Sabtu, 31 Mei 2008

Kwarshiorkor

KWASHIORKOR

PENDAHULUAN

Definisi kwashiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh defisiensi protein yang berat bisa dengan konsumsi energi dan kalori tubuh yang tidak mencukupi kebutuhan. Kwashiorkor atau busung lapar adalah salah satu bentuk sindroma dari gangguan yang dikenali sebagai Malnutrisi Energi Protein (MEP) Dengan beberapa karakteristik berupa edema dan kegagalan pertumbuhan,depigmentasi,hyperkeratosis.

Penyakit ini merupakan bentuk malnutrisi paling banyak didapatkan di dunia ini, pada dewasa ini,terutama sekali pada wilayah-wilayah yang masih terkebelakangan bidang industrinya.­­(1)

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Cicely D. Williams pada rangkaian saintifik internasional melalui artikelnya Lancet 1935 (1,9). Beliau pada tahun 1933 melukiskan suatu sindrom tersebut berhubungan dengan defisiensi dari nutrien apa. Akhirnya baru diketahui defisiensi protein menjadi penyebabnya (1).

Walaupun sebab utama penyakit ini ialah defisiensi protein, tetapi karena biasanya bahan makanan yang dimakan itu juga kurang mengandung nutrien lainnya, maka defisiensi protein disertai defisiensi kalori sehingga sering penderita menunjukkan baik gejala kwashiorkor maupun marasmus (1).

ETIOLOGI

Kwashiorkor paling seringnya terjadi pada usia antara 1-4 tahun ,namun dapat pula terjadi pada bayi .Kwashiorkor yang mungkin terjadi pada orang dewasa adalah sebagai komplikasi dari parasit atau infeksi lain.

Banyak hal yang menjadi penyebab kwashiorkor, namun faktor paling mayor adalah menyusui, yaitu ketika ASI digantikan oleh asupan yang tidak adekuat atau tidak seimbang. Setelah usia 1 tahun atau lebih ,kwashiorkor dapat muncul bahkan ketika kekurangan bahan pangan bukanlah menjadi masalahnya, tetapi kebiasaan adat atau ketidak tahuan (kurang nya edukasi) yang menyebabkan penyimpangan keseimbangan nutrisi yang baik.

Walaupun kekurangan kalori dan bahan-bahan makanan yang lain memepersulit pola-pola klinik dan kimiawinya, gejala-gejala utama malnutrisi protein disebabkan oleh kekurangan pemasukan protein yang mempunyai nilai biologik yang baik.Bisa juga terdapat gangguan penyerapan protein,misalnya yang dijumpai pada keadaan diare kronik,kehilangan protein secara tidak normal pada proteinuria (nefrosis), infeksi,perdarahan atau luka-luka bakar serta kegagalan melakukan sintesis protein , seperti yanga didapatkan pula pada penyakit hati yang kronis.

INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI

Kwashiorkor dijumpai terutama pada golongan umur tertentu yaitu bayi pada masa menyusui dan pada anak prasekolah, 1 hingga 3 tahun yang merupakan golongan umur yang relatif memerlukan lebih banyak protein untuk tumbuh sebaik-baiknya. Sindrom demikian kemudian dilaporkan oleh berbagai negeri terutama negeri yang sedang berkembang seperti Afrika, Asia, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan bagian-bagian termiskin di Eropa (1,2). Penyakit ini banyak terdapat anak dari golongan penduduk yang berpenghasilan rendah. Ini dapat dimengerti karena protein yang bermutu baik terutama pada bahan makanan yang berasal dari hewan seperti protein, susu, keju, telur, daging, dan ikan (3). Bahan makanan tersebut cukup mahal , sehingga tidak terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Akan tetapi faktor ekonomi bukan merupakan satu-satunya penyebab penyakit ini. Ada berbagai protein nabati yang bernilai cukup baik, misalnya kacang kedele, kacang hijau, dan sebagainya, akan tetapi karena tidak diketahui atau tidak disadari, bahan makanan tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya (2). Pengetahuan yang kurang tentang nilai bahan makanan, cara pemeliharaan anak, disamping ketakhyulan merupakan faktor tambahan dari timbulnya penyakit kwashiorkor. Keadaan higiene yang buruk, sehingga mereka mudah dihinggapi infeksi dan infestasi parasit dan timbulnya diare mempercepat atau merupakan trigger mechanisme dari penyakit ini (1).

PATOGENESIS

Pada kwashiorkor yang klasik, terjadi edema dan perlemakan hati disebabkan gangguan metabolik dan perubahan sel. Kelainan ini merupakan gejala yang menyolok. Pada penderita defisiensi protein, tidak terjadi katabolisme jaringan yang berlebihan, karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori yang cukup dalam dietnya. Namun, kekurangan protein dalam dietnya akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino esensial yang dibutuhkan untuk sintesis (1).

Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat dan sebagian asam amino dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebabnya kurang pembentukan albumin oleh hepar, sehingga kemudian timbul edema (1,2).

Perlemakan hati disebabkan gangguan pembentukan lipoproteinbeta sehingga transportasi lemak dari hati ke depot lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi akumulasi lemak dalam hepar (1,4).

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi dini pada kwashiorkor cukup samar-samar mencakup letargi,apati, dan iritabilitas. Manifestasi lanjut yang berkembang dapat berupa pertumbuhan yang tidak memadai, kurangnya stamina, hilangnya jaringan otot, menjadi lebih peka terhadap serangan infeksi dan edema. Nafsu makan berkurang ,jaringan bawah kulit mengendor dan lembek serta ketegangan otot menghilang. Pembesaran hati dapat terjadi secra dini atau kalau sudah lanjut, infiltrasi lemak lazim ditemukan. Edema biasanya terjadi secara dini,kegagalan mencapai penambahan BB ini dapat terselubungi oleh edema yang terjadi ,yang kerap kali telah terdapat pada organ-organ dalam,sebelum ia dapat terlihat pada muka dan anggota gerak.

  1. Wujud Umum

Secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita ada tanda moon face dari akibat terjadinya edema (2).

  1. Retardasi Pertumbuhan

Gejala penting ialah pertumbuhan yang terganggu. Selain berat badan, tinggi badan juga kurang dibandingkan dengan anak sehat (1).

  1. Perubahan Mental

Biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan rewel. Pada stadium lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak menjadi pasif (1).

  1. Edema

Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat. Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan hipoalbuminemia, gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH (2).

  1. Kelainan Rambut

Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture), maupun warnanya. Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut kepala yang mudah tercabut tanpa rasa sakit. Pada penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna menjadi putih. Sering bulu mata menjadi panjang (1).

  1. Kelainan Kulit

Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit. Pada sebagian besar penderita dtemukan perubahan kulit yang khas untuk penyakit kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih atau merah muda dengan tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering mendapat tekanan (4,5). Terutama bila tekanan itu terus-menerus dan disertai kelembapan oleh keringat atau ekskreta, seperti pada bokong, fosa politea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha, dan sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak kecil merah yang dalam waktu singkat bertambah dan berpadu untuk menjadi hitam. Pada suatu saat mengelupas dan memperlihatkan bagian-bagian yang tidak mengandung pigmen, dibatasi oleh tepi yang masih hitam oleh hiperpigmentasi (1,2).

  1. Kelainan Gigi dan Tulang

Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi, osteoporosis, dan hambatan pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries pada gigi penderita (2).

  1. Kelainan Hati

Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan biopsi hati yang hampir semua sela hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan tanda fibrosis, nekrosis, da infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat defisiensi faktor lipotropik (2).

  1. Kelainan Darah dan Sumsum Tulang

Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain, terutama infestasi parasit ( ankilostomiasis, amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya nutrien yang penting untuk pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B kompleks (B12, folat, B6) (2,7). Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau aplasia sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya terjadi defek umunitas seluler, dan gangguan sistem komplimen (2).

  1. Kelainan Pankreas dan Kelenjar Lain

Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan usus halus terjadi perlemakan (2).

  1. Kelainan Jantung

Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung disebabkan hipokalemi dan hipmagnesemia (2).

  1. Kelainan Gastrointestinal

Gejala gastrointestinal merupakan gejala yang penting. Anoreksia kadang-kadang demikian hebatnya, sehingga segala pemberian makanan ditolak dan makanan hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat pada sebagian besar penderita (5,6). Hal ini terjadi karena 3 masalah utama yaitu berupa infeksi atau infestasi usus, intoleransi laktosa, dan malabsorbsi lemak. Intoleransi laktosa disebabkan defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi akibat defisiensi garam empedu, konyugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofi villi mukosa usus halus (2).

Dermatitis juga lazim ditemukan.Penggelapan kulit terjadi pada tempat-tempat yang mengalami iritasi,namun tidak pada daerah-daerah yang terkena sinar matahari.. Rambutnya biasanya jarang dan halu-halus serta kehilangan elastisitasnya. Pada anak-anak yang berambut gelap dapat terlihat jalur-jalur rambut berwarna merah atau abu-abu.Otot-otonya tampak lemah dan atrofi,tetapi sesekali dapat ditemukan lemak dibawah kulit yang berlebihan.

DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis kwashiorkor ini bias kita lihat melalui pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium. Dari pemeriksaan fisis yang pertama adalah inspeksi, dapat kita lihat fisik penderita secara umum seperti yang telah dijelaskan diatas antara lain edema dan kurus, pucat,moon face, kelainan kulit misalnya hiperpigmentasi, crazy pavement dermatosis. Pada palpasi ditemukan hepatomegali.

Sementara untuk pemeriksaan laboratorium ada beberapa hal yang penting diperhatikan berupa :

§ tes darah (Hb, glukosa, protein serum, albumin)

§ kadar enzim pencernaan

§ biopsi hati

§ pem. tinja & urin

perubahan yang paling khas adalah penurunan konsentrasi albumin dalam serum. Ketonuria lazim ditemukan pada tingkat awal karena kekurangan makanan,tetapi sering kemudian hilang pada keadaan penyakit lebih lanjut.

Kadar glukosa darah yang rendah,pengeluaran hidrosiprolin melalui urin,kadar asam amino dalam plasma dapat menurun,jika dibandingkan dengan asam-asam amino yang tidak essensial dan dapat pula ditemukan aminoasiduria meningkat.

Kerap kali juga ditemukan kekurangan kalium dan magnesium.Terdapat juga penurunan aktifitas enzim-enzim dari pancreas dan xantin oksidase,tetapi kadarnya akan kembali menjadi normal segera setelah pongobatan dimulai.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosa banding untuk sindroma kwashiorkor, antara lain ialah :

1. Defisiensi asam lemak bebas dan karboksilase multiple;

2.sindroma imunodefisiensi,

3.cyctic fibrosis,

4.histiositosis sel Langerhans (2,7).

PENGOBATAN

1.DIIETIK

- Makanan TKTP = 1 setengah x kebutuhan normal

Kebutuhan normal

0-3 tahun : 150 – 175 kcal/kg/hari, diberikan bertahap

Mg I : Fase stabilisasi (75% - 80% kebutuhan normal)

Protein : 1 - 1,5 gram/kgBB/hari

Mg II : Fase transisi ( 150% dari kebutuhan normal)

Protein : 2 - 3 gram/kgBB/hari

Mg III : Fase rehabilitasi ( 150 – 200% kebutuhan normal)

Protein : 4 - 6garm/kgBB/hari

2.PENAMBAHAN SUPLEMENTASI VITAMIN

Vitamin A → 1 tahun : 200.000 SI (1 kali dalam 6 bulan)

Vitamin D + B kompleks + C

3 .MINERAL

- Jumlah cairan : 130 – 200 ml/kg/BB/hari (per oral / NGT)

- Kalau edem dikurangi

- Porsi kecil tetapi sering

PROGNOSIS

Penanganan yang cepat dan tepat pada kasus-kasus gizi seperti kwashiorkor, umumnya dapat memberikan prognosis yang cukup baik. Penanganan pada stadium yang lanjut,walaupun dapat meningkatkan kesehatan anak secara umum, namun ada kemungkinannya untuk memperoleh gangguan fisik permanen dan gangguan intelektual. Sedangkan bila penanganan terlambat atau tidak memperoleh penanganan sama sekali, dapat berakibat fatal.

KOMPLIKASI

Shock

Koma

Cacat permanen

PENCEGAHAN

Pencegahannya dapat berupa diet adekuat dengan jumlah-jumlah yang tepat dari karbohidrat, lemak (minimal 10% dari total kalori), dan protein (12 % dari total kalori). Sentiasa mengamalkan konsumsi diet yang seimbang dengan cukup karbohidrat, cukup lemak dan protein bisa mencegah terjadinya kwashiorkor. Protein terutamanya harus disediakan dalam makanan. Untuk mendapatkan sumber protein yang bernilai tinggi bisa didapatkan dari protein hewan seperti susu, keju, daging, telur dan ikan. Bisa juga mendapatkan protein dari protein nabati seperti kacang ijo dan kacang kedelei (1)

REFERENSI

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Buku Kuliah ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985

2. Dr. Lisal Sp.A., Diktat Kuliah Ilmu Gizi Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Hasanuddin

3. Robert M. Kliegman MD, Hal B. Jenson MD, Nelson Essential of Pediatrics 5th Edition, Elsevier Saunders, 2000

4. Scheinfeld NS. Protein Energy Malnutrition. Emedicine.com. http://www.emedicine.com/derm/topic797.htm

5. Benjamin W. Van Voorhees, MD, MPH, Assistant Professor of Medicine and Pediatrics, Article on Kwashiorkor, University of Chicago, Verimed Healthcare Network, http//www.medlineplus.com

6. Repulika Company, Kwasiorkor, Republika Online, http://www.republika.co.id

7.Anonymous. Malnutrisi. Medicastore.com. http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=10&iddtl=628

Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Mellitus Tipe 2 (Terjemahan emedicine, Diabetes Mellitus, Type 2 - A Review )

Author: Scott R Votey, MD, Assistant Dean for Graduate Medical Education, Professor of Medicine/Emergency Medicine, David Geffen School of Medicine at UCLA, UCLA Medical Center
Penerjemah : Husnul Mubarak, S.Ked. Dokter Muda di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Asisten Departemen Gizi FK Unhas, Anggota Asian Medical Students' Association International.

Pendahuluan

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang membutuhkan perhatian medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasinya yang merusak dan mengatasi komplikasi tersebut ketika terjadi. DM termasuk penyakit yang mahal, pada tahun 2002 di US, biaya perawatan kesehatan per kapita untuk orang DM mencapai 13.243 US$ sementara tanpa DM hanya 2560US$.

Artikel ini berfokus pada pemeriksaan dini dan penatalaksanaan komplikasi akut dan kronis pada DM di Unit Gawat Darurat (UGD) selain yang secara langsung berhubungan dengan hipoglikemia atau gangguan metabolik berat seperti ketoasidosis diabetikum dan hyperosmolar hyperglycemic state (HHS).

Patofisiologi

Ada 2 tiper mendasar pada DM yaitu tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 dibahas lebih lanjut pada artikel yang terpisah.

DM Type 2 pernah sering disebut sebagai diabetes onset dewasa. Sekarang, karena meningkatnya insiden obesitas dan ketidakaktifan anak, DM tipe 2 dapat terjadi pada umur yang lebih muda. Walaupun DM tipe 2 sering kali mengenai seseorang diatas umur 40 tahun, bahkan telah didiagnosis pada anak berumur 2 tahun yang memiliki riwayat DM pada keluarga.

DM tipe 2 ditandai oleh adanya resitensi perifer insulin disertai dengan defek sekresi insulin dengan kerusakan yang bervariasi. Untuk menimbulkan DM tipe 2 kedua kerusakan tersebut harus terjadi: semua orang dengan obesitas mempunyai resistensi insulin, namun DM hanya terjadi pada yang tidak mampu meningkatkan produksi insulin oleh sel B. Dalam perkembangan dari toleransi glucosa yang normal menjadi toleransi glucosa abnormal, kadar glucosa postprandial yang pertama meningkat. Pada akhirnya, hiperglikemi puasa (terjadi pada saat tidak ada asupan makanan) terjadi karena inhibisi gluconeogenesis hepatik menurun

Sekitar 90% pasien yang mengidap DM tipe 2 adalah orang dengan obesitas. Karena pasien dengan DM tipe 2 mempertahankan kemampuan untuk mengsekresi insulin endogen, mereka yang mengkonsumsi insulin umumnya tidak terjadi DKA jika penggunaan insulin dihentikan. Sehingga mereka dikatakan membutuhkan insulin namun tidak bergantung lepada insulin. Lebih lanjut lagi, pasien dengan DM tipe 2 sering tidak membutuhkan pengobatan dengan obat antidiabetik oral atau insulin jika berat badan mereka turun atau berhenti makan.

Maturity-onset diabetes of the young (MODY/Diabetes onset remaja) adalah bentuk DM tipe 2 yang mengenai generasi yang lebih muda pada keluarga dengan riwayat DM. Umur yang biasanya terkena itu kurang dari 25 tahun. Ada beberapa tipe MODY. Faktor gen yang bertanggung jawab dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan yang ada
Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai derajat apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pertama kali diketahui pada masa kehamilan. GDM merupakan komplikasi yang ditemukan pada sekitar 4% dari seluruh kehamilan di US, walaupun jumlahnya bervariasi antara 1-14% tergantung dari populasi yang diteliti.GDM yang tidak ditangani dapat mengarah pada janin makrosomia, hypoglikemia, hypocalcemia, dan hyperbilirubinemia. Sebagai tambahan, ibu dengan GDM memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk persalinan Caesar dan hipertensi kronis. Untuk mendeteksi GDM, pemeriksaan toleransi glukosa 50 g dikerjakan pada umur kehamilan 24-28 minggu. Jika konsentrasi glukosa plasma pasien selama 1 jam lebih besar dari 140 mg/dL, pemeriksaan dilanjutkan dengan toleransi 3 jam glukosa 100 g.

Frekuensi

United States

Pada tahun 2005, seseorang dengan diabetes diperkirakan berjumlah 7% dari populasi US, atau sekitar 20.8 juta orang. Dari 20,8 juta orang ini, 14,6 juta diagnosis diabetes telah ditegakkan dan diabetes belum didiagnosis pada 6,2 juta lainnya. Sekitar 10% mengidap DM tipe 1, dan lainnya mengidap tipe 2. Sebagai tambahan, diperkirakan 54 juta orang terkena keadaan pre-diabetes. Pre-diabetes seperti didefinisikan oleh American Diabetes Association, adalah keadaan dimana kadar glukosa darah lebih dari normal namun tidak cukup tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes

Mortalitas/Morbiditas

Morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan diabetes dihubungkan dengan komplikasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi termasuk dibawah ini:

  • Hipoglikemi and hyperglycemia
  • Resiko infeksi meningkat
  • Komplikasi microvascular (eg, retinopathy, nephropathy)
  • Komplikasi neuropathic
  • Komplikasi penyakit macrovascular (eg, coronary artery disease, stroke)

Diabetes adalah penyebab utama terjadinya kebutaan pada orang dewasa umur 20-74 tahun, dan juga merupakan penyebab terbanyak dari amputasi ekstremitas bawah nontraumatik dan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD/End Stage Renal Disease)

Jenis Kelamin

Insiden biasanya sama pada perempuan dan laki-laki pada seluruh populasi.

Umur

  • DM tipe 2 menjadi lebih sering terjadi karena usia orang lebih panjang dan prevalensi dari DM meningkat seiring peningkatan umur.
  • Sekarang juga lebih sering ditemukan pada orang dengan umur muda berkaitan dengan peningkatan prevalensi dari obesitas masa kecil.
  • Walaupun DM tipe 2 masih lebih sering terjadi pada dewaas umur 40 keatas, insiden penyakit ini lebih cenderung meningkat lebih cepat pada remaja dan dewasa muda daripada kelompok umur lainnya.

KLINIS

Riwayat

Menentukan secara tepat apakah pasien mengidap tipe 1 atau tipe 2 penting karena pasien tipe 1 sangat bergantung pada penggunaan rutin insulin exogen dan karbohidrat untuk dapat bertahan hidup. Pasien dengan DM tipe 2 dapat tidak membutuhkan penanganan hyperglycemia selama masa puasa atau penurunan intake oral. Pasien dengan Diabetes yang terkontrol dengan diet atau agen antidiabetik jelas merupakan DM tipe 2. Pasien kurus dengan diabetes sejak kecil, yang selalu bergantung pada pembrian insulin, atau dengan riwayat DKA hampir pasti mengidap DM tipe 1.

Membedakan tipe diabetes dapat sulit (1) pasien yang ditangani dengan insulin dan muda namun secara klinis sepertinya mengidap DM tipe 2 dan (2) pasien tua dengan diabetes late onset namun mengkonsumsi insulin dan sepertinya mempunyai karakteristik yang sama dengan DM tipe 1. (Kelompok yang terakhir sekarang dikatakan mempunyai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA/ Diabetes Autoimun Laten pada Dewasa]). JIka meragukan, pasien diatasi dengan insulin dan kadar glukosanya diawasi secara ketat. Beberapa remaja atau dewasa muda, kebanyakan dengan ras Hispanik atau African American, yang memperlihatkan gejala klasik DKA, pada akhirnya sering kali ditemukan terkena DM tipe 2.

Banyak pasien dengan DM tipe 2 muncul dengan asimptomatis, dan penyakit mereka tidak didiagnosis selama bertahun-tahun. Penelitian mengatakan bahwa pasien yang baru ditemukan dengan DM tipe 2 telah terkena DM paling tidak selama 4-7 tahun sebelum didiagnosis. Diantara pasien dengan DM tipe 2, 25% mempunyai retinopathy, 9% neuropathy dan 8% nephropathy pada waktu pertama kali didiagnosis

Pre-diabetes sering terjadi sebelum munculnya DM tipe 2. Prediabetes didefinisikan dengan kadar GDP 100-125 mg/dL atau oral glucose tolerance test (OGTT) dengan kadar 140-200 mg/dL. Pasien prediabetes mempunyai peningkatan resiko terkena penyakit makrovaskuler sama halnya dengan resikonya terkena diabetes

Prediabetes dengan sindrom metabolik sering membingungkan (biasa juga disebut dengan sindrom X atau sindrom resistensi insulin). Sindrom metabolik (diperkirakan terjadi akibat resistensi insulin) dapat terjadi pada pasien dengan kadar toleransi glukosa yang normal, prediabetes, atau diabetes. Sindrom metabolik ditandai dengan adanya obesitas sentral kemudia oleh dyslipidemia. Hipertensi merupakan tanda yang umum. Pada akhirnya, secara klinis resistensi insulin yang jelas terjadi. Sayangnya, resistensi insulin tidak diukur secara klinis, kecuali pada penelitian. Peningkatan kadar GDP merupakan indikasi pertama adanya resistensi insulin, namun kadar insulin puasa biasanya sudah lama meningkat sebelum hal ini berlangsung. Pengukuran kadar insulin puasa tidak direkomendasikan untuk diagnosis resistensi insulin. Suatu usaha untuk membuat standardisasi pemeriksaan insulin sedang dikerjakan dan nantinya dapat digunakan untuk menilai kadar insulin puasa untuk dapat mendiagnosis resistensi insulin di masa depan.

Selama anamneses, cari informasi tentang tipe dan durasi terjadinya diabetes pada pasien dan tentang perawatan/pengobatan yang telah diterima pasien untuk penyakitnya

  1. Tipe dan estimasi durasi diabetes : Informasi ini membantu untuk menentukan apakah pasien bergantung pada insulin. Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit, terapi, dan penilian klinis, seperti telah dijelaskan diatas.
  2. erawatan Diabetes: Cari tahu tentang penanganan terkini untuk diabetes pada pasien dan tentang kadar gula darahnya berdasarkan dari pengukuran sendiri atau pengukuran A1C (A1C, merupakan indikator jangka panjang dalam pengendalian glukosa).

Anamnesis riwayat diabetes sebaiknya dapat mengenai pertanyaan dibawah ini:

  1. Apakah diabetes pada pasien dikontrol dengan baik (dengan kadar gula darah mendekati normal)? Pasien dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol dengan baik sembuh lebih lama dan dengan meingkatnya resiko infeksi dan komplikasi lainnya.
  2. Apakah pasien pernah mengalami keadaan reaksi hipoglikemik yang berat? Jika pasien pernah mempunyai episode hipoglikemia berat, maka ia mempunyai resiko untuk kehilangan kesadaran, karenanya kemungkinan ini harus dapat diperoleh
  3. Apakah pasien pernah memiliki neuropathy perifer
  4. Apakah pasien memiliki luka yang tidak dirasakan pada kaki atau luka yang membutuhkan penanganan?
  5. Apakah pasien mengalami diabetic nephropathy sehingga mengubah penggunaan obat-obatan atau material kontras rasiography?
  6. Apakah pasien pernah mempunyai penyakit macrovascular, seperti penyakit jantung koroner, yang sebaiknya dipertimbangkan dalam keadaan gawat darurat.

Jika keadaannya terkontrol, maka akan bertambah pertanyaan yang harus dijawab

  • Perawatan Diabetes
    • Bagaimana diet pada pasien?Apakah dia menggunakan agen antidiabetik oral, insulin, atau keduanya? Jika ya, berapa dosis dan frekuensi dari pengobatan tersebut?
    • Apakah pasien memonitor sendiri kadar glukosa darahnya? Jika ya, seberapa sering dan berapa rata-rata nilainya tiap kali diperiksa?
    • Kapan kadar A1C pasien diukur? Berapa besar nilainya?
    • Apakah pasien dapat menyesuaikan terhadap diet tertentu atau olahraga secara teratur?
  • Hyperglycemia: Tanyakan tentang polyuria, polydipsia, nocturia, berat badan menurun, dan kelemahan.
  • Hipoglikemi
    • Pernahkah pasien mengalami episode hipoglikemi?Apakah episode ini diketahui?Apakah episode ini ringan atau berat?
    • Kapan dan seberapa sering episode ini terjadi? Bagaimana cara pasien menanganinya?
    • Apakah pasien memiliki kesadaran akan munculnya hipoglikemia (mis, apakah pasien kurang mendapatkan tanda adrenergic hipoglikemia)? Ketidaksadaran akan Hipoglikemi mengindikasikan resiko peningkatan episode dari hipoglikemia.
  • Komplikasi microvascular
    • Retinopathy: Kapan terakhir kali pemeriksaan mata pada pasien dilakukan? Apakah ada penurunan pada penglihatan?
    • Nephropathy: Apakah pasien telah mengetahui dirinya terkena penyakit ginjal atau tidak?Bagaimana hasil dan tanggal pengukuran protein urin dan kadan kreatinin serum terakhir?Jika protein pada urin belum ditelusuri, pernahkah rasio microalbumin-kreatinin dinilai setahun terakhir ini?
  • Neuropathy: Apakah pasien mempunyai riwayat dari neuropathy atau gejala neuropati perifer atau neuropati otonom (termasuk impotensi pada pasien laki-laki)?
  • Komplikasi macrovascular
    • Hipertensi: Apakah pasien memiliki hipertensi ? (didefinisikan dengan TD >130/80 mm Hg)? Apa pengobatan yang diberikan?
    • PJK: Apakah pasien memiliki PJK? Adakah riwayat PJK pada keluarga?
    • Penyakit vaskuler perifer: Apakah pasien memiliki gejala kram-kram atau riwayat bypass vaskuler
    • Penyakit Cerebrovascular: Pernahkah pasien terkena stroke atau transient ischemic attack?
    • Hyperlipidemia: Berapaa kadar lipid terakhir dari pasien? Apakah pasien mengkonsumsi obat-obat penurun lemak?
  • Kaki diabetic: Apakah pasien memiliki riwayat luka pada kaki atau pernah diamputasi? Apakah ada ulkus pada kaki pada pemeriksaan sekarang?
  • Infeksi: Apakah infeksi berulang menjadi suatu masalah?dimana tempat infeksinya?

Pemeriksaan Fisis

Fokus pemeriksaan pada diabetes adalah pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan vaskuler dan neurologic ringkas, dan penilaian pada ekstremitas bawah. Sistem organ lainnya sebaiknya diperiksa sesuai indikasi pada keadaan klinis tertentu pada pasien.

  • Penilaian tanda vital
    • Apakah pasien hipertensi atau hipotensi? Tanda vital Orthostatic dapat berguna untuk menilai status volume dan dapat menjelaskan adanya neuropati otonom.
    • Jika frekuensi dan pola napas menjelaskan respirasi Kussmaul, DKA harus dipertimbangkan secepatnya dan pemeriksaan penunjang yang tepat harus dilakukan.
  • Pemeriksaan funduskopi
    • Pemeriksaan funduskopi sebaiknya melihat retina dengan teliti, termasuk papil dan macula.
    • Jika perdarahan atau exudat terlihat, pasien sebaiknya dirujuk ke dokter mata secepatnya.Pemeriksa yang bukan ahli mata cenderung menganggap remeh retinopathy yang berat, terutama jika pupil pasien tidak berdilatasi.
  • Pemeriksaan tungkai
    • Nadi dorsalis pedis dan posterior tibialis sebaiknya diraba dan ada tidaknya perlu diketahui. Ini penting pada pasien yang memiliki infeksi pada kaki karena aliran darah pada tungkai yang jelek dapat memperpanjang penyembuhan dan meningkatkan resiko amputasi.
    • Menilai neuropathy sensorik pada tungkai berguna pada pasien dengan ulkus pada kaki karena adanya penurunan sensasi membatasi kemampuan pasien untuk melindungi kaki dan engkel. Ini dapat dinilai dengan pemeriksaan refleks, sensasi posisi dan vibrasi
    • Jika neuropathy perifer ditemukan, pasien sebaiknya dibuat menjadi sadar bahwa perawatan kaki (temasuk pemeriksaan kaki harian) sangat penting untuk mencegah perluasan ulkus kaki dan amputasi tungkai bawah.

Penyebab

Faktor resiko utama terjadinya DM tipe 2 adalah sebagi berikut :

  • Umur – Umur diatas 45 tahun (walaupun seperti tercatat diatas DM tipe 2 juga meningkat frekuensinya pada seseorang berusia muda)
  • Obesitas – Berat badan lebih dari 120% berat badan ideal
  • Riwayat DM tipe 2 pada keluarga terdekat (mis, orang tua atau saudara)
  • Riwayat adanya glukosa darah terganggu atau glukosa darah puasa terganggu
  • Hipertensi (>140/90 mm Hg) atau dislipidemia ( kadar high-density lipoprotein [HDL] <40 style=""> >150 mg/dL)
  • Riwayat GDM atau melahirkan bayi dengan berat >4kg
  • Polycystic ovarian syndrome (yang menyebabkan resistensi insulin)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

  • Tes glukosa strip cocok dilakukan untuk penegakkan diagnosis di UGD pada pasien yang terlihat mengidap DM. Seluruh pemeriksaan laboratorium lainnya disesuaikan dengan keadaan klinis masing-masing pasien.
  • Pada pasien dengan gejala diabetes tidak terkendali (misal, polyuria, polydipsia, nocturia, fatigue, berat badan menurun) ditambah dengan kadar GDS >200 mg/dL, diagnosis diabetes dapat ditegakkan.
  • Pada pasien asimptomatik dengan kadar GDS >140 mg/dL, pengukuran konsentrasi gula darah puasa (GDP) sebaiknya dilakukan. Tes toleransi glukosa oral tidak lagi direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin dalam menegakkan diagnosis diabetes.]
    • Kadar GDP >126 mg/dL pada 2 pemeriksaan dalam waktu yang berbeda dapat menegakkan diagnosis
    • Kadar GDP 100-125 mg/dL dikatakan sebagai sebagai glukosa darah terganggu.
    • Kadar GDP <100>
  • Kadar C-peptide puasa >1 ng/dL pada pasien yang telah mengidap diabetes lebih dari 1-2 tahun dapat ditegakkan diagnosis DM tipe 2 (mis, residu fungsi beta-cell ).
  • Autoantibodi dapat berguna dalam membedakan antara tipe 1 dan tipe 2.
    • Islet-cell autoantibodies (IA2) ditemukan pada anak dengan onset baru DM tipe 1 namun tidak ditemukan pada DM tipe 2. Antibodi ini ditemukan positif sampai sekitar 6 bulan setelah diagnosis.
    • Antibodi Anti-GAD65 ditemukan 80% pada pasien dewasa dengan DM tipe 1 onset baru (diketahui sebagai latent autoimmune diabetes of the adult [LADA]). Antibodi ini akan tetap positif seumur hidup..

PENATALAKSANAAN

Departement Gawat Darurat

Perawatan pada UGD pasien dengan DM tipe 2 membutuhkan perhatian pada kontrol glikemik pada pasien dan komplikasi diabetes yang kemungkinan pasien miliki.

  • Diabetes onset baru
    • Kebanyakan pasien diabetes mengidap DM tipe 2 dan kebanyakan tidak ada gejala pada saat diagnosis. Penatalaksaan dini pada pasien yaitu dengan terapi penyesuaian nutrisi (medical nutrition therapy/MNT) ditambah dengan pemberian metformin. Maka dari itu, jika pasien asimptomatis secara tidak sengaja diketahui mempunyai kadar gula darah meningkat pada diagnosis UGD, dokter pasien dapat melakukan tindak lanjut. Pasien dengan gejala yang ringan dari diabetes yang tidak terkontrol atau tidak terdiagnosis biasanya dapat diterapi rawat jalan.
    • Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien bergejala jelas dengan DM tipe 2 yang baru ditemukan dan dengan kadar glukosa lebih dari 400 mg/dL masih belum jelas. Jika follow-up teliti dapat dilakukan, dosis maksimum agen sulfonylurea dapat dimulai dan mereka dapat dirawat jalan. Pasien biasanya merasa lebih baik dalam 1-2 hari, dan dalam seminggu, kadar glukosa darah mereka semakin rendah. Dosis sulfonylurea dapat ditappering off dan dilanjutkan dengan MNT dan metformin; pada beberapa orang diabetes dapat dikendalikan dengan diet saja. Pasien yang tidak dapat minum dengan jumlah cairan yang adekuat, atau mereka dengan keadaan medis serius sebelumnya (mis, myocardial infarction [MI], infeksi sistemik), dan mereka dengan follow up yang diragukan, sebaiknya diopname untuk memulai terapi. Jalan lainnya, terapi insulin dapat dimulai dan disesuaikan pada keadaan rawat inap atau rawat jalan.
  • Abnormalitas yang diakibatkan hiperglikemia
    • Hyperglikemia akut, walaupun tidak berkaitan dengan DKA atau hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HNKS), tetap berbahaya karena beberapa alas an. Jika kadar gula darah melebihi dari ambang batas ginjal untuk glukosa, diuresis osmotic terjadi dan akan disertai dengan hilangnya glukosa, elektrolit, dan air. Hiperglikemia mengganggu fungsi leukosit melalui berbagai mekanisme. Pasien dengan diabetes mempunyai peningkatan jumlah infeksi pada luka dan hiperglikemia dapat memperlambat penyembuhan luka.
    • Pada pasien yang diketahui dengan DM tipe 2 yang tidak terkontrol, tidak ada kadar glukosa darah yang mutlak untuk memulangkan pasien dari rumah sakit atau penghentian insulin di UGD. Jika pasien mempelihatkan gejala yang berat atau jika penyebab hiperglikemia tidak dapat ditangani di UGD, pasien sangat dianjurkan untuk diopname. Secara umum, menurunkan kadar gula darah pasien pada UGD tidak mengatasi penyebab utama dan mempunyai efek jangka pendek saja. Sehingga, perencanaan untuk menurunkan dan mengawasi kadar gula darah pasien dibutuhkan. Cukupnya tindak lanjut pada pasien sangat penting. Apakah pemberian insulin di UGD tidak berkonsekuensi besar dan dapat diputuskan tergantung keadaan klinis masing-masing pasien
  • Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah
    • Hiperglikemia pada penyakit lainnya dan pasien bedah disebabkan oleh peningkatan resistensi insulin. Hiperglikemia dapat terjadi, bahkan pada pasien tanpa DM, karena adanya resistensi insulin yang dipicu stress ditambah dengan pemakaian cairan intravena yang mengandung dextrose. Peningkatan kadar glukagon, catecholamine, cortisol, dan hormon gonad menghambat efek insulin, dan efek alpha-adrenergik akibat meningkatnya kadar catecholamine menghambat sekresi insulin. Akibat kurangnya glukosa pada jaringan, tubuh menyesuaikan diri dengan melakukan peningkatan glukoneogenesis pada hepar sehingga akan memperparah peningkatan glukosa pada vaskuler..
    • Banyak bukti yang memperlihatkan keuntungan dari penanganan hiperglikemia pada pasien dengan penyakit berat dengan atau tanpa DM. Pada pasien ICU, sebelum dan sesudah tindakan coronary artery bypass grafting (CABG), dan pada pasien Infark Myocard, morbiditas dan mortalitas kelompok ini menurun setelah pemberian infuse glucose-insulin-potassium infusion (GIK infusion) yang dirancang untuk menjaga kadar glukosa dalam angka normal. Banyak rumah sakit yang telah mengimplementasikan protokol GIK-infusion pada pasien ICU, ICU pasca operasi, dan CCU (Critical Care Unit)
    • Regimen penatalaksanaan harus dapat disesuaikan untuk pasien yang tidak membutuhkan perawatan ICU untuk mengkompensasi penurunan intake kalori dan peningkatan stress fisiologik. Kadar glukosa darah antara 100-150 mg/dL sebaiknya dijaga pada pasien bedah/nonbedah yang disertai DM karena alasan berikut ini :
      • Untuk mencegah abnormaltas elektrolit dan penurunan cairan akibat diuresis osmotik
      • Untuk mencegah gangguan fungsi leukosit yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat
      • Untuk mencegah gangguan pada proses penyembuhan luka yang terjadi jika kadar glukosa darah meningkat.
    • Penyakit cardiovascular (CVD/Cardiovasculer Diseases) atau disfungis ginjal meningkatkan morbiditas dan mortalitas operasi pada pasien dengan atau tanpa DM, neuropati otonom akibat diabetes meningkatkan resiko instabilitas kardiovaskuler. Dokter UGD yang menerima pasien dengan DM yang membutuhkan operasi sito harus memberitahu secara detail tentang keadaan pasien pada dokter bedah dan dokter anastesi dan melakukan pemeriksaan penunjang lengkap untuk mencegah operasi yang memakan waktu lama.
  • Infeksi secara umum
    • Infeksi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada pasien diabetes. Infeksi dapat memicu kerusakan metabolisme dan kemudian gangguan metabolisme juga dapat meningkatkan kemungkinan tejadinya infeksi.
    • Beberapa infeksi, seperti malignant otitis externa, rhinocerebral mucormycosis, dan emphysematous pyelonephritis terjadi kebanyakan hanay pada pasien dengan diabetes. Infeksi seperti staphylococcal sepsis terjadi lebih sering dan menyebabkan mortalitas yang lebih besar pada pasien DM daripada penyakit lainnya.
    • Hiperglikemia dan asidemia menimbulkan gangguan pada immunitas humoral dan fungsi leukosit dan limfosit polimorfonuklear. Namun sebagian kerusakan (tidak keseluruhan) dapat diatasi jika pH dan kadar glukosa darah kembali ke angka normal. Walaupun kadar pasti dimana fungsi lekosit terganggu tidak ditentukan, bukti invitro mengatakan bahwa kadar glukosa diatas 200 mg/dL dapat mengganggu fungsi leukositik
    • Pasien yang telah menderita diabetes dalam jangka waktu yang panjang cenderung memiliki komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler akibat buruknya perfusi jaringan dan peningkatan resiko infeksi. Kemampuan kulit sebagai barier infeksi dapat berkurang akibat hilangnya sensasi pada neuropati diabetic yang akan menyebabkan luka yang tidak disadari.
  • Infeksi pada telinga, hidung, tenggorokan
    • 2 jenis infeksi pada kepala dan leher yang berkaitan dengan meningkatnya mortalitas dan morbiditas adalah malignant otitis externa dan rhinocerebral mucormycosis; Kebanyakan penyakit ini terjadi hanya pada pasien diabetes.
    • Pada dasarnya otitis externa malignant atau necrotizing terjadi pada pasien dengan diabetes yang berumur lebih tua dari 35 tahun dan kebanyakan selalu disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
      • Infeksi mula-mula terjadi pada kanalis auditorius external dan menyebar ke jaringan lunak, kartilago, dan tulang sekitar. Khasnya, pasien datang dengan nyeri telinga berat dan otorrhea. Walaupun mereka sering telah mempunyai otitis eksterna sebelumnya, perkembangan menjadi penyakit yang infasif biasanya terjadi dengan cepat.
      • Pemeriksaan kanalis auditorius biasanya memperlihatkan jaringan granulasi, namun penyebaran infeksi ke pinna, jaringan preauricular, dan mastoid membuat diagnosis menjadi jelas. Keterlibatan nervus kranialis, biasanya nervus facialis, biasa terjadi; dapat terjadi kematian jika infeksi meluas sampai ke menings.
      • CT scan dapat menilai perluasan dari penyakit ini.
      • Konsultasi bedah harus dilakukan pada malignant otitis media karena debridement selalu menjadi bagian utama dalam penanganan. Antibiotik antipseudomonal intravena sebaiknya segera dimulai pada pasien dengan otitis yang infasif. Pasien dengan diabetes disertai otitis eksterna berat namun tidak ditemukan tanfa adanya penyakit infasif dapat diatasi dengan ciprofloxacin oral dan tetes telinga, keduanya memerlukan pengawasan yang seksama.
    • Mucormycosis pada dasarnya merujuk pada infeksi yang disebabkan oleh beragam jenis jamur. Penyakit invasif terjadi pada pasien dengan diabetes yang tak terkontrol, terutama pada DKA. Organisme berkolonisasi pada hidung dan sinus paranasales, menyebar ke jaringan sekitar dengan cara menginvasi pembuluh darah kemudian akan menyebabkan nekrosis jaringan lunak dan erosi tulang
      • Pasien biasanya dating dengan nyeri periorbital atau perinasalis, pembengkakan, dan indurasi. Epistaksis dapat terjadi. Keterlibatan orbita, berupa pembengkakan palpebra, adanya proptosis dan diplopia biasanya didapatkan.
      • Infeksi dapat menyebar hingga kedaerah cranial melalui cribriform plate, dan dapat mengakibatkan abses serebral, cavernous sinus thrombosis, atau thrombosis arteri karotis interna.
      • Penanganan termasuk engendalikan hiperglikemia dan asidemia, pemberian amphotericin B intravena, dan debridement sesegara mungkin. Sebelum diagnosis ditegakkan, terapi antibiotik antistaphylococcal cocok diberikan
  • Infeksi traktus urinarius
    • Pasien dengan diabetes mengalami peningkatan resiko cystitis dan lebih penting lagi, infeksi saluran kemih bagian atas yang berat. Infeksi bakteri intrarenal sebaiknya dipertimbangkan dalam differensial diagnosis pada pasien dengan diabetes yang dating dengan nyeri pinggul atau perut.
    • Penanganan cystitis pada dasarnya sama saja dengan penanganan cystisis pasien tanpa diabetes, namun jangka waktu terapi yang lebih lama dianjurkan. Seseorang dengan kandung kemih neurogenik akibat diabetic neuropathy tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik, pasien seperti ini membutuhkan rujukan kepada urolog. Antibiotic sulfonamide dapat menyebabkan hipoglikemia pada pasien yang mengkonsumsi sulfonylurea dengan cara melepaskan sulfonylurea dari titik tangkapnya dan akan meningkatkan efek hipoglikemik dari zat ini.
    • Penanganan pyelonephritis pada pasien diabetes tidak berbeda dengan yang lainnya, namun cenderung lebih sering harus diopname. Dikarenakan pertama, pyelonephritis membuat kontrol diabetes menjadi lebih sulit akibat resistensi insulin, kemudian, mual dapat membatasi kemampuan pasien untuk menjaga hidrasi normal. Hiperglikemia, lebih lanjutnya, dapat menurunkan respon imun. Kedua, pasien dengan diabetes lebih sering mendapatkan komplikasi pyelonephritis (misal, abses renal, emphysematous pyelonephritis, renal papillary necrosis, gram-negative sepsis). dibandingkan dengan orang tanpa DM.
    • Lebih dari 70% kasus emphysematous pyelonephritis terjadi pada pasien dengan diabetes. Emphysematous pyelonephritis merupakan infeksi renal necrotizing yang jarang terjadi, disebabkan oleh Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, atau organisme lain yang dapat mengfermentasikan glukosa menjadi karbon dioksida. Gejala biasanya mirip dengan pyelonephritis tanpa komplikasi dan diagnosis ditegakkan dengan cara melihat adanya gas di ginjal pada foto polos atau USG. Operasi diindikasikan jika diagnosis telah ditegakkan.
  • Infeksi kulit dan jaringan lunak
    • Neuropati sensorik , atherosclerotic vascular disease, dan hyperglycemia, semuanya dapat menyebabkan pasien diabetes terkena infeksi kulit dan jaringan lunak. Ini dapat mengenai permukaan kulit dimana saja namun pada umumnya terjadi pada kaki
    • Kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dL meningkatkan resiko infeksi jaringan lunak secara bermakna
    • Cellulitis; lymphangitis; dan, paling buruknya, staphylococcal sepsis dapat menjadi komplikasi bahkan pada luka sekecil apapun. Luka minor dan selulitis biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau hemolytic streptococci. Penanganan dengan penicillinase-resistant synthetic penicillin atau generasi pertama cephalosporin terbukti efektif untuk penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan, namun meningkatnya prevalensi community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) sekarang harus dipertimbangkan jika memilih antibiotik. Pasein dengan diabetes sepertinya tidak memiliki prevalensi CA-MRSA yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa diabetes
    • Penanganan infeksi minor pada pasien rawat jalan cocok untuk pasien yang memonitor kadar glukosa darahnya dan mempunyai akses untuk follow up ruitn.
  • Osteomyelitis
    • Penyebaran berkelanjutan dari infeksi polymicrobial dari ulkus kulit ke jaringan tulang sekitar umum terjadi pada pasien diabetes
    • Pada suatu penelitian, osteomyelitis ditemukan pada 68% pasien kaki diabetik dan pemeriksaan fisis dan x-ray polos tidak membantu menegakkan diagnosis pada sebagian besar kasus. Disayangkan, modalitas diagnosa ini satu-satunya yang sering tersedia pada UGD, dan diagnosis menjadi hanya dicurigai namun tidak dapat ditegakkan. MRI, jika tersedia pada UGD, mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dalam mendiagnosis osteomyelitis.
    • Jika osteomyelitis terlihat pada x-ray polos atau pemeriksaan fisis (misal, jika luka cukup dalam untuk menjalar ke tendon atau tulang), Pasien sebaiknya diberikan antibiotic intravena. Jika osteomyelitis dicurigai namun infeksi jaringan lunak atau gangguan metabolis tidak mengindikasikan rawat inap, pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan.
  • Infeksi lainnya
    • Walaupun cholecystitis mungkin sering pada pasien diabetes daripada populasi umum, infeksi fulminan berat, terutama organisme penghasil gas sering ditemukan. Manifestasi klinis dini dari cholecystitis emphysematous biasanya sulit dibedakan dari cholecystitis pada umumnya. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan udara pada lumen, dinding atau jaringan sekitar dari kantung empedu. Walaupun pembedahan segera dikerjakan, jumlah mortalitas tetap tinggi.
    • Insiden infeksi staphylococcal dan K pneumoniae lebih tinggi pada pasien dengan diabetes dibandingkan tanpa diabetes.
    • Diabetes merupakan faktor resiko dari reaktivasi tuberculosis.
    • Infeksi cryptococcal dan coccidioidomycoses lebih virulen pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan orang lain
  • Komplikasi ophthalmologic
    • Diabetes dapat mempengaruhi lensa, vitreous, dan retina menyebabkan gejala penglihatan yang dapat membuat pasien masuk UGD. Penglihatan kabur dapat berkembang cepat karena perubahan bentuk lensa mengikuti perubahan konsentrasi glukosa darah. Efek ini disebabkan oleh aliran air osmotik ke dalam dan keluar dari lensa, biasanya terjadi jika hyperglycemia terjadi, namun dapat juga terlihat jika kadar glukosa menurun secara drastis. Pada kedua kasus, penyembuhan ke tahap ketajaman penglihatan sebelumnya, memerlukan waktu hingga satu bulan, dan beberapa pasien hampir sama sekali tidak mampu membaca tulisan kecil.
    • Patients dengan diabetes juga cenderung terkena katarak senilis dibandingkan pasien tanpa diabetes walaupun ini tidak berhubungan dengan derajat pengendalian glukosa.
    • Apakah pasien terkena retinopathy diabetic atau tidak bergantung dari durasi diabetes mereka dan dari pengendalian kadar glukosa. Karena diagnosis DM tipe 2 biasanya terlambat, 20% dari pasien ini telah mempunyai derajat retinopathy yang berbeda-beda pada saat diagnosis DM tipe 2. Berikut ini adalah 5 tahap dari perkembangan retinopathy diabetes.

1. Dilatasi vena retina dan pembentukan microaneurisma pada kapiler retina.

2. Peningkatan permeabilitas vaskuler

3. Oklusi vaskuler dan iskemia retina

4. Proliferasi dari pembuluh darah baru pada permukaan retina

5. Perdarahan dan kontraksi dari proliferasi fibrovaskuler pada vitreous

    • 2 tahap pertama diketahui sebagai retinopati nonproliferative retinopathy.
      • Mulanya, venula retina berdilatasi kemudian microaneurisma berkembang (titik merah kecil pada retina yang tidak menyebabkan gangguan penglihatan).
      • Jika microaneurysms atau kapiler retinal menjadi semakin permeabel, dan eksudat keras muncul, menandakan adanya kebocoran plasma. Ruptur kapiler intraretinal menyebabkan pendarahan. Jika kapiler superficial mengalami ruptur, dapat terlihat perdarahan berbentuk kobaran api ( flame-shaped hemorrhage)
      • Exudate keras biasanya ditemukan pada sebagian atau seluruh bagian cincin (pola circinasi) dimana biasanya termasuk microaneurisma multipl. Cincin ini biasanya tanda dari area retina edematous.
      • Pasien dapat tidak menyadari perubahan ketajaman mata kecuali macula centralis terlibat. Edema macular dapat menyebabkan hilangnya penglihatan; maka dari itu, semua pasien yang dicurigai edema macular harus dirujuk ke spesialis penyakit mata untuk pemeriksaan lebih lanjut dan terapi laser. Terapi laser efektif dalam menurunkan edema macular dan mengembalikan ketajaman penglihatan namun kurang efektif untuk mengembalikan penglihatan yang sudah hilang.
    • Retinopati diabetes preproliferative dan proliferative merupakan stadium berikutnya dalam perkembangan penyakit ini. Cotton-wool spots dapat terlihat pada retinopathy preproliferative. Dapat terlihat microinfark pada retina disebabkan oleh oklusi kapiler dan terlihat sebagai bercak berwarna abu-abu keputihan dengan batas tidak tegas.
    • Retinopathy proliferative ditandai dengan neovaskularisasi atau perkembangan jaringan pembuluh darah baru yang mudah pecah yang dapat terlihat pada saraf optic atau sepanjang jalur pembuluh darah utama. Pembuluh darah mengalami siklus proliferasi dan regresi. Selama proliferasi, adhesi fibrous terjadi pada pembuluh darah dan vitreous. Kontraksi berkesinambungan akibat adesi dapat menyebabkan traksi pada retina dan detachment retina. Kontraksi juga memecahkan pembuluh darah baru, dimana pendarahan memasuki vitreous. Pasien hanya akan menyadari adanya perdarahan kecil yang terlihat sebagai floater (objek kecil transparan yang terlihat bergerak mengikuti pandangan) walaupun perdarahan berat dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan yang berarti.
    • Pasien dengan retinopati preproliferative atau proliferative harus segera dilakukan pemeriksaan ophthalmologis karena terapi laser dapat efektif pada keadaan seperti ini, terutama sebelum perdarahan terjadi. Pasien dengan perdarahan retina harus dianjurkan untuk mengurangi aktifitas mereka dan menjaga kepala tetap tegak (walaupun sedang tidur) sehingga darah mengalir ke bagian inferior retina dan meminimalisir kerusakan penglihatan sentral.
    • Pasien dengan retinopati diabetic proliferative mempunyai rpeningkatan resiko terjadinya perdarahan retina jika mendapatkan terapi thrombolitik, sehingga, pada keadaan ini merupakan kontraindikasi relatif untuk menggunakan agen thrombolitik
  • Nephropathy
    • Pasien dengan DM tipe 2 merupakan pasien diabetes terbanyak yang mengidap ESRD (End Stage Renal Disease/Penyakit Ginjal tahap akhir). Semua pasien diabetes harus dicurigai mempunyai potensi untuk gangguan ginjal kecuali jika tidak terbukti. Sehingga, penanganan ekstra dilakukan jika menggunakan agen nephrotoksik pada semua pasien diabetes..
    • Pemakaian zat kontras dapat memicu gagal ginjal akut pada pasien yang telah memiliki nephropaty diabetk. Perhatian lebih dilakukan pada pemeriksaan radiologist dengan kontras jika kadar kreatinin pasien diabetes lebih besar dari 2 mg/dL; pemeriksaan ini harus mutlak dihindari jika kadar kreatinin mencapai lebih dari 3mg/dL. Walaupun kebanyakan dapat sembuh dalam 10 hari, beberapa yang lain terkena gagal ginjal irreversible. Pasien diabetes yang harus melakukan pemeriksaan ini sebaiknya minum banyak sebelum, selama, dan setelah pemeriksaan dan setelah pemeriksaan, fungsi ginjal harus diawasi secara hati-hati. Solusi yang lebih baik yaitu dengan menggunakan modalitas alternative yang tidak memerlukan media kontras (misal, sonography, CT noncontras, atau MRI).
    • Obat yang berpotensi nephrotoxic sebaiknya dihindari jika memungkinkan. Obat yang dieksresi melalui ginjal atau obat berpotensi nephrotoksik sebaiknya diberikan dalam dosis rendah menyesuaikan dengan kadar kreatinin pasien.
    • Karena peningkatan tekanan darah kronis berkontribusi dalam penurunan fungsi ginjal, maka pasien hipertensi yang terkena diabetes harus diberikan penanganan tekanan darah tinggi jangka panjang. Jika terapi antihipertensi dimulai pada UGD, Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin receptor blocker (ARB) dianjurkan karena agen ini menurunkan proteinuria dan kurang merusak fungsi ginjal selain dari efeknya pada tekanan darah. ACE inhibitor dan ARBs cenderung meningkatkan kadar potassium serum sehingga digunakan dengan perhatian lebih pada pasien dengan insufisiensi renalis atau peningkatan kadar potassium serum.
  • Neuropati
    • Dari banyak tipe neuropati diabetic perifer dan otonom, polineuropati sensorimotor simetris merupakan yang paling sering (distribusi “glove and stocking”). Selain menyebabkan nyeri pada stadium awal, tipe neuropati ini berakhir dengan hilangnya sensasi perifer. Kombinasi antara penurunan sensasi dan insufisiensi arterial perifer biasanya menyebabkan ulkus di kaki dan akhirnya diamputasi.
    • Onset mononeuropati akut pada diabetes termasuk mononeuropati cranial, mononeuropati multiplex, lesi fokal pada plexus brachial atau lumbosacral, dan radiculopati. Pada neuropati cranial, nervus cranial II (oculomotoris) merupakan yang paling sering terkena, diikuti oleh nervus cranial VI (abdusen) dan nervus cranial IV (trochlearis). Pasien biasanya datang dengan diplopia dan nyeri mata.
    • Pertimbangan akan penyebab nondiabetes dari nervus cranial palsy penting karena 42% kasus disebabkan oleh penyebab selain diabetes. Sehingga, pemeriksaan juga disertai dengan CT kontras atau non-kontras atau yang lebih baik, MRI. Konsul kepada spesialis saraf direkomendasikan. Mononeuropati nervus kranialis akut biasanya sembuh dalam 2-9 bulan. Trombosis atau iskemia akut pada pembuluh darah yang menyuplai struktur terkait dicurigai merupakan penyebab dari neuropati ini.
    • Disfungsi otonom dapat melibatkan bagian manapun dari rantai simpatik atau parasimpatik dan menghasilkan manifestasi yang beragam. Pasien biasanya masuk ke UGD dengan gastroparesis diabetik dan muntah, diare berat, disfungsi saluran kemih, dan retensi urin atau hipotensi orthostatic simpatis.
      • Penanganan gastroparesis adalah simptomatis dan gejala cenderung hilang timbul. Pasien dengan gastroparesis dapat diatasi dengan metoclopramide atau eritromisin. Sebelum terapi ini dimulai, derajat dehidrasi dan keseimbangan metabolik harus dinilai, dan kemungkinan penyebab muntah lain harus disingkirkan
      • Mengembalikan fungsi saraf yang rusak yang telah terkena neuropati otonom biasanya sulit dan membuat dokter dan pasien frustasi..
  • Penyakit Kaki Diabetik
    • Sekitar 50-70% kasus amputasi tungkai nontraumatik terjadi pada pasien diabetes. Daya sensorik kaki yang menurun disertai dengan perfusi darah yang buruk merupakan faktor resiko untuk terjadinya ulkus akibat nekrosis tekanan dan trauma minor yang tidak disadari. Luka ini dapat berkembang menjadi selulitis, osteomyelitis, atau gangrene nonclostridial, dan berakhir pada amputasi.
    • Pasien diabetes yang datang dengan luka, ulkus, atau infeksi pada kaki sebaiknya ditangani secara intensif. Sebagai tambahan, penggunaan antibiotik, menghindari trauma berikutnya sangat penting. Ini dapt dicapai dengan immobilisasi dengan boot dan/atau menggunakan kursi roda, atau istirahat penuh. Pasien sebaiknya ditangani oleh podiatric atau orthopaedist yang berpengalaman dalam menangani penyakit kaki diabetic. Jika tulang atau tendon terlihat, osteomyelitis didapatkan, maka rawat inap dibutuhkan untuk antibiotic intravena. Banyak pasien yang memerlukan pemeriksaan vaskuler untuk penanganan lokal ulkus karena prosedur revaskularisasi memerlukan aliran darah yang adekuat untuk penyembuhan luka.
    • Karena menyembuhkan ulkus dan infeksi sulit dlakukan, maka pencegahannya sangat penting. Pada suatu klinik, jumlah amputasi dapat dikurangi hingga setengahnya setelah pasien diabetes diminta untuk memperlihatkan kakinya. Dokter UGD dapat melakukan ini dengan secara teliti memperhatikan kaki dari tiap pasien dan dengan mengajari mereka tentang pentingnya perawatan kaki. Pasien dengan neuropati sensorik distal, denyut perifer menurn, onychomycosis sedang-berat, atau kulit pecah pecah sebaiknya dirujuk ke podiatris..
  • Penyakit makrovaskuler
    • Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian pada diabetes, menyebabkan 75% kematian pada kelompok ini namun hanya sekitar 35% kematian pada pasien tanpa diabetes. Diabetes meningkatkan resiko Infark myokard 2 kali pada laki-laki dan 4 kali pada perempuan. Resiko stroke pada pasien diabetes 2 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien tanpa diabetes, dan resko terkena penyakit vaskuler perifer yaitu 4 kali lebih besar. Perbedaan yang tidak disadari pada patofisiologi atherosclerosis pada pasien diabetes mengakibatkan perkembangan yang cepat dan keadaan yang lebih malignan. Sehingga, abnormalitas lipid harus ditangani secara agresif untuk menekan resiko dari atherosclerosis. Penelitian mengatakan bahwa terapi statin sebaiknya diberikan pada pasien diabetes tipe 2 untuk menekan kadar lemak, sehingga mengurangi resiko cerebrovaskular disease
    • Hipertensi yang juga meningkatkan resiko atherosclerosis juga dua kali lebih banyak pada pasien diabetes disbanding pasien tanpa diabetes. Pada pasien diabetes, hipertensi harus ditangani secara agresif untuk menurunkan resiko atherosclerosis yang parah. ACE inhibitor dan ARBs dapat menurunkan resiko CVD akibat efeknya terhadap tekanan darah. Banyak yang menganjurkan pemakaiannya disertai statin.
    • Pasien diabtes juga memiliki peningkatan insiden silent ischemia. Namun, silent ischemia umum terjadi pada pasien dengan PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan sepertinya peningkatan insiden disebabkan karena pasien diabetes lebih sering mengidap PJK disbanding kelompok lainnya.
    • Disfungsi diastolic sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gejala gagal jantung kongestif dan fraksi ejeksi yang normal..

PENGOBATAN
Target Kadar Glukosa

Tujuan dari pengobatan antidiabetik oral adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah hingga mendekati normal (kadar preprandial 90-130 mg/dL dan kadar A1C levels <7%)>

Penanganan DM tipe 2 ditujukan untuk menurunkan resistensi insulin dan meningkatkan fungsi sel beta. Pada kebanyakan pasien disfungsi sel beta semakin memburuk, sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen. Karena pasien dengan DM tipe 2 memiliki baik resistensi insulin dan disfungsi sel beta, maka pengobatan oral untuk meningkatkan senitivitas insulin (misal, metformin atau thiazolidinedione [TZD]) sering diberikan bersamaan dengan intermediate-acting insulin (misal, neutral protamine Hagedorn [NPH]) pada malam hari atau insulin long-acting (eg, glargine [Lantus] insulin atau insulin detemir [Levemir]) diberikan satu kali perhari; glargine dapat diberikan pada pagi atau malam hari, detemir sebaiknya diberikan ada malam hari. Sekretagogue insulin seperti agen sulfonylurea dapat juga diberikan untuk meningkatkan insulin preprandial.

Tujuan dari kombinasi agen oral harian ditambah dengan insulin sekali perhari adalah untuk menurunkan kadar glukosa darah puasa hingga mencapai 100 mg/dL dengan penyesuaian insulin. Apabila target ini dicapai, obat oral dapat efektif dalam menjaga kadar glukosa darah preprandial dan postprandial sepanjang hari. Jika kombinasi regimen agen oral dan insulin gagal menurunkan kadar glukosa sampai angka normal, pola pemberian insulin pasien sebaiknya dirubah menjadi suntikan insulin rapid acting multipel harian sebelum makan. Selama pengobatan DM tipe 2, MNT yang ketat dan olahraga sebaiknya ditekankan karena modifikasi gaya hidup mempunyai efek yang besar terhadap kontrol diabetes yang akan dicapai.

Beberapa pasien sebaiknya tidak menargetkan kadar glukosa darah mendekati normal. Pada lansia, dimana angka harapan hidupnya kurang dari 5 tahun atau pada pasien dengan penyakit terminal (penyakit tahap akhir yang sukar sembuh), kontrol glukosa ketat tidak diperlu dilakukan. Pasien yang diketahui memiliki cerebrovaskuler disease juga membutuhkan target kadar glukosa darah preprandial yang lebih tinggi (misal, 100-160 mg/dL) untuk mencegah hipoglikemia berat. Pasien dengan komplikasi makrovascular dan neuropathic diabetic umumnya tidak terlalu diuntungkan oleh pemeliharaan glukosa darah mendekati kadar normal

Sebagai tambahan, pasien dengan alcoholism atau penyalahgunaan zat lainnya, dan pasien dengan penyakit mental tak terkendali mungkin tidak dapat mengontrol diabetes mereka secara efektif, sehingga menempatkan mereka pada resiko tinggi terjadinya hipoglikemia berat jika kadar glukosa mendekati normal ditargetkan. Pasien dengan tidak sadar akan hipoglikemia (misal, kurangnya tanda adrenergic hipoglikemia) atau dengan episode rekuren hipoglikemia berat (ie, hipoglikemi yang membutuhkan penanganan) sebaiknya juga mempunyai target kadar gula darah yang lebih tinggi paling tidak untuk sementara..

Walaupun dokter UGD jarang memulai terapi baru untuk diabetes, mengetahui obatyang digunakan, efek samping, dan kontraindikasinya sangat berguna

Kategori Obat : Agen Sulfonylurea

Agen ini mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pancreas. Semua jenis diserap dengan baik; waktu paruh dan durasi bekerjanya beragam. Agen ini diklasifikasikan atas generasi pertama (acetohexamide, chlorpropamide, tolazamide, tolbutamide), generasi kedua (glipizide, glyburide), dan generasi ketiga (glimepiride). Semuanya dapat menyebabkan hipoglikemi. Dosis agen ini pada umumnya 5mg/hari namun pada beberapa keadaan yang cenderung memperlihatkan keadaan hipoglikemia atau adanya penyakit hati atau ginjal maka dosis yang dipakai dimulai dari 2,5mg/hari

Kategori Obat: Meglitinides

Agen ini merupakan sekretagog insulin kerja singkat. Obat ini bekerja pada channel ATP-dependent potassium pada sel beta pancreas, menyebabkan pembukaan channel calcium dan meningkatkan pelepasan insulin. Contoh dari obat ini adalah Repaglinida yang digunakan dengan dosis 0,5-4 mg oral diberikan dalam 2-3X perhari sebelum makan. Kontraindikasi yaitu adanya hipersensitivitas

Kategori Obat: Biguanides

Agen ini meningkatkan sensitivitas insulin dengan menurunkan gluconeogenesis hepatik (efek utama) dan meningkatkan sensitivitas insulin perifer (efek sekunder). Obat ini tidak meningkatkan kadar insulin atau meningkatkan berat badan. Jika digunakan sebagai dosis tunggal tidak mengakibatkan hipoglikemi.

Diabsorbsi dari usus halus (bioavailabilitas 50-60%). Tidak mengikat pada protein plasma, tidak dimetabolisme ; cepat dieksresi oleh ginjal. berakumulasi di usus; dapat menurunkan absorbsi glukosa lokal (efek gastrointestinal).Pada kadar tinggi (mis, pada pasien gagal ginjal), akab berakumulasi pada mitochondria; mencegah oxidative phosphorylation dan menyebabkan asidosis laktat. Efek ini jarang terjadi

Contoh obat ini yaitu Metformin, yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan sulfonylurea, thiazolidindione, atau insulin. Dosis harian yaitu 500 atau 800 mg. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin serum >1,5mg, disfungsi hepatic, asidosis akut atau kronis

Kategori Obat : Thiazolidinediones

Derivate thiazolidinedione memperbaiki control glikemia dengan meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini merupakan agonis selektif untuk peroxisome proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-gamma). Aktivasi dari reseptor PPAR-gamma mengatur transkripsi gen insulin-responsive yang terlibat dalam produksi, transport, dan pemakaian glukosa, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa darah dan hyperinsulinemia. Harus dikonsumsi sekitar 12-16 minggu untuk mencapai efek maksimal. Agen ini digunakan sebagai monoterapi atau digunakan beserta obat hipoglikemia oral lainnya.

Contoh obat dari golongan ini yaitu Pioglitazone, digunakan dengan dosis harian 15 atau 30mg PO tiga kali sehari. Perlu diperhatikan jika digunakan bersama insulin karena dapat menyebabkan hipoglikemia. Tidak dianjurkan pada pasien dengan SGOT > 2,5 kali batas normal, DKA, dan gagal jantung kongestif


The US Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan pada pasien dan dokter pada tangga 21 May 2007, bahwa rosiglitazone berpotensi menyebabkan peningkatan resiko infark myokard dan kematian akibat penyakit jantung lainnya.

Troglitazone (Rezulin), jenis yang lain dari thiazolidinedione, secara suka rela ditarik dari pasaran oleh perusahaan pembuatnya pada bulan Maret 2000, setelah diketahui bahwa obat ini mempunyai efek hepatotoksik

Kategori Obat: Alpha-glucosidase Inhibitors

Agen ini menginhibisi kerja alpha-glucosidase (pencernaan karbohidrat), menunda dan mengurangi puncak kadar glukosa darah postprandial. Gula yang belum tercerna dibawa ke colon, dimana dikonversi menjadi asam lemak rantai pendek, methane, karbondioxida, dan hidrogen.

Alpha-glucosidase inhibitors (AGIs) tidak meningkatkan kadar insulin atau menginhibisi laktase; Efek utama yaitu menurunkan kadar glukosa darah postprandial (efek untuk kadar puasa kurang). Obat ini tidak menyebabkan peningkatan berat badan dan dapat mengembalikan ovulasi pada orang anovulasi akibat adanya restensi insulin. AGI biasanya tidak digunakan di US, namun lebih sering pada negara lain.

Dengan dosis tunggal, AGIs tidak menyebabkan hipoglikemi. Kurang dari 2% diserap sebagai obat aktif. Dapat digunakan sebagai monotherapy atau bersama sulfonylurea, TZD, metformin, or insulin. Dimakan bersama makanan untuk meminimalisir efek GI

Contoh obat dari golongan ini yaitu Acarbose. Digunakan dengan dosis 25 mg/hari PO 3x/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg/hari. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin >2 mg/dL; peningkatan kadar enzim hati, atau adanya obstruksi saluran cerna.

FOLLOW-UP

Perawatan Pasien Rawat Inap Lebih Lanjut

  • Perawatan pasien rawat inap diberikan untuk mengatasi terjadinya komplikasi akut mayor seperti hipoglikemia rekuren berat, infeksi mayor, DKA, atau HHS.

Anjuran Pasien Rawat Jalan

  • Walaupun dengan sedikit komplikasi membutuhkan rawat inap. DM tipe 2 biasanya dapat ditangani rawat jalan..

Pencegahan

  • Diet yang teratur, menurunkan berat badan, dan olahraga merupakan pencegah DM tipe 2. American Diabetes Association (ADA) mengatakan bahwa metformin dapat membantu mencegah perkembangan dari prediabetes menjadi diabetes.

Komplikasi

  • Komplikasi dari diabetes termasuk hipoglikemi dan hyperglycemia, meningkatkan resiko infeksi, komplikasi mikrovaskuler (mis, retinopathy, nephropathy), komplikasi neuropati, dan penyakit makrovaskuler
  • Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya kebuataan pada umur diatas 20-74 years.
  • Diabetes merupakan penyebab utama amputasi tungkai dan Gagal Ginjal Tahap Akhir.

Prognosis

  • Pasien diabetes memiliki tantangan seumur hidup untuk mencapai dan menjaga kadar glukosa darah sedekat mungkin ke angka normal. Dengan pengendalian glikemia yang cocok, resiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler dan neuropati menurun secara bermakna. Sebagai tambahan, jika hipertensi dan hiperlipidemia ditangani secara agresif, resiko terjadinya komplikasi makrovaskuler juga menurun secara drastis.
  • Manfaat ini juga diimbangi dengan resiko hipoglikemi dan biaya jangka pendek untuk menyediakan pengobatan berkualitas baik. Penelitian menunjukkan biaya yang dihemat setelah berkurangnya komplikasi akut diabetes selama 1-3 tahun setelah memulai pencegahan efektif
  • Setiap bertemu dengan dokternya, pasien sebaiknya diberitahukan tentang rencana terapi yang cocok dan memotivasi pasien untuk melakukannya secara ketat. Dokter mesti meyakinkan pasien bahwa penatalaksanaan diabetes mellitus mencakup seluruh pemeriksaan lab yang penting, pemeriksaan neurologik dan tungkai, dan rujukan ke spesialis mata atau orthopedis/podiatris.