Senin, 09 Juni 2008

TETANUS

TETANUS


(Terjemahan dari "Tetanus" oleh Catherine Willfret dan Peter Hotez dari Textbook : Krugman's Infectious Diseases of Children 11th edition (September 18, 2003))
Penerjemah : Husnul Mubarak, S.Ked

PENDAHULUAN

Clostridium tetani menghasilkan larutan exotoxin kuat yang berperan terhadap munculnya manifestasi klinis pada tetanus. Tetanus atau “lockjaw” merupakansuatu toxemia akut yang ditandai dengan adanya spasme tonik dari otot volunteer dan memiliki angka kematian yang tinggi. Infeksi C. tetani biasanya bermula pada suatu luka pada kulit, dimana dapat tidak disadari atau dianggap, namun infeksi dapat terjadi pada luka bakar, infeksi persalinan, dan infeksi pada tali pusar (tetanus neonatorum) dan dapat terjadi setelah beberapa operasi bedah, dimana sumber infeksi berupa plaster, catgut (benang jahit), perban yang tidak steril. Penyakit ini bermula dengan spasme tonik pada otot lurik dan diikuti dengan kontraksi paroxysmal. Kekakuan otot terjadi pada rahang dan leher pertama kali dan kemudian akan terjadi pada seluruh tubuh. Di Amerika Serikat, kurang dari 60 kasus telah dilaporkan setiap tahunnya selama 5 tahun terakhir. Namun, pada negara berkembang, tetanus merupakan penyebab utama kematian pada anak. The World Health Organization memperkirakan bahwa pada tahun 1999, terdapat setidaknya 377.000 kematian akibat tetanus, kebanyakan terjadi pada masa neonatus (Neonatal tetanus[NT]). NT merupakan salah satu dari pembunuh bayi paling utama di dunia. Lebih dari setengah kematian bayi diakibatkan oleh NT di Asia Selatan.

EPIDEMIOLOGI

Tetanus tersebur di seluruh dunia. Kasus tetanus yang dilaporkan di Amerika Serikat Tetanus is worldwide in distribution. Spora secara luas tersebar pada tanah dan feses hewan. Tetanus spora atau toxin dapat mengkontaminasi berbagai produk biologis dan peralatan operasi, seperti vaksin, serum dan catgut. Seseorang yang tidak diimunisasi, berapapun umur atau apapun jenis kelaminnya, memiliki probabilitas yang sama untuk terinfeksi. Walaupun C.tetani tersebar dimana-mana, tetanus termasuk penyakit yang jarang terjadi, namun NT masih merupakan masalah serius pada negara-negara berkembang, dimana tetanus menjadi penyabab dari 8% hingga 69% dari mortalitas neonatus. Asia selatan dan Afrika sub-Sahara yang paling dominant. Di India, NT, merupakan penyebab kedua terbanyak mortalitas neonatus dibawah septisemia. Lebih dari 300.000 bayi meninggal tiap tahunnya akibat NT. Survey berbasis komunitas telah mengidentifikasi faktor resiko terjadinya NT, termasuk tidak diberikannya imunisasi tetanus toxoid pada kehamilan, persalinan dirumah, pemotongan tali pusar yang tidak higienis, perban yang tidak steril yang diberikan pada tali pusar, dan riwayat NT pada persalinan sebelumnya. Penyakit ini dapat dicegah terjadi pada neonatus dengan memberikan imunisasi kepada wanita baik sebelum atau selama kehamilan dan meningkatkan frekuensi pertolongan persalinan oleh ahli medis berkompeten. Faktanya, dengan peralatan modern, teknik asepsis, dan imunisasi aktif, tetanus tetap merupakan penyakit yang tidak dapat dieliminasi. WHO pada tahun 1992, memperkirakan imunisasi dan persalinan steril akan mencegah 686.000 kematian neonatus akibat tetanus ( Galazka and Gasse, 1995 ). Banyak usaha telah dilakukan melalui Program Imunisasi Berkelanjutan.

ETIOLOGI - PATOGENESIS

Basil tetanus berupa batang panjang, tipis (2 to 5 µm × 3 to 8 µm), motil, gram-positif, dan anaerob. Dahulunya, kultur dari organisme ini dan apusan luka ini seringkali memperlihatkan mikroba gram negatif akibatnya akan membingungkan orang yang tidak ahli. Organisme ini dapat membentuk spora terminal yang tidak mengambil pewarnaan gram sehingga memperlihatkan bentuk “stik drum”. Spora ini sangat tahan terhadap panas dan antiseptic biasa, dan mereka dapat bertahan pada jaringan selama beberapa bulan sebagai organisme yang hidup, walaupun dorman. Pada keadaan anaerobik, organisme ini secara mudah diisolasi pada blood agar atau pada kari daging. Organisme ini tidak mengfermentasi karbohidrat, tidak biasa mencairkan gelatin, dan menghasilkan sedikit perubahan pada susu basa.

Basil ini secara luas tersebar di tanah, debu jalanan, dan kotoran kuda, domba, sapi, kucing, tikus, anoa, dan ayam. Sehingga, tanah yang mengandung kotoran hewan dapat sangat infeksius. Pada area agricultural, banyak orang dewasa normal yang telah terkena organisme ini, dan pekerja agricultural memiliki insiden tinggi terhadap infeksi. Spora ini juga telah ditemukan pada heroin yang terkontaminasi.

Basil tetanus menghasilkan neurotoxin kuat yang merupakan salah satu dari zat toxin terkuat dari zat yang telah diemukan. Dosis lethal (neurotoxin yang telah dimurnikan) pada tikus yaitu antara 0,1 hingga 1ng/kg ( Schiavo et al., 1995 ). Neurotoksin tetanus memiliki potensi tersebut dengan spesifitas absolute yang kuat untuk sel neuron dan menargetkan aktivitas katalisis intraseluler. Ini mirip dengan neurotoxin clostridium yang lain dimana molekul ini disitesis sebagai rantai polipeptida inaktif 150kDa tanpa sekuensi utama: Pelepasan toxin neurotoxin terjadi sebagai konsekuensi dari terurainya bakteri di dalam host. Paparan dan perbedaan dari lintasan sensitif protease didalam molekul menciptakan heterodimer aktif terdiri dari 100 kDa rantai berat dan 50-kDa rantai ringan yang digabungkan oleh ikatan disulfide. Bukti terbaru mengatakan bahwa rantai ringan sebagai katalis sama aktifnya dengan zinc metalloprotease. Setelah masuk ke dalam target sel host, metalloprotease menguraikan komponen protein tertentu dari sistem neurotocytosis. Substrat protease utama adalah protein membrane pada vesikel sinapsis, termasuk synaptobrevin (VAMP),SNAP-25, dan syntaxin.

Port of entry biasanya pada lokasi luka tusuk atau goresan, dan C.tetani dapat berpoliferasi hanya jika potensi oxidase-reduksi lebih rendah daripada jaringan normal. Luka tusuk dalam, luka bakar, luka tabrak, dan luka lain yang mendukung kondisi untuk pertumbuhan dari organisme anaerob dapat diikuti dengan tetanus. Biasanya tidak ada portal masuk yang terlihat ditemukan. Dalam keadaan ini, lokasi infeksi mungkin saja bersumber dari saluran cerna.

Ketika keadaan mendukung, basil bermultiplikasi pada lokasi tempat inokulasi primer dan menghasilkan toxin. Toxin kemudian menjelajah secara sentripetal di dalam axoplasma dari serat alpha motorik dan berakumulasi pada neuron motorik pada endoplasma reticulum membrane. Pada tahun 1902, Marie dan Morax mengemukakan rute akses toxin menuju sistem saraf pusat ini, seperti yang dilakukan Meyer dan Ransome pada tahun 1903. Terbukti secara eksperimental bahwa toxin tidak mematikan jika neuron motorik lokal sudah rusak. Toxin dapat dinetralisir jika bebas dan hanya sedikit yang dinetralkan jika toxin ini berada pada permukaan sel. Pinositosis, mengatur toxin, dan mengubahnya menjadi tidak dapat dinetralisir. Sehingga, fiksasi toxin terhadap neuron dan akibat internalisasi menghasilkan efek irreversibel. Pemotongan membrane protein sel neuron host oleh neurotoxin yang aktif mengkatalisis mengakibatkan pada blockade neuroexositosis yang persisten dan berkesinambungan. Blokade ini mengakibatkan adanya penyebaran impuls yang tidak terkendali, hyperreflexia, dan kontraksi otot konstan. Otot yang terkuat, biasanya ekstensor, mengalami efek yang paling besar. Toxin juga memberikan pengaruh terhadap sistem saraf simpatis

PATOLOGI

Tidak ada gambaran lesi patologis yang spesifik yang disebabkan oleh C.tetani ataupun toxin. Efek sekunder dari kontraksi otot dapat termasuk fraktur vertebral, pneumonia, dan perdarahan otot.

MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi beragam, biasanya 5 sampai 14 hari; namun, dapat juga terjadi dalam satu hari atau paling lama sampai 3 minggu keatas. Lokasi sumber infeksi, jika terlihat jelas, tidak memberikan petunjuk berlangsungnya toxemia. Penyakit ini bermula secara berangsur-angsur, dengan peningkatan kekakuan otot volunteer secara progresif; biasanya, otot rahang dan leher yang terkena pertama kai. Dalam 24 sampai 48 jam setelah onset penyakit, rigiditas dapat berkembang sempurna dan menyebar cepat sampai batang tubuh dan ekstremitas. Diikuti dengan spasme otot rahang dan trismus (lockjaw). Mengkerutnya dahi dan melekuknya alis, dan sudut dari mulut memberikan penampakan wajah yang aneh yang biasa disebut risus sardonicus. Leher dan punggung menjadi kaku dan melengkung (opistotonus). Dinding perut menjadi seperti papan dan ekstremitas biasanya kaku dan ekstensi.

Spasme paroxysmal nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit mungkin diprovokasi oleh stimulus ringan pada penglihatan, pendengaran, atau sentuhan, seperti cahaya lampu, keributan tiba-tiba, dan pergerakan pasien. Risus sardonicus dan opistotonus yang paling terlihat selama spasme ini berlangsung. Mulanya spasme terjadi pada interval yang jarang, disertai relaksasi sempurna diantara serangan. Kemudian spasme terjadi lebih sering, lebih panjang, dan lebih sakit. Keterlibatan otot pernapasan, terjadinya obstruksi laring akibat spasme laring, atau akumulasi sekresi pada daerah tracheobronchial dapat menyebabkan terjadinya distress pernapasan, asphyxia, koma, dan kematian. Dapat pula terjadi retensi urin akibat terlibatnya sphincter pada kandung kemih.

Manifestasi klinis dari keterlibatan sistem saraf simpatis dapat berupa hipertensi labil, takikardia, vasokonstriksi perifer, aritmia, keringatan berlebih, hypercapnia, eksresi katekolamin berlebih, dan late-hypotension.

Selama penyakit ini berlansung, fungsi indra pasien biasanya baik. Demam biasanya rendah bahkan tidak ada. Pasien yang sembuh biasanya yang afebris. Setelah beberapa minggu, spasme paroxism berkurang keparahan dan kekerapannya sampai secara perlahan menghilang. Pada umumnya, trismus merupakan gejala terakhir yang bertahan. Pasien dengan penyakit yang fatal biasanya demam, disertai dengan kematian pada kebanyakan kasus sebelum penyakit memasuki hari kesepuluh.

Cairan spinal pasien dengan tetanus normal. Sel darah putih perifer juga dapat normal atau sedikit meningkat. Kebanyakan pasien dengan tetanus memperlihatkan manifestasi menyeluruh (generalized tetanus) seperti dijelaskan diatas. Namun pada umumnya, generalized tetanus dapat terjadi setelah cephalic tetanus.. Pada kasus ini, masa inkubasi hanya 1 hingga 2 hari; disebabkan oleh adanya cedera kepala atau otitis media dan pasien memiliki prognosis yang buruk (Bagratuni, 1952). Bentuk tetanus ini ditandai dengan keterlibatan dari beragam nervus kranialis, terutama N.VII, N.IV, N.IX, N.X, dan N.XII dapat terkena juga. Tetanus cephalic dapat terjadi tanpa diikuti generalized tetanus.

Neonatal Tetanus

Onset dari NT biasanya bermula jika bayi berumur 3 hingga 10 hari (5.6 ± 2.8 hari pada penelitian terbaru terhadap 73 kasus NT di Turki [ Yaramis and Tas, 2000 ]) dan mempunyai manifestasi klinis seperti kesulitan mengisap dan menangis yang berlebih. Berikutnya, rahang menjadi sangat kaku bagi bayi untuk mengisap dan menelan menjadi lebih sulit. Tidak lama kemudian, kekakuan pada tubuh terjadi, dan spasme intermitten terjadi. Beragam derajat trismus; kontraksi otot yang tegang, tonik, dan berkelanjutan; dan spasme atau kejang terjadi. Spasme terjadi secara spontan atau sebagai respon dari stimulus dengan frekuensi yang beragam. Aktivitas reflex deep-tendon mungkin meningkat atau tidak memberikan respon kepada pemeriksaan akibat kekakuan menyeluruh. Opistotonus mungkin tidak terjadi atau dapat juga sangat berat sampai menyebabkan kepala hampir menyentuh tumit. Tangisan juga dapat bermacam-macam mulai dari tangisan pendek, berulang, dan ringan hingga usaha bayi untuk menangis namun suara tidak keluar. Warna tubuh pasien dapat normal, sianotik, dan pucat akibat hypoxia dan shock yang sedang berlangsung. Spasme berat dapat diikuti dengan lemah lunglai, anoxia, dan kelelehan.

DIAGNOSIS

Berkembangnya trismus, risus sardonicus, rigiditas tonik menyeluruh, dan spasme pada pasien dengan sensorik yang baik, dan dengan riwayat trauma baru sangat mengarahkan diagnosis kepada tetanus. Penemuan C.tetani dari luka mengkonfirmasi diagnosis, namun, pada kebanyakan kasus, organisme ini tidak dapat dideteksi.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

Efek samping Phenothiazines

Beberapa gejala extrapyramidal sindrom yang dapat disebabkan oleh pemakaian obat phenothiazine adalah reaksi dystonik, facial grimacing (menyeringai), torticollis, dan rigiditas otot. Gejala ini hilang setelah obat dihentikan.

Tetany

Pada pasien dengan tetany, trismus biasanya tidak ditemukan, namun spasme carpopedal dan laryng dapat dialami.Kandungan kalsium darah yang rendah mengkonfirmasi diagnosis.

Peritonsillar Abses

Peritonsillar abscess, penyakit dengan demam disertai nyeri, biasanya diikuti dengan trismus. Namun, tidak ada spasme otot menyeluruh

Encephalitis

Pasien dengan encephalitis virus atau bakteri jarang mengalami tismus, tidak memiliki kesadaran yang baik, dan biasanya memiliki cairan spinal yang abnormal.

Rabies

Kejang tonik berkelanjutan tidak nampak pada pasien dengan rabies; kejangnya biasa intermitten dan klonik. Trismus jarang ditemukan.

KOMPLIKASI

Terganggunya ventilasi pulmoner akibat laryngospasm, spasme otot napas, atau akumulasi sekresi yang dapat diikuti oleh pneumonia hingga atelektasis. Fraktur kompresi vertebral dan laserasi pada lidah dapat terjadi setelah kejang berlangsung.

PROGNOSIS

Tetasnus tetap menjadi penyakit yang serius. Penurunan insiden dan angka mortalitas tetanus selama 2 dekade terakhir berjalan parallel, mengakibatkan perubahan kecil pada angka kasus fatal. Pada pasien yang dapat selamat, penyembuhan dapat sempurna – tanpa sequele jika terapi suportif pada ventilasi diberikan. Prognosis secara signifikan dipengaruhi oleh faktor-faktor dibawah ini :

Umur

Angka mortalitas tertinggi ditemukan pada pasien di ujung kehidupan (awal atau akhir). Pada neonatus kasus fatal terjadi pada 66% kasus tetanus pada kelompok umur tersebut dan untuk pasien dengan umur 50 tahun ke atas sekitar 70%. Kontrasnya, untuk pasien umur 10-19 tahun, angka kasus yang fatal hanya 10% hingga 20%.
Masa Inkubasi

Median masa inkubasi yang fatal dan tidak fatal pada kasus tetanus dengan luka yang diketahui adalah secara berurutan 6.2 dan 7.6 hari, pada tahun 1968 dan 1969. Christie (1969) percaya bahwa panduan yang lebih terpercaya untuk menentukan prognosis adalah lama durasi masa onset, yang didefinisikan sebagai interval waktu antara terjadinya trismus pertama (yang diketahui) dan kejang menyeluruh. Jika periode ini lebih pendek dari 48 jam, serangan mungkin lebih parah; jika intervalnya lebih lama, penyakit ini akan menjadi lebih ringan. Namun, kejadian tetanus tidak dapat diprediksi sampai derajat keparahan dan frekuensi kejang telah jelas. Kesalahan biasanya terjadi pada hari pertama dan kedua. Mortalitas pada NT juga tinggi jika masa inkubasi kurang dari 4 hari.

Demam

Pada kasus tetanus ringan dan sedang, demam biasanya tidak ditemukan. Pasien dengan batang otak yang terinfeksi, demam atau hiperpireksia sering ditemukan. Pasien afebril mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk sembuh. Hal ini juga berlaku untuk NT. Pada pasien dengan tetanus lokal gejalanya hanya terbatas pada daerah luka, dan biasanya prognosisnya baik. Tetanus menyeluruh, sebaliknya, memberikan outcome yang buruk. Tetanus akibat cedera tusuk memiliki mortalitas yang lebih tinggi daripada yang disebabkan luka lecet. Mortalitas lebih rendah pada tetanus otogenic (akibat infeksi telinga). Manifestasi tetanus yang berkorelasi secara signifikan terhadap prognosis yang buruk adalah kejang dan spasme (Patel and Mehta, 1999 ).

Terapi Antitoxin

Pada umumnya, terapi antitoxin tidak begitu bermakna mempengaruhi prognosis. Toxin biasanya telah stabil dan tidak dapat dinetralisir lagi. Namun, antitoxin dapat memodifikasi penyakit ini jika diberikan pada masa inkubasi atau lebih dini pada perjalanan penyakit ini.

IMMUNITAS

Diperkirakan bahwa 0.01 U antibody terhadap C.tetani toxin pada serum, memberikan proteksi kepada manusia. Antibodi IgG maternal, jika ditemukan, ditransfer melalui plasenta. Imunitas pasif didapat ini berlangsung tidak lama, karena globulin maternal dimetabolisme kembali oleh janin. Pemberian tetanus toxoid pada bayi, anak, dan orang dewasa merangsang produksi antibody yang memberikan perlindungan terhadap efek buruk toxin. Kada protektif ini dapat dijaga dengan pemberian injeksi booster secara teratur. Pasien lansia yang belum menerima booster dapat beresiko tinggi terkena tetanus. Pasien yang sembuh dari tetanus sebaiknya diimunisasi secara aktif karena toxin yang sangat kuat dapat tidak merangsang respon antibody pada pasien..

PENATALAKSANAAN

Mengendalikan spasme otot

Pasien sebaiknya ditempatkan pada ruangan yang sunyi dan gelap dimana semua stimuli pendengaran, visual, taktil, dan yang lainnya dikurangi seminimal mungkin. Prioritas utama dalam penanganan spasme muskuler ini sebaiknya dengan pemberian obat yang tepat untuk mengurangi tingkat keparahan dari spasme.

Diazepam merupakan obat yang berharga karena efeknya yang mengendalikan spasme dan hipertonik tanpa menekan pusat kortikal. Dosis rekomendasi untuk bayi dibawah umur 2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan dengan dosis 2 hingga 3 setiap 3 jam. Dengan cara lain, yaitu dimulai dengan dosis awal 0,1 sampai 0,2 mg/kg, secara intravena, diberikan untuk mengatasi spasme akut, diikuti dengan infuse IV 15 – 40 mg/kgBB/hari (Gerdes, 1995). Setelah 5 sampai 7 hari dosis dapat ditappering dengan dosis 5-10 mg/hari dan kemudian diberikan melalui oral. Vecuronium dengan ventilasi mekanis dapat dibutuhkan untuk mengendalikan spasme (Singhi et al.,2001). Phenobarbital dan morphine dapat juga digunakan sebagai terapi adjuvant, dengan pemahaman bahwa zat ini hanya diberikan pada keadaan intensive dan terkendali karena resiko apneu.

Therapy Antitoxin

Setelah sedasi adekuat telah tercapai, human tetanus immune globulin (TIG) sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal (3,000 to 6,000 U, intramuscularly). Dosis lebih rendah dari 500 U lebih cocok untuk NT. Walaupun belum diakui oleh the Food and Drug Administration (FDA), intravenous immune globulin (IVIG) mengandung antibody terhadap tetanus dan dapat dipertimbangkan jika TIG tidak tersedia. Dosis standar IVIG untuk indikasi yang lain adalah 400 – 500 mg/kg (Gerdes, 1995). Pada beberapa negara dimana human immune globulin tidak tersedia, equine TAT sebaiknya dberikan jika reaksi alergi kepada serum kuda terbukti negative. Antitoxin diberikan secara intravena dan intramuskuler, setengah dosis diberikan pada tiap-tiap rute. Untuk neonatus, mungkin penting, untuk menunda imunisasi aktif tetanus toxoid hingga 4 – 6 minggu setelah pemberian TIG.

Therapy Antimicrobial

Metronidazol oral ataupun intravena Oral (30 mg/kg per hari, diberikan dalam interval 6 jam) efektif untuk mengurangi angkat bentuk vegetatif C. tetani. Penicillin G Parenteral merupakan obat lain yang dapat dipilih.

Operasi Bedah

Setelah pasien telah tenang dan telah diberikan terapi antitoxin, semua luka sebaiknya dibersihkan dan disterilkan melalui debridement. Eksisi bedah ekstensif biasanya tidak direkomendasikan.

Terapi Suportif

Perawatan medis yang baik harus meminimalisir stimulus yang dapat mempresipitasi konvulsi. Prosedur medis seperti kateterisasi atau pemasangan selang orogatrik sebaiknya dikerjakan pada saat obat penenang mencapai efek maksimalnya. Prosedur ini sebaiknya dilakukan saat perjalanan penyakit masih dini. Sebagai tambahan, perawatan sebaiknya mengantisipasi dan mencegah komplikasi seperti pneumonia aspirasi, obstruksi usus besar akibat impaksi feses, retensi urin, dan ulkus dekubitus. Penenang yang adekuat dapat mencegah terjadinya fraktur kompresi. Bantuan respirasi sangat esensial, dan intubasi atau tracheostomy dengan ventilator bila perlu dapat disediakan. Perawatan intensif dengan kualitas yang tinggi pada minggu pertama (mis, intubasi dini, ventilasi mekanik, dan blockade neuromuskuler [pancuroniom atau yang ekuivalen]) merupakan komponen esensial untuk penanganan nenonatus dengan tetanus.

Tracheostomy

Kombinasi dari penenang yang beratm kesulitan menelan, laryngospasm, dan akumulasi sekresi dapat menimbulkan obstruksi jalan napas. Angka mortalitas yang relative rendah yaitu 10% dari kasus dilaporkan oleh Edmondson dan Flowers (1979) , dimana mereka telah menyembujkan 100 pasien dengan tetanus pada ICU. Intubasi dapat menjadi penyelamat nyawa.

TINDAKAN PENCEGAHAN

Immunisasi aktif

Karena kebanyakan kasus tetanus terjadi akibat lecet ringan atau laserasi yang dapat dilupakan, pengendalian penyakit terbaik dicapai dengan immunisasi aktif tetanus toxoid sebelum paparan. Semua bayi sebaiknya diimunisasi secara rutin dengan tetanus toxoid yang diberikan bersama vaksin diphtheria toxoid dan pertussis. Pemberian serial dasar tiga antigen ini sebaiknya mengandung 5 dosis vaksin yang mengandung tetanus dan diphtheria toxoid. 3 dosis pertama diberikan sebagai DTaP diberikan dengan interval 2 minggu dimulai pada sekitar umur 2 bulan. Dosis keempat direkomendasikan 6-12 bulan setelah dosis ketiga, biasanya pada umur 15 hingga 18 bulan. Dosis tambahan DTaP penting diberikan sebelum masuk sekolah, biasanya pada umur 4 – 6 tahun, kecuali jika dosis keempat diberikan tepat pada umur 4 tahun. DTaP dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya. Untuk rekomendasi spesifik mengenai anak yang melewatkan satu atau lebih vaksinasi atau mereka yang memulai vaksinasi lebih lambat dari jadwal yang umumnya, pembaca dianjurkan untuk membaca Report of the Committee on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatrics (Red Book, 2003). Bayi yang selamat dari NT tetap membutuhkan immunisasi aktif terhadap tetanus.

Setelah serial imunisasi lengkap, dosis booster tetanus toxoid sebaiknya diberikan kembali pada umur 11 hingga 12 tahun dan tidak lambat dari umur 16 tahun, dan setiap 10 tahun setelahnya. Jika lebih dari 5 tahun telah lewat sejak dosis terakhir, booster TT sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan pada seseorang yang bepergian pada tempat yang beresiko atau petualangan liar dimana tetanus booster mungkin tidak tersedia.

WHO telah mengadopsi misi untuk mengeliminasi NT secara global di negara-negara berkembang melalui strategi pemberian paling tidak 2 kali dosis vaksin TT pada wanita dalam persalinan di daerah beresiko tinggi. Umumnya, dosis TT kedua sebaiknya diberikan paling tidak 4 minggu setelah pemberian dosis pertama, dan dosis kedua sebaiknya diberikan paling tidak 2 minggu sebelum persalinan. Strategi ini mengandalkan rangsangan antibody maternal yang secara passive akan diberikan kepada neonatus setelah lahir dan melindunginya. Namun sayangnya, kebanyakan dari vaksin yang diproduksi di negara berkembang memiliki potensi inadekuat; kurang dari setengah negara-negara tersebut yang memiliki badan pengawasan produksi dan kualitas vaksin ( Dietz et al., 1996). Pada kejadian terjadinya cedera, pemberian dosis booster dari tetanus toxoid diindikasikan; kadar antitoxin yang memberikan perlindungan biasanya dicapai dalam 1 minggu. Sering juga dilakukan penggunaan booster tanpa TT pada anak umur 7 tahun atau lebih tua, sehingga kadar adekuat untuk imunitas diphtheria juga dapat terjaga. Anak yang lebih muda dari 7 tahun sebaiknya diberikan DTaP. Dosis booster dapat memicu respon adekuat setelah 10 tahun injeksi terakhir. Pada luka yang berat, tabrakan, atau terkontaminasi, human TIG (250 U) sebaiknya diberikan secara intramuskuler ditambah dengan TT. Prosedur ini dapat mencegah masa inkubasi yang berpotensial pendek. Pasien yang telah sembuh dari tetanus dapat tidak immune; sehingga mereka juga secara aktif diberikan imunisasi tetanus toxoid. Penelitian terkini mengatakan terdapat resiko minimal terpicunya sindrom Guillain-Barre setelah pemberian tetanus toxoid (Tuttle et al., 1997 ).

Immunisasi Pasif

Seseorang yang belum diimunisasi secara aktif sebaiknya diberikan perlindungan dengan human TIg pada saat cedera. Jika TIG dibutuhkan sebagai profilaksis, TIG diberikan secara intramuskuler (250 U_. Dosis profilaksis berbeda dengan dosis pengobatan.

Perawatan luka

Sebuah luka sebaiknya dibersihkan secara keseluruhan, benda asing, dan jaringan nekrotik sebaiknya dibuang, dan area tersebut didebridement jia perlu. Luka yang mengandung jaringan yang terpisah, dan yang disebabkan oleh tabrakan keras, dan trauma avulse, luka bakar, sangat tinggi kecenderungan kontaminasi C.tetani.

Tidak ada komentar: