangan mobil.

MEKANISME KEJADIAN
Karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan cara bersaing dengan oksigen untuk melakukan ikatan pada hemeprotein pembawa oksigen (hemoglobin, mioglobin, sitokrom C oksidase, sitokrom P-450). Afinitas karbon monoksida terhadap hemeprotein bervariasi, mulai dari 30 sampai 500 kali lebih kuat dibandingkan afinitas oksigen, tergantung pada hemeproteinnya. Disamping itu, lebih kuatnya afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida menyebabkan dengan adanya karboksihemoglobin mengganggu afinitas oksigen terhadap hemoglobin dengan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri sehingga mengurangi pelepasan oksigen ke jaringan. Hipoksia jaringan yang dihasilkan lebih hebat dibandingkan dengan yang akan dihasilkan oleh anemia dengan derajat yang sama. Diyakini bahwa karbon monoksida memiliki efek toksik langsung pada tingkat seluler dengan cara mengganggu respirasi mitokondria, disebabakan karena karbon monoksida terikat pada kompleks sitokrom oksidase. Berbeda dengan hemoglobin, afinitas sitokrom oksidase lebih kuat terhadap oksigen. Akan tetapi selama anoksia seluler, karbon monoksida dapat terikat. Pada saat oksigen dari udara kembali ada maka pemindahan karbon monoksida menjadi lambat.
Persentase saturasi karbon monoksida didefinisikan sebagai persentase hemoglobin digabung dengan karbon monoksida dalam bentuk karboksihemoglobin. Oleh karena afinitas hemoglobin yang lebih kuat terhadap karbon monoksida, meskipun hanya dengan konsentrasi rendah di udara dapat menghasilkan saturasi darah yang sangat tinggi dengan gas ini. Dengan konsentrasi 0,5 sampai 1% (5000 – 10000 bagian per juta) di udara dapat menghasilkan tingkat saturasi karboksihemoglobin sebesar 75% dalam 2 sampai 15 menit. Kelembaban, suhu lingkungan yang tinggi, pada daerah ketinggian dan aktifitas fisik akan meningkatkan kecepatan respirasi, dan juga absorpsi karbon monoksida. The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menganjurkan batas keterpaparan maksimum yang dapat diterima adalah 35 ppm selama 8 jam. Untuk alasan keamanan, para pekerja yang terpapar karbon monoksida seharusnya tidak pernah memiliki kadar karboksihemoglobin darah diatas 5%. Dalam praktiknya, hal ini tidak selamanya dapat dilakukan. Jika seorang yang bukan perokok memiliki kadar karboksihemoglobin 1 - 3%, para perokok seringkali memiliki kadar “normal” karboksihemoglobin 5 – 6%, biasanya mencapai 10% dan kadang dapat melebihi 15%. Kadar karboksihemoglobin sebesar 10 – 14 % sudah pernah ditemukan pada pemadam kebakaran setelah memadamkan kebakaran. Peningkatan kadar karboksihemoglobin (sampai 13%) dapat juga ditemukan pada polisi yang bertugas di terowongan atau pekerja-pekerja di bengkel dimana kendaraan bermotor dihidupkan, atau juga jika seseorang adalah perokok.

KEMATIAN AKIBAT GAS KNALPOT KENDARAAN BERMOTOR
Setelah kebakaran, sumber karbon monoksida kedua tersering yang bersifat fatal adalah inhalasi asap knalpot mobil. Kebanyakan kematian akibat hal ini adalah karena bunuh diri, tetapi dapat juga akibat kecelakaan. Hal ini hampir semata-mata disebabkan karena adanya kerusakan pada mesin, meskipun kematian sudah pernah terjadi pada saat mobil terjebak di salju. Beberapa kematian pernah terjadi ketika mesin sedang bergerak, dan beberapa lagi dengan kondisi jendela mobil terbuka sebagian (2-4 inchi).
Jarang ditemukan kematian yang tiba-tiba terjadi saat sebuah mobil mulai dihidupkan dan dibiarkan hidup di garasi untuk pemanasan sementara pengemudinya kembali ke rumah. Karbon monoksida dari knalpot kemudian masuk ke dalam rumah dan membunuh penghuninya. Kadang-kadang seseorang melakukan bunuh diri di garasi dengan cara membiarkan mobil tetap hidup, dan pada saat yang bersamaan juga membunuh penghuni rumah lainnya secara perlahan-lahan.

Tabel 14.1 Waktu yang dibutuhkan oleh karbon monoksida pada konsentrasi yang berbeda-beda untuk menghasilkan 80% kadar seimbang dari saturasi darah.

Konsentrasi CO
di udara (%) Saturasi darah (%) Time

0.02-0.03 23-30 5-6 h
0.04-0.06 36-44 4-5 h
0.07-0.10 47-53 3-4 h
0.11-0.15 55-60 1.5-3 h
0.16-0.20 61-64 1-1.5 h
0.20-0.30 64-68 30-45 min
0.30-0.50 68-73 20-30 min
0.50-1.00 73-76 2-15 min

Reproduced from Von Oettingen WF, Carbon Monoxide: Its Hazards and theMechanism of Its Action,U.S. Public Health Service, Bulletin 290. Washington, D.C., U.S. Government Printing Office.

Jumlah karbon monoksida yang diproduksi oleh mesin berbahan bakar bensin tergantung pada sejumlah faktor termasuk penghidup kecepatan, rasio udara dan bahan bakar, rasio kompresi, dan adanya pengubah katalitik. Sebelum pengenalan pengubah katalitik, sebuah mesin yang dihidupkian akan menghasilkan 7% karbon monoksida, sementara dengan mesin yang sama pada kendaraan travel di 60 mph, dengan adanya karburator yang menyesuaikan kerja yang efisien, karbon monoksida diproduksi kurang dari 0,5%. Mesin diesel menghasilkan karbon monoksida dengan jumlah yang lebih kecil dibanding mesin berbahan bakar bensin.
Mulai tahun 1975, pada umumnya mobil-mobil baru dilengkapi dengan pengubah katalitik yang didesain untuk mengubah CO menjadi CO2. Pada tahun 1980-an, muncul pengenalan pengubah yang lebih mantap, sensor oksigen, dan komputer untuk meningkatkan efisiensi pengubah ini. Pengubah katalitik jika diatur dengan tepat, akan mengurangi sebagian besar karbon monoksida, yang berarti bahwa mesin hidup dapat menghasilkan asap knalpot dengan kadar CO kurang dari 0,1%. Oleh karena hal ini, ahli patologi forensik sudah mulai mengamati kematian yang kadang-kadang disebabkan oleh inhalasi asap knalpot yang kadar CO-nya dalam rentang normal. Kematian seperti yang telah disebutkan perlu dipikirkan juga kemungkinan disebabkan oleh pergeseran oksigen olah CO2, efek toksik CO2 dan mungkin saja aksi dari kandungan lain dalam asap knalpot.
Pengubah katalitik memiliki keterbatasan. Alat ini tidak beroperasi penuh sampai suhunya dan suhu mesin mencapai suhu tertentu. Jadi, ada kenaikan awal dalam CO knalpot sampai mencapi kadar tinggi dan kemudian disusul penurunan ke kadar lebih rendah yang konstan. Pemanasan mesin, dan juga pengubah sebelum mesin dijalankan akan menurunkan kadar CO maksimum. Jika pengubah katalitik terlalu panas, maka akan menjadi kurang efisien.

WAKTU KELANGSUNGAN HIDUP
Waktu kelangsungan hidup dalam udara yang tersaturasi tinggi dengan karbon monoksida sangat singkat. Flanagan dkk, melaporkan sebuah kasus dimana seseorang melakukan bunuh diri di samping alat perekam yang dihidupkan untuk merekam suara kematiannya. Berdasarkan hal ini, penentuan berapa lama seseorang bertahan hidup dapat dibuat. Orang yang meninggal tersebut adalah seorang laki-laki berusia 36 tahun ditemukan terduduk dalam mobil, dengan mesin dihidupkan dan selang karet dibentangkan dari knalpot mobil ke dalam mobil melalui jendela belakang. Karboksihemoglobin darahnya memiliki saturasi 70%. Alat perekam dihidupkan di depan kursi pengemudi. Pada perekam, si korban meninggal terdengar mulai menghidupkan mesin mobil. Selama 20 menit beberapa jenis suara terdengar dan setelahnya suara-suara tersebut menghilang meskipun alat perekam tetap hidup. Rekonstruksi kejadian ini memungkinkan pemantauan berlanjut terhadap peningkatan kadar karbon monoksida dalam mobil. Setelah mesin sudah dihidupkan 1 menit, persentase saturasi karbon monoksida di udara sebesar 0,2%. Pada menit ke-5, sebesar 1,5%; menit ke-6, 1,7%; menit ke-7, 2,2%; menit ke-9, 2,5%; menit ke-13, 3,7%; dan pada menit ke-17 sudah melebihi 4%.
Rekaman menunjukkan adanya batuk sekali-kali pada menit ke-2, serta batuk hebat dan muntah pada menit ke-3. Setelah 5 menit, terjadi batuk hebat dan wheezing expiratoar yang disertai stridor inspiratoar. Menit ke-6, batuk mulai berkurang intensitasnya secara perlahan-lahan, dengan pernapasan menjadi dangkal, tetapi meningkat kecepatannya. Pada menit ke-7, terjadi pernapasan dangkal, dengan kecepatan melambat dan terjadi periode intermitten dari apnea. Pada menit ke-9 frekuensi pernapasan menjadi 6 per menit. Pada menit ke-13 terjadi perubahan nyata dalam pola pernapasan, mungkin menjadi tipe koma atau stupor. Ada pula fase ekspirasi yang panjang. Pada menit ke-17 frekuensi pernapasan menjadi 3 per menit. Bunyi yang terakhir terdengar kira-kira pada menit ke-20. Penulis menyimpulkan bahwa untuk sementara sulit menentukan pada stadium berapa keadaan dapat dipulihkan kembali, yang jelas bahwa pada menit ke 6 – 7 ada bukti memburuknya keadaan dengan cepat.

SUHU TINGGI DALAM RUANGAN PENUMPANG DISEBABKAN OLEH GAS KNALPOT
Karbon monoksida yang dialihkan ke ruangan penumpang pada mobil dapat menaikkan suhu secara signifikan di ruangan ini. Misalnya seorang wanita 26 tahun ditemukan meninggal dalam sebuah van mini dengan sebuah selang dari knalpot ke sisi kiri jendela pintu. Karboksihemoglobin darahnya sebesar 41,5%. Mesin telah diuji dan didapatkan bahwa ternyata menghasilkan CO 3,3% dalam gas knalpot sementara mesin dihidupkan. Konsentrasi CO dalam kabin meningkat tajam, puncaknya mencapai 0,7 – 0,8% dalam 25 – 35 menit, kemudian kadar ini bertahan selama 10 – 15 menit, dan secara bertahap berkurang sampai 0,3% pada menit ke-90. Gas knalpot menyebabkan peningkatan suhu kabin secara bertahap dari 21,6 sampai 40,50 oC di bagian depan kabin dan mencapai 34,9 oC di bagian belakang. Peningkatan suhu dalam kabin ini sesuai dengan pengamatan dimana banyak individu ditemukan meninggal karena keracunan karbon monoksida dalam mobil menunjukkan kelicinan kulit postmortem, walaupun mereka meninggal dalam waktu singkat.

KEMATIAN DI LUAR RUANGAN AKIBAT KARBON MONOKSIDA
DiMaio dan Dana melaporkan tiga kasus kematian akibat menghirup karbon monoksida dari gas knalpot mobil ketika berada di luar ruangan. Konsentrasi karboksihemoglobin korban berkisar dari 58% (pada korban yang sudah membusuk) sampai 81%. Seluruh korban ditemukan tergeletak dekat dengan pipa knalpot mobil. Dua meninggal karena bunuh diri. Kasus ini menggambarkan kenyataan bahwa meskipun di luar ruangan, kematian karena menghirup karbon monoksida dapat terjadi jika seseorang dekat dengan sumber karbon monoksida dalam jangka waktu yang lama.

KEMATIAN KARENA KARBON MONOKSIDA DARI SUMBER SELAIN KANLPOT
Bongkahan arang dibuat untuk membara, tidak terbakar oleh nyala api. Pembakaran tidak sempurna yang sedang berlangsung menghasilkan karbon monoksida. Dengan demikian, jika panggangan digunakan di lingkungan yang tidak udara seperti rumah, garasi, rumah gandeng, tenda, atau bahkan di teras, kematian dapat disebabkan oleh karbon monoksida yang dihasilkan dalam jumlah besar. Adakalanya, orang yang tinggal di luar rumah akan menggunakan bongkah arang untuk menjaga supaya tetap hangat. Hal ini telah menghasilkan sejumlah keracunan karbon monoksida yang fatal. Keracunan karbon monoksida juga pernah terjadi secara alami dan pemanasan gas butan yang diikuti peningkatan lapisan karbon, diakibatkan pembakaran gas yang tidak sempurna.
Karbon monoksida dapat juga masuk ke dalam tabung udara penyelam. Dalam hal ini, karbon monoksida dikeluarkan oleh kompressor pendorong berbahan bakar bensin yang mungkin saja secara kebetulan tersedot dan bercampur dengan udara yang akan dipompa ke dalam tangki udara alat selam.

PEMBUSUKAN DAN KARBON MONOKSIDA
Kadar karbon monoksida dalam darah dan cairan rongga tubuh pada tubuh yang membusuk tergantung pada kadar karbon monoksida darah sebelum kematian. Mereka tidak dihasilkan oleh pembentukan karbon monoksida post mortem melalui pembusukan hemoglobin, mioglobin dan unsur lainnya. Dominguez dkk, menemukan bahwa saturasi karboksihemoglobin dalam darah tidaklah secara jelas berubah selama pembusukan postmortem, dengan kadar tidak lebih dari 6% yang diukur pada seekor anjing yang tenggelam dalam air laut selama 4 hari. Mereka juga menemukan bahwa saturasi karboksihemoglobin dalam darah tidak berbeda secara signifikan dengan yang ada pada cairan rongga thoraks.

GEJALA DAN TANDA KERACUNAN KARBON MONOKSIDA
Studi oleh Haldane dan Killick mungkin memberikan penjelasan paling baik dari efek keterpaparan karbon monoksida (CO). Gejalanya, pada saat muncul biasanya bersifat progresif, dan kira-kira sebanding dengan kadar CO darah. Pada awalnya, tanda dan gejala seringkali sulit dipisahkan. Pada kadar saturasi karboksihemoglobin 0 – 10%, umumnya tanpa gejala. Pada seseorang yang istirahat, kadar CO dari 10 sampai 20% sering tidak bergejala, kecuali sakit kepala. Akan tetapi, jika diuji orang ini akan menunjukkan pelemahan dalam melakukan tugas-tugas kompleks. Haldane mengamati tidak ada efek nyeri pada kadar mencapai 18 – 23 %. Gejala Killick dapat diabaikan pada kadar di bawah 30%, meskipun demikian kadar antara 30 – 35%, dia menunjukkan sakit kepala disertai denyutan dan perasaan penuh di kepala. Kadar CO antara 30 – 40%, ada sakit kepala berdenyut, mual, muntah, pingsan, dan rasa mengantuk pada saat istirahat. Pada saat kadarnya mencapai 40%, penggunaan tenaga sedikit pun menyebabkan pingsan. Denyut nadi dan pernapasan menjadi cepat. Tekanan darah turun. Kadar antara 40 – 60%, ada suatu kebingungan mental, kelemahan, dan hilangnya koordinasi. Haldane pada kadar 56% tidak mampu berjalan sendiri tanpa bantuan. Pada kadar CO 60% dan seterusnya, seseorang akan hilang kesadaran, pernapasan menjadi Cheyne-Stokes, terdapat kejang intermitten, penekanan kerja jantung dan kegagalan pernapasan, dan kematian. Dapat disertai peningkatan suhu tubuh.
KADAR FATAL KARBON MONOKSIDA
Kadar karbosihemoglobin pada seseorang yang meninggal karena keracunan CO dapat sangat bervariasi, tergantung pada sumber CO, keadaan sekitar tempat kematian, dan kesehatan orang tersebut. Pada orang tua, dan juga menderita penyakit berat seperti penyakit arteri koroner atau penyakit paru obstruktif kronik, saturasi serendah 20 – 30% dapat bersifat fatal. Kadar karboksihemoglobin dalam rumah yang terbakar rata-rata 57%, pada umumnya dengan kadar karbon monoksida 30 – 40%. Sebaliknya, seseorang yang meninggal karena menghirup gas knalpot kadarnya kebanyakan melebihi 70%, rata-rata 79%. Kadar rendah pada seseorang yang meninggal karena menghirup gas knalpot dapat ditemukan jika mobil berhenti setelah korban berada dalam kondisi koma yang ireversibel tetapi masih terus bernapas, dimana hal ini secara perlahan akan menurunkan konsentrasi karboksihemoglobin mereka meskipun terjadi cedera hipoksia ireversibel di otak. Waktu paruh karbon monoksida, jika menghirup udara ruangan yang rata dengan air laut yaitu sekitar 4 – 6 jam. Terapi oksigen mengurangi eliminasi waktu paruh, tergantung pada konsentrasi oksigennya. Eliminasi waktu paruh dengan terapi oksigen dipendekkan menjadi 40 – 80 menit dengan menghirup oksigen 100% pada 1 atm, dan menjadi 15 – 30 menit dengan menghirup oksigen hiperbarik. Jika seseorang masih bertahan hidup saat sampai di ruang gawat darurat, penggunaan oksimeter nadi tidak dapat dipercaya untuk menentukan secara akurat kadar oksigenasi. Alat ini tidak dapat membedakan antara karboksihemoglobin dengan oksihemoglobin pada panjang gelombang yang biasa digunakan.

BUNUH DIRI ATAU KECELAKAAN
Pada kasus bunuh diri dengan CO, diagnosis sering dapat ditentukan dengan cepat hanya dengan melihat saja. Korban biasanya sering ditemukan di garasi atau dalam mobil dengan starter dihidupkan. Mobil bisa dalam keadaan hidup, tetapi biasanya dimatikan. Pipa atau selang yang dihubungkan ke knalpot dapat ditemukan menjulur ke dalam kompartemen kendaraan.
Kematian karena kecelakaan yang disebabkan oleh karbon monoksida bisa saja sulit ditentukan dari tampilannya. Seseorang mungkin ditemukan meninggal dalam mobil yang diparkir dengan starter posisi on dan mesin dalam keadaan hidup atau dimatikan. Kematian disebabkan oleh karbon monoksida yang masuk melalui celah pada kendaraan. Akan tetapi, seorang penyidik bisa keliru dengan menganggap penyebab kematian karena penyakit jantung. Jika lebih dari satu orang meninggal dalam mobil dengan starter posisi on, hampir pasti kematiannya disebabkan oleh CO. Jika lebih dari satu orang ditemukan meninggal dalam sebuah rumah, atau satu orang meninggal dan yang lainnya koma, tanpa adanya bukti trauma, bahan pertama harus dicurigai adalah keracunan karbon monoksida yang disebabkan adanya cacad pada alat penghangat.
Adakalanya, orang berusaha membuat suatu bunuh diri seolah-olah seperti kecelakaan. Mereka biasa ditemukan di garasi dengan pintu tertutup, starter mobil posisi on, kap mobil terbuka, dan perkakas dalam spatbor. Kesimpulan yang diharapkan adalah bahwa seolah-olah orang tersebut dibawa pengaruh oleh gas knalpot pada saat memperbaiki mobilnya. Bagaimanapun, kasus seperti ini tetap merupakan kasus bunuh diri. Oleh karena, jika seseorang menghidupkan mobil dalam garasi yang tertutup maka dalam 2 – 3 menit udara akan menjadi sangat tercemar dan beracun, sangat mengiritasi sistem pernapasan, dimana hal yang satu ini tidak bisa dipengaruhi sama sekali dengan perbaikan apapun. Untuk itu penting mematikan mobil dan membuka pintu garasi untuk mengeluarkan asap.

TEMUAN OTOPSI
Temuan otopsi pada kematian karena CO ciri khasnya sangat jelas. Pada ras Kaukasian, kesan yang pertama kali tampak pada tubuhnya yaitu orang tersebut kelihatannya sangat sehat. Corak kulit yang berwarna pink disebabkan oleh pewarnaan jaringan oleh karboksihemoglobin, yang memiliki ciri khas dengan tampilan cherry-red (merah cherry) atau pink terang yang dapat terlihat pada jaringan. Lebam mayat berwarna merah cherry mendukung diagnosis bahkan sebelum mengotopsi korban. Akan tetapi, harus disadari bahwa warna ini dapat juga ditimbulkan oleh keterpaparan tubuh dalam jangka lama dengan lingkungan dingin (ataupun di tempat kematian atau dalam rumah kematian dengan pendingin) atau keracunan sianida. Pada orang kulit hitam, warna tersebut terutama tampak di konjungtiva, kuku, dan mukosa bibir.
Pada pemeriksaan dalam, otot dan organ dalam akan tampak berwarna merah-cherry terang. Warna pada organ dalam ini akan menetap meskipun jaringannya diambil dan dimasukkan ke dalam formaldehid. Balsem mayat juga tidak akan merubah warna organ dalam tersebut. Darah yang diambil dari pembuluh darah juga akan memiliki ciri khas warna ini. Bagaimanapun, hal ini tidak akan berubah. Salah seorang penulis mengotopsi seseorang dengan kadar karboksihemoglobin 45% dimana ciri khas warna ini tidak didapatkan. Dia pada mulanya mencurugai penyebab kematian orang tersebut karena penyakit jantung. Orang tersebut sepertinya memiliki ”corak kulit yang sehat”. Akan tetapi, kecurigaan penulis ini cukup dibangun untuk membuat penentuan karbon monoksida. Kematian disebabkan oleh CO yang dihasilkan oleh adanya kebocoran pada alat penghangat dalam rumah.
Jika peningkatan kadar CO wajar terjadi dalam rumah yang terbakar, maka mungkin tidak ada peningkatan CO pada kematian akibat kebakaran yang terjadi di lingkungan terbuka. Orang-orang yang meninggal dalam kecelakaan kendaraan bermotor dimana terjadi ledakan pada tangki bensin, secara teori mungkin tidak menunjukkan adanya peningkatan kadar karbon monoksida. Meskipun terjadi, insidennya sangat jarang, dan biasanya melibatkan mekanisme yang tidak biasa terjadi.
Pada beberapa orang, kematian akibat keracunan karbon monoksida tidak terjadi dengan segera. Pada beberapa kasus, jika produksi karbon monoksida meningkat setelah terjadinya koma ireversibel, orang tersebut akan menghilangkan karbon monoksida secara bertahap dari tubuhnya, meskipun sudah terjadi kerusakan yang ireversibel. Demikian, penulis telah melihat orang-orang meninggal akibat keracunan karboksihemoglobin yang menunjukkan kadar karboksihemoglobin rendah atau bahkan negatif pada otopsi. Dalam hal yang demikian diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan luar (tampilan) korban. Sebagai contoh, seorang lelaki ditemukan meninggal dalam sebuah mobil yang diparkir. Starter dalam posisi on dan tangki bensin kosong. Otopsi dan analisis toksikologi lengkap tidak berhasil mengungkap penyebab kematian. Akan tetapi, pemeriksaan pada mobil menunjukkan adanya kerusakan dalam sistem kanlpot, dengan begitu CO dengan konsentrasi tinggi akan terbentuk dalam mobil pada saat mobil dihidupkan.
Karbon monoksida dapat lolos dari ibu ke dalam darah janin. Konsentrasi karboksihemoglobin (COHB) janin tergantung pada persentase saturasi hemoglobin ibu terhadap CO. Saturasi hemoglobin janin terhadap CO ketinggalan dibelakang saturasi hemoglobin ibu oleh karena disosiasi karboksihemoglobin ibu yang lambat. Akan tetapi, setelah beberapa saat keseimbangan akan tercapai. Hasil akhirnya adalah COHB janin 10% lebih tinggi dibandingkan COHB ibu. Karbon monoksida dapat menyebabkan kematian janin dalam rahim meskipun ibunya mungkin selamat.
Otak merupakan organ yang paling sensitif terhadap kerja karbon monoksida. Kerusakan otak ciri khasnya adalah terlokalisasi pada area selektif tertentu. Jika kematian tidak terjaadi dengan segera, kerusakan pada daerah ini bisa bertambah dalam beberapa jam dan hari. Karbon monoksida menghasilkan kerusakan selektif pada subtansia abu-abu otak. Nekrosis bilateral pada globus pallidus merupakan lesi paling khas, meskipun area lain dapat terkena, termasuk korteks otak, hipokampus, otak kecil, dan subtansia nigra. Akan tetapi, lesi pada globus pallidus tidak spesifik dan dapat juga dijumpai pada kasus overdosis obat-obatan.
Cacat neurologik yang disebabkan oleh keracunan CO dapat berkembang selama keracunan fase akut atau sesudah terpapar, setelah suatu periode dengan rentang dari beberapa hari sampai beberapa minggu tanpa gejala yang jelas. Dalam situasi ini, setelah interval asimptomatik (tanpa gejala), pada pasien dapat berkembang sakit kepala hebat, demam, rigiditas nuchal, dan gejala-gejala neuropsikiatri. Kebutaan tipe kortikal sementara dan gangguan memori juga sering. Sebagai tambahan, bisa ditemukan afasia, apati, disorientasi, halusinasi, inkontinensia, pergerakan lambat, dan kekakuan otot. Cacat permanen pada keracunan CO termasuk demensia, sindrom amnestik, psikosis, paralisis, khorea, kebutaan kortikal, neuropati perifer, dan inkontinensia. Dalam sebuah studi oleh Choi, 11,8% orang yang mendapatkan perawatan di rumah sakit akibat keracunan karbon monoksida menunjukkan kemunduran neurologik yang terlambat. Sebenarnya semua menunjukkan kemunduran mental , dengan mayoritas menderita inkontinensia dan gangguan berjalan. Umur rata-rata orang-orang yang menunjukkan kemunduran yang terlambat yaitu lebih tua dibandingkan kelompok yang mendapat perawatan secara keseluruhan. Interval yang jelas selama 2 – 4 minggu seringkali mendahului onset dari cacat neurologik. Tiga per empat pasien akan sembuh dalam setahun, meskipun beberapa diantaranya menunjukkan cacat neurologis ringan yang menetap. Tidak ada tanda klinik pada saat masuknya penderita yang memungkinkan dokter untuk menyimpulkan pasien yang mana akan mendapat cedera neurologik yang terlambat.
Telah diperlihatkan bahwa beberapa sel, misalnya sel-sel piramidal CAI di hipokampus dapat mulai lagi berfungsi setelah terpapar karbon monoksida lalu mati beberapa hari kemudian. Sudah dibuat hipotesa bahwa cacat yang terlambat ini disebabkan oleh cacat dengan perfusi kembali setelah iskemik dan efek CO terhadap endotel vaskular dan radikal oksigen diperantarai oleh reoksigenasi oksigen otak.
Sindrom neurologik terlambat pada keracunan karbon monoksida dihubungkan dengan lesi pada subtansia putih otak. Akan tetapi, lesi ini tidak spesifik dan ditemukan pada kondisi lain yang berhubungan dengan hipoksia dan hipotensi. Kelihatannya bahwa gabungan hipotensi dan hipoksia diperlukan untuk menghasilkan lesi ini.

3 komentar:

corat coret mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
corat coret mengatakan...

wahhhh, nice info dok..
tapii..... sumber nya dari mana dok ??? kok gak di cantumin ???
hehhehee...

Ridha Hayu mengatakan...

sumber nya dari manaaaa