Selasa, 10 Juni 2008

Cystic Fibrosis

CYSTIC FIBROSIS

(Cystic Fibrosis, Chapter 253, Harrison's Principles of Internal Medicine 17th ed.,
diterjemahkan oleh Husnul Mubarak,S.Ked)

PENDAHULUAN

Cystic fibrosis merupakan gangguan monogenic yang ditemukan sebagai penyakit multisistem. Tanda dan gejala pertama biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun sekitar 5% pasien di Amerika Serikat didiagnosis pada waktu dewasa.

Karena adanya perkembangan dalam terapi, >41% pasien yang sekarang dewasa (18 tahun) dan 13% melewati umur 30 tahun. Median harapan hidup untuk pasien CF adalah >41 tahun pada. Sehingga, CF tidak lagi merupakan penyakit pediatrik, dan internis harus siap untuk menentukan diagnosis CF dan menangani banyak komplikasinya. Penyakit ini ditandai dengan adanya infeksi bakteri kronis pada saluran napas yang pada akhirnya akan menyebabkan bronciectasis dan bronchiolectasis, insufisiensi exokrin pancreas, dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar keringat abnormal, dan disfungsi urogenital.

PATOGENESIS

Pertimbangan genetik

CF merupakan suatu penyakit autosomal resesif akibat adanya mutasi genetic yang membentuk protein CF tranmembrane conductance regulator (CFTR) yang terletak pada kromosom 7. Mutasi gen CFTR dibagi atas 4 kelompok utama, seperti digambarkan pada gambar 1. Kelompok mutasi I – III dikategorikan berat, sebagaimana dikaitkan oleh insufisiensi pankreas dan nilai NaCl pada keringat yang tinggi (lihat dibawah). Mutasi kelompok IV dapat dikatakan ringan, berkaitan dengan fungsi pancreas yang cukup baik dan nilai NaCl pada keringat yang normal. Dengan catatan, mutasi pada kelompok I yang menyebabkan penghentian premature pada kodon penting untuk diidentifikasi, karena pada masa depan, dapat diatasi dengan agen yang dapat “membaca” kodon yang berhenti melalui produksi CFTR fungsional.


Gambar I.Skema yang menjelaskan kelompok pada mutasi gen CFTR dan efeknya pada fungsi CFTR. Mutasi F508 merupakan mutasi kelompok II dan, seperti mutasi kelompok I, diperkirakan tidak menghasilkan protein CFTR yang matang pada membrane apical.. CFTR, cystic fibrosis transmembrane conductance regulator.

Prevalensi dari CF beragam, tergantung dari etnis suatu populasi. CF dideteksi pada sekitar 1 dari 3000 kelahiran hidup pada populasi Kaukasia di Amerika bagian Utara dan Eropa Utara, 1 dari 17.000 kelahiran hidup pada African Amerikan (Negro), dan 1 dari 90.000 kelahiran hidup pada populasi Asia di Hawaii. Mutasi yang paling umum terjadi yaitu delesi 3-bp (Mutasi kelas III) yang menyebabkan hilangnya phenylalanine pada asam amino posisi 508 (F508) pada produk gen protein CF, disebut sebagai CFTR. Banyaknya (>1400) mutasi yang relatif jarang (<2%>

Protein CFTR

Protein CFTR merupakan rantai polipeptida tunggal, mengandung 1480 asam amino, yang sepertinya berfungsi untuk cyclic AMP–regulated Cl– channel dan dari namanya, mengatur channel ion lainnya. Bentuk CFTR yang terproses lengkap ditemukan pada membrane plasma di epithelial normal. Penelitian biokimia mengindikasikan bahwa mutasi F508 menyebabkan kerusakan proses dan degradasi intraseluler pada protein CFTR. Sehingga alpanya CFTR pada membrane plasma merupakan pusat dari patofisiologi molecular akibat mutasi F508 dan mutasi kelompok I-II lainnya. Namun, mutasi kelompok III-IV menghasilkan protein CFTR yang telah diproses lengkap namun tidak berfungsi atau hanya sedikit berfungsi pada membrane plasma.

Disfungsi Endotel

Epitel yang mengalami CF memperlihatkan fungsi yang berbeda-beda pada keadaan awal, mis. ada yang menyerap isi lumen(epitel saluran napas dan usus distal) dan beberapa hanya menyerap garam –namun tidak seluruh isi lumen-(saluran keringat), dimana lainnya ada yang mengisi lumen (usus proximal dan pancreas). Akibat dari beragamnya aktivitas native ini, tidak mengejutkan bahwa CF menyebabkan efek spesifik terhadap organ tertentu dalam hal transport air dan elektrolit. Namun, konsep yang menyatukannya yaitu bahwa jaringan yang terkena memperlihatkan fungsi transport ion yang abnormal.

PATOFISIOLOGI ORGAN SPESIFIK

Paru-paru

Tanda biofisika diagnostic pada CF epitel saluran napas yaitu adanya peningkatan perbedaan potensi listrik transepitelial (Potential difference/PD). Transepitelial PD menunjukkan jumlah transport ion aktif dan resistensi epithelial terhadap aliran ion. CF saluran napas memperlihatkan ketidaknormalan pada absorbsi Na+ dan Sekresi Cl- aktif (Gambar II). Defek sekresi Cl memperlihatkan alpanya cyclic AMP–dependent kinase dan protein kinase C–regulated Cl transport yang dimediasi oleh CFTR. Suatu pemeriksaan yang penting mengatakan bahwa adanya perbedaan molekul pada Ca2+-activated Cl channel (CaCC) yang terlihat pada membrane apical. Channel ini dapat menggantikan CFTR dengan imbas pada sekresi Cl- dan dapat menjadi target terapeutik berpotensial.

Gambar II. Perbandingan antara properti transport ion yang normal (atas) dengan CF (bawah). Tanda panah menjelaskan rute dan magnitude pada transpor Na+ dan Cl yang diikuti oleh aliran air secara osmotic. Pola normal untuk transpor ion yaitu adanya absorbsi Na+ dari lumen via channel amiloride-sensitive Na+l. Proses ini dipercepat pada CF. Kemampuan untuk menginisiasi sekresi cyclic AMP–mediated Cl– menjadi menurun pada CF epitel saluran napas akibat disfungsi dari channel CFTR CL-. Percepatan absorpsi Na+ pada CF mencerminkan tidak adanya efek inhibisi CFTR pada channel Na+.

Regulasi abnormal dari absorbsi Na+ merupakan gambaran inti pada CF di epitel saluran napas. Abnormalitas ini menunjukkan fungsi kedua dari CFTR, yaitu sebagai tonic inhibitor pada channel Na+. Mekanisme molekuler yang memediasi aksi CFTR belum diketahui..

Klirens mucus merupakan pertahanan innate primer saluran napas terhadap infeksi bakteri yang terhisap. Saluran napas mengatur jumlah absorbsi aktif Na+ dan sekresi Cl- untuk mengatur jumlah cairan (air), mis. “hidrasi”, pada permukaan saluran napas untuk klirens mucus yang efisien. Hipotesis utama tentang patofisiologi CF saluran napas adalah adanya regulasi yang salah terhadap absorbsi Na+ dan ketidakmampuan untuk mengsekresi Cl- melalui CFTR, mengurangi volume cairal pada permukaan saluran napas. Baik penebalan mucus maupun deplesi cairan perisiliar mengakibatkan adhesi mucus pada permukaan saluran napas. Adhesi mucus menyebabkan kegagalan untuk membersihkan mucus dari saluran napas baik melalui mekanisme siliar dan batuk. Tidak ditemukannya keterkaitan yang tegas antara mutasi genetic dan keparahan penyakit paru-paru menyimpulkan adanya peran penting dari gen pemodifikasi dan interaksi antara gen dan lingkungan.

Infeksi yang terdapat pada CF saluran napas cenderung melibatkan lapisan mukosa dibandingkan invasi epitel atau dinding saluran napas. Predisposisi dari CF saluran napas terhadap infeksi kronis Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa selaras dengan kegagalan membersihkan mucus. Sekarang ini, telah didemonstrasikan bahwa tekanan O2 sangat rendah pada mucus CF, dan adaptasi terhadap hypoxia merupakan penentu penting fisiologi bakteri pada paru-paru CF. Ditekankan bahwa, baik stasis mucus dan hypoxia mucus dapat berkontribusi terhadap kecenderungan Pseudomonas untuk dapat tumbuh pada koloni biofilm didalam plak mucus disekitar permukaan saluran napas dengan CF.

Saluran Cerna

Efek dari CF terhadap saluran cerna beragam. Pada fungsi exokrin pancreas, alpanya CFTR Channel Cl- pada membrane apical epitel ductus pancreas membatasi fungsi apical membrane Cl--HCO3- untuk mengsekresi bikarbonat dan Na+ (melalui proses pasif) kedalam duktus. Kegagalan mengsekresi Na+, HCO3- dan air akan menyebabkan retensi enzim pada pancreas dan pada akhirnya menyebabkan kehancuran total pada semua jaringan pancreas yang tersisa. CF pada epitel intestinum, karena kurangnya sekresi air dan Cl-, gagal mengsekresi mucin dan makromolekul dari kripte usus. Sekresi cairan yang dimediasi CFTR dapat dieksaserbasi oleh absorbsi berlebihan terhadap cairan, memperlihatkan adanya abnormalitas pada regulasi absorbsi Na+ ( keduanya dimediasi oleh channel Na+ dan kemungkinan transporter Na+ lainnya, misal. pompa ion Na+-H+) yang dimediasi CFTR. Kedua disfungsi ini menyebabkan keringnya isi lumen usus dan obstruksi dari usus halus dan besar. Pada sistem hepatobilier, adanya defek garam pada duktus hepatikus (Cl-) dan sekresi air menyebabkan penevalan sekresi bilier, sirosis bilier fokal, dan proliferasi duktus biliaris pada sekitar 25-30% pasien dengan CF. Ketidakmampuan dari epitel kelenjar empedu yang terkena CF untuk mengsekresi garam empedu dan air dapat menyebabkan choleocystitis dan cholelithiasis.

Kelenjar Keringat

Pasien dengan CF mensekresi volume yang hampir normal pada asinus kelenjar. Namun, Pasien CF tidak mampu mengabsorbsi NaCl dari keringat karena zat ini bergerak melalui duktus eksretorius akibat ketidakmampuannya menyerap Cl- disepanjang sel epitel duktus eksretorius. Disfungsi pada kelenjar keringat biasanya dapat dilakukan dengan mengumpulkan keringat setelah pemberian agonis cholinergik pada ketiak..

MANIFESTASI KLINIS

Kebanyakan pasien dengan CF datang dengan tanda dan gejala penyakit pediatric. Sekitar 20% pasien datang pada umur 24 jam pertama setelah obstruksi gastrointestinal, dikatakan dengan ileus mekonium. Manifestasi lain yang umum pada tahun pertama atau kedua kehidupan termasuk gejala traktus respiratorius, yang paling sering batuk dan/atau infiltrate pulmoner. Bagaimanapun juga, proporsi bermakna pasien (~5%) terdiagnosis setelah umur 18 tahun.

Traktur Respiratorius

Penyakit saluran napas bagian atas adalah yang paling universal pada pasien dengan CF. Sinusitis kronik sering terjadi pada masa anak-anak dan menyebabkan obstruksi nasal dan rinore. Kejadian dari polip nasal mendekati 25% dan biasanya membutuhkan pengobatan dengan steroid topical dan/atau bedah.

Pada saluran napas bagian bawah, gejala ertama dari CF adalah batuk. Seiring dengan waktu, batuk menjadi persisten dan menghasilkan sputum kental, purulen, dan berwarna kehijauan. Tak dapat dihindari, masa dari stabilitas klinis diinterupsi oleh “eksaserbasi”, didefinisikan oleh peningkatan batuk, berat badan menurun, demam subfebris, peningktan volume sputum , dan penurunan fungsi pulmoner. Dalam beberapa tahun perjalanan penyakit, eksaserbasi menjadi semakin sering dan penyembuhan dari hilangnya fungsi paru tidak sempurna, pada akhirnya menyebabkan kegagalan pernapasan.

Pasien CF memiliki gambaran mikrobiologi sputum yang khas. Haemophilus influenzae dan S. aureus adalah organisme pertama yang ditemukan dari sekresi pada pada pasien yang baru didiagnosis dengan CF. P. aeruginosa, biasanya mukoid dan resisten terhadap antibiotic, biasanya dikultur dari sekresi saluran napas bagian bawah. Burkholderia (biasanya disebut Pseudomonas cepacia) juga ditemukan dari sputum pasien CF dan bersifat pathogen. Penyebaran pasien ke pasien dari beberapa jenis tertentu organisme ini membuat pengendalian infeksi di rumah sakit menjadi sangat penting. Basil gram negative lainnya yang ditemukan dari sputum pasien CF yaitu Alcaligenes xylosoxidans, B. gladioli, dan biasanya bentuk mucoid dari Proteus, Escherichia coli, dan Klebsiella. Sebanyak 50% dari pasien CF memiliki Aspergillus fumigatus pada sputum mereka dan hingga 10% dari pasien ini mengalami sindrom allergic bronchopulmonary aspergillosis. Mycobacterium tuberculosis jarang ditemukan pada pasien CF. Namun, 10–20% dari pasien dewasa dengan CF memiliki kultur positif untuk mikobakteria nontuberculous, dan pada beberapa pasien dengan mikroorganisme ini dikaitkan perkembangan penyakit.

Abnormalitas pertama fungsi ginjal yang diamati pada anak dengan CF yaitu peningkatan rasio dari volume residual terhadap kapasitas total paru (total lung capacity). Ketika penyakit berkembang, baik perubahan ireversibel atau reversible pada forced vital capacity (FVC) dan forced expiratory volume 1 detik (FEV1) akan muncul. Komponen reversible memperlihatkan adanya akumulasi dari sekresi intraluminal dan/atau reaktivitas saluran napas, dimana terjadi pada 40% - 60% pasien dengan CF. Komponen ireversibel menandakan adanya kerusakan kronis pada dinding saluran napas dan bronchiolitis.

Perubahan dini pada gambaran x-ray paru pasien dengan CF aitu adanya hyperinflasi, menandakan adanya obstruksi saluran napas kecil. Kemudian, tanda impaksi mucus luminal, penyempitan bronchial, dan pada akhirnya bronchiectasis. Karena beberapa alasan yang tetap spekulatif, lobus atas paru kanan memperlihatkan perubahan dini dan yang paling berat.

Penyakit CF pada saluran pernapasan dikaitkan dengan beberapa komplikasi intermitten. Pneumothorax sering terjadi (>10% pasien). Adanya sejumlah kecil darah pada sputum sering terjadi pada CF dengan penyakit pulmoner berat. Hemoptyisis massif biasanya fatal. Dengan adanya penyakit paru yang berat, clubbing jari dapat terlihat jelas pada pasien CF. Pada keadaan lanjut, kegagaan pernapasan dan cor pulmoner adalah manifestasi klinis yang sering ditemukan pada pasien CF.

Saluran Cerna

Sindroma ileus mekonium pada bayi ditandai dengan adanya distensi abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses, dan emesis. Dinding aperut yang datar dapat menegakkan diagnostic, dengan adanya air-fluid level pada usus halus, adanya gambaran granuler memperlihatkan mekonium dan usus halus. Pada anak-anak dan dewasa muda, ileus mekonium ekuivalen atau distal intestinal obstruction syndrome (DIOS) terjadi. Pasien datang dengan muntah, dan sering pula, dapat terpalpasi massa. Sindrom ini dapat dibingungkan dengan appendicitis, dimana frekuensinya tidak meningkat pada pasien dengan CF.

Issufisiensi exokrin pancreas terjadi pada >90% pasien dengan CF. Insufisiensi sekresi enzim pancreas menyebabkan pola khas malabsorbsi protein dan lemak, disertai dengan peningkatan frekuensi defekasi, feses berlebihan, dan bau yang sangat busuk. Gejala dan tanda malabsorbsi dari vitamin larut lemak, seperti vitamin E dan K. Sel beta páncreas tidak terganggu pada awalnya namun fungsinya menurun seiring dengan usia. Efek ini, disertai dengan resistensi insulin yang disebabkan inflamasi dapat mengakibatkan hyperglycemia dan >15% pasien diatas >35 tahun dengan CF membutuhkan insulin.

Sistem Genitourinaria

Onset pubertas baik pada laki-laki maupun pada perempuan dengan CF biasanya terlambat. Adanya pematangan yang tertunda sepertinya disebabkan oleh adanya penyakit paru yang kronis dan nutrisi yang tidak adekuat untuk menjalankan fungsi endokrin reproduksi. Lebih dari 95% pasien laki-laki dengan CF mengalami azoospermia (penurunan jumlah sperma), menandakan adanya kerusakan pada vas deferens akibat adanya sekresi cairan yang defektif. 20% wanita dengan CF mengalami infertile akibat efek penyakit paru kronis terhadap siklus menstrual; mucus servikal tebal yang keluar terus menerus dapat memblokir migrasi sperma; dan kemungkinan adanya abnormalitas dinding uterus dan tuba fallopia dalam transpor cairan. Kebanyakan kehamilan melahirkan bayi yang sehat dan wanita dengan CF dapat menyusui bayinya dengan normal.

DIAGNOSIS

Diagnosis CF bergantung pada kombinasi criteria klinis dan fungsi CFTR abnormal yang diperlihatkan dengan tes keringar, pengukuran potential difference nasal, dan analisis mutasi CFTR. Peningkatan kadar Cl- pada keringat juga merupakan patognomonik (tanda paling khas) dari CF. Nilai untuk konsentrasi Cl- (dan Na+) pada keringat bervariasi bergantung umur, namun khasnya pada dewasa konsentrasi Cl- yaitu >70 mEq/L membedakan pasien CF dan penyakit paru lainnya. Analisis DNA pada mutasi yang paling sering terjadi dapat mengidentifikasi mutasi CF pada >90% pasien. Pengukuran PD nasal dapat mengidentifikasi disfungsi CFTR jika pemeriksaan Cl- pada keringat normal atau perbatasan dan 2 mutasi CF tidak dapat teridentifikasi. Analisis DNA dilakukan secara rutin pada pasien dengan CF karena hubungan genotip-fenotip pancreas telah dapat teridentifikasi dan penanganan spesifik untuk tiap kelompok mutasi telah dikembangkan.

Antara 1 hingga 2% pasien dengan sindrom klinis CF memiliki keringat dengan kadar Cl- yang normal. Pada kebanyakan pasien nasal transepitelial PD meningkat hingga nilai diagnostik untuk CF, dan kelenjar keringat tidak berproduksi setelah pemberian injeksi agonist adrenergik. Mutasi tunggal pada gen CFTR, 3849 + 10 kb C T, dikaitkan dengan kebanyakan pasien CF dengan kadar Cl- normal.

PENTALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi CF yaitu untuk meningkatkan klirens dari sekresi dan mengendalikan infeksi di paru-paru, menyediakan nutrisi yang adekuat, dan mencegah obstruksi intestinal. Pada akhirnya, terapi untuk mengembalikan proses penyusunan genetic CFTR atau terapi gen merupakan terapi yang dipilih.

Penyakit Paru

Lebih dari 95% pasien meninggal akibat komplikasi yang disebabkan infeksi paru-paru. Secara teoritis, peningkatan klirens dari mucus yang lengket dapat mengatasi dan mencegah perkembangan dari penyakit paru akibat CF, dimana antibiotic secara prinsipil mengurangi beban akibat bakteri akibat CF paru-paru.

Teknik yang lama namun dapat digunakan untuk mengeluarkan sekresi pulmoner adalah latihan pernapasan, flutter valves (selang-kantong tiup), dan perkusi dada. Penggunaan rutin teknik ini dapat secara efektif menjaga fungsi pernapasan. Kemajuan utama telah diperlihatkan dari inhalasi saline hypertonik (7%) dalam mengembalikan klirens mucus dan fungsi pernapasan dalam suatu penelitian jangka pendek dan efektivitasnya dalam mengurangi eksaserbasi akut pada penelitian jangka panjang (1 tahun). Larutan hypertonic juga aman namun dapat menyebabkan bronchoconstriksi pada beberapa pasien, dimana dapat dicegah dengan pemberian bronchodilator. Penelitian telah berlangsung untuk memastikan apakah inhalasi larutan hypertonic sebaiknya terapi standart untuk pasien dengan CF.

Agen farmakologik untuk meningkatkan klirens mucus telah digunakan dan juga dalam perkembangan. Tambahan penting untuk klirens secret dapat berupa recombinant human DNAse, yang dapat mendegradasi DNA terkonsentrasi pada sputum CF, sehingga meningkatkan aliran udara selama pemberian jangka pendek dan meningkatkan waktu antara eksaserbasi pulmoner. Kebanyakan pasien mendapatkan percobaan pengobatan DNAse untu beberapa bulan untuk diperiksa efektifitasnya. Penelitian klinis dari obat eksperimental menargetkan untuk mengembalikan kandungan air dan garam pada sekret telah dikerjakan, namun obat ini belum dapat digunakan untuk pemakaian klinis.

Antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi paru-paru, dan penggunaannya mengacu pada hasil kultur sputum. Sebaiknya diketahui, bagaimanapun juga, karena kultur mikrobiologis rutin pada rumah sakit dilakukan tanpa mengikuti keadaan sebenarnya pada paru-paru dengan CF (misal, adanya hypoxia), efektivitas klinis biasanya tidak berhubungan dengan pemeriksaan sensitivitas. Karena peningkatan klirens tubuh total dan luasnya volume distribusi antibiotic pada pasien CF, sehingga dosis yang dibutuhkan lebih besar pada pasien CF.

Intervensi dini dengan antibiotic pada bayi terinfeksi dapat mengeradikasi P. aeruginosa untuk periode yang lebih lama. Pada pasien yang lebih tua dengan infeksi, menekan pertumbuhan bakteri merupakan tujuan terapeutik. Azithromycin (250 mg perhari atau 500 mg tiga kali setiap minggu) digunakan dalam jangka waktu yang lama, walaupun belum jelas apakah efeknya adalah sebagai antimicrobial atau anti-inflammatory. Inhalasi aminoglycosides, (mis, tobramycin 300 mg bid) untuk menunda interval bulanan eksaserbasi juga digunakan. “Eksaserbasi ringan” yang didefinisikan dengan peningkatan batuk dan produksi mucus diatasi dengan pemberian antibiotic tambahan. Agen oral yang digunakan untuk menangani Staphylococcus yaitu penisilin semisintetik atau sephalosporin. Ciprofloxacin oral dapat mengurangi jumlah bakteri pseudomonas dan mengendalikan gejala, namun kemampuan klinisnya dapat dibatasi oleh perkembangan mendadak organisme yang sudah resisten. Karenanya, obat ini biasa digunakan bersama antibiotic, dapat berupa tobramycin atau colistin (75 mg bid). Eksaserbasi yang lebih berat atau eksaserbasi yang berhubungan dengan resistensi terhadap antibiotik oral, membutuhkan antibiotic intravena. Terapi intravena diberikan baik pada keadaan rawat inap atau rawat jalan. Biasanya, 2 obat dengan mekanisme yang berbeda (mis.,cephalosporin dan aminoglycoside) digunakan untuk mengatasi P. aeruginosa untuk meminimalisir penyebaran organisme resisten. Dosis obat sebaiknya diawasi sehingga kadar gentamicin atau tobramycin tidak lebih dari ~10g/mL dan paling rendah <2 g/mL. Antibiotik secara langsung kepada Staphylococcus dan/atau H. influenzae ditambahkan, tergantung dari hasil kultur.

Inhalasi agonis adrenergic dapat berguna untuk mengendalikan konstriksi saluran napas, namun manfaat pemakaian jangka panjang belum ditemukan. Glucocorticoids oral dapat mengurangi inflamasi saluran napas, namun pemakaian jangka panjang dibatasi oleh efek sampingnya; Namun, obat ini dapat berguna untuk allergic bronchopulmonary aspergillosis.

Kerusakan kronis kepada dinding saluran napas menandakan bagian dari aktifitas destruktif dari enzim inflammatory yang dihasilkan oleh sel-sel inflammasi. Terapi khusus untuk antiproteases belum berkembang. Namun, sebagian kecil remaja dengan CF mendapatkan keuntungan dari pemakaian jangka panjang, dosis tinggi terapi nonsteroid.

Beberapa komplikasi pulmoner membutuhkan intervensi secepatnya. Atelectasis membuthkan penanganan dengan inhalasi hypertonic saline, fisioterapi pernapasan, dan antibiotik. Pneumothorax melibatkan 10% paru-paru pasien CF, namun chest tube dibutuhkan untuk melebarkan paru sakit yang kolaps. Hemoptysis ringan membutuhkan penanganan infeksi paru-paru dan penilaian staus koagulasi dan vitamin K. Pada hemoptyisis massif, embolisasi arteri bronchial sebaiknya dikerjakan. Komplikasi paling buruk dari CF adalah kegagalan pernapasan dan cor pulmonale. Terapi konvensional yang paling efektif adalah dengan pemberian obat secara tepat untuk menangani penyakit paru dan suplementasi O2. Pada akhirnya satu-satunya terapi efektif untuk kegagalan respiratorik pada CF adalah dengan transplantasi paru. Harapan hidup 2 tahun pada transplantasi paru mencapai 60% dan kematian pasien transplan secara prinsipil bukan akibat rejeksi graft, namun termasuk bronchioloitis yang berat. Paru-paru yang ditransplantasi tidak menyebabkan fenotipe CF-spesifik.

Penyakit Saluran Cerna

Menjaga nutrisi adekuat sangat penting untuk kesehatan pasien dengan CF. Kebanyakan (>90%) pasien CF membutuhkan penggantian enzim pancreas. Kapsul ini biasanya mengandung 4000 dan 20.000 unit lipase. Dosis enzim (biasanya tidak lebih dari 2500 unit/kg setiap makan, untuk mencegah colonopathy fibrotik) sebaiknya diatur berdasarkan berat badan, gejala abdominal, dan feses. Penggantian dari vitamin larut lemak, terutama vitamin E dan K, biasanya dibutuhkan. Hyperglycemia kebanyakan terjadi pada pasien dewasa dan biasanya membutuhkan terapi insulin

Untuk penanganan syndrome obstruksi usus distal, megalodiatrizoate atau material radiokontras hypertonic diberikan dengan cara enema hingga terminal ileum dijangkau. Untuk mengendalikan gejalanya, pengaturan dari enzim dan pemakaian larutan garam yang mengandung agen yang aktif secara osmosis, misal propyleneglycol, direkomendasikan. Gejala persisten dapat mengindikasikan diagnosis keganasan gastrointestinal, dimana insidennya meningkat pada pasien dengan CF.

Penyakit hati cholestatik terjadi pada 8% pasien CF. Pengobatan dengan urodeoxycholic acid biasanya diberikan pertama kali jika terdapat peningkatan alkaline phosphatase dan gammaglutamyl transpeptidasi (GGT) (3 kali dari normal), namun penanganan ini tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan penyakit hati. Penyakit hati tahap akhir terjadi pada 5% pasien CF dan hanya dapat diatasi dengan transplantasi.

Komplikasi organ lainnya

Dehidrasi akibat kehilangan garam dipicu panas melalui kelenjar keringat terjadi secara cepat pada pasien CF. Pasien CF juga meiliki peningkatan insiden terhadap osteoarthropy, batu ginjal, dan osteoporosis, terutama setelah transplantasi.

Faktor Psikososial

CF memberikan beban yang berat kepada pasien dan depresi umum terjadi. Penjaminan kesehatan, karir, perencanaan keluarga, dan harapan hidup merupakan masalah utama. Sehingga, membantu pasien dengan terapi psychosocial sangat dibutuhkan pada pasien CF.

Tidak ada komentar: