Kamis, 12 Juni 2008

Erectile Dysfunction

DISFUNGSI EREKSI

(Original Article “Erectile Dysfunction” from Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th ed. Translated by Husnul Mubarak,S.Ked)

EPIDEMIOLOGI

Disfungsi Ereksi (DE) tidak dianggap sebagai bagian normal dari penuaan. Namun, ini berkaitan dengan perubahan fisiologis dan psikologis berkaitan dengan umur. Pada survey komunitas yang diadakan oleh Massachusetts Male Aging Study (MMAS) pada laki-laki dengan rentang umur 40 – 70 tahun, 52% responder dilaporkan memiliki beberapa derajat DE. DE sempurna terjadi pada 10% responder. DE moderat terjadi pada 25% dan DE minimal pada 17% responder. Insiden DE moderat dan berat meningkat dua kali lipat pada umur 40 dan 70. Pada National Health and Social Life Survey (NHSLS), dimana menjadi sampel nasional mewakili populasi pria umur 18-59 tahun, 10% pria dilaporkan tidak dapat menjaga ereksi (serupa dengan proporsi pria dengan DE sempurna pada survey MMAS). Insiden tertinggi adalah pria dengan umur 50-59 tahun (21%) dan pria miskin (14%), perceraian (14%) dan kurang pendidikan (13%)...

Insiden terjadinya DE juga meningkat pada pria dengan keadaan medis tertentu seperti DM, obesitas, gejala saluran kemih bagian bawah akibat benign prostatic hyperplasia (BPH), penyakit jantung, hypertensi, dan penurunan kadar HDL. Merokok merupakan faktor resiko bermakna untuk perkembangan DE. Pengobatan untuk DM dan penyakit jantung merupakan faktor resiko penambah. Terdapat peningkatan resiko DE pada pria yang telah menjalani radiasi atau operasi kanker prostate dan pada mereka dengan cedera medulla spinalis bagian bawah. Penyebab psikologis DE adalah depresi, kemarahan, atau stress akibat kehilangan pekerjaan atau penyebab lainnya.

PATOFISIOLOGI

DE dapat disebabkan dari tiga mekanisme dasar ini: (1) kegagalan menginisiasi (psikogenik, endokrinologik, atau neurogenic); (2) kegagalan pengisian (arteriogenik); atau (3) kegagalan untuk menyimpan volume darah yang adekuat didalam jaringan lacunar (disfungsi venooklusif). Kategori ini dapat terjadi secara bersamaan. Sebagai contoh, mengurangnya tekanan pengisian (filling pressure) dapat menyebabkan adanya kerusakan venous. Faktor psikogenik seringkali terjadi bersama dengan faktor etiologi lainnya. Diabetes, atherosclerosis, dan penyebab akibat obat terhitung pada 80% kasus DE pada pria dewasa.

Vaskulogenik

Penyebab organic paling sering untuk DE adalah gangguan aliran darah ked an dari penis. Atherosclerosis atau penyakit arterial traumatic dapat menurunkan aliran ke ruang lacunar, menyebabkan menurunnya rigiditas dan memanjangnya waktu untuk ereksi penuh. Aliran yang berlebihan pada vena, walaupun adekuat jumlahnya, dapat menyebabkan DE. Perubahan structural pada komponen fibroelastik pada corpora dapat menyebabkan berkurangnya komplians dan ketidakmampuan untuk menyempitkan vena pada.

Neurogenic

Gangguan yang mengenai medulla spinalis bagian sacral atau jaras saraf otonom menuju penis dapat mencegah terjadinya aktivitas sistem relaksasi saraf pada otot halus penis, sehingga hal ini mengakibatkan DE. Pada pasien dengan cedera medulla spinalis, derajat dari DE bergantung pada tingkat kerusakan dan lokasi lesi. Pasien dengan lesi parsial atau cedera pada bagian atas dari medulla spinalis cenderung masih memiliki kemampuan ereksi dibandingkan seseorang yang memiliki lesi sempurna atau terdapat pada bagian bawah medulla spinalis. Walaupun sekitar 75% pasien dengan cedera medulla spinalis memiliki kemampuan untuk ereksi, hanya 25% dari jumlah tersebut yang memiliki ereksi yang cukup untuk penetrasi. Gangguan neurologist lainnya yang umumnya berkaitan dengan DE termasuk multiple sclerosis atau neuropati perifer. Yang terakhir disebabkan oleh diabetes atau alkoholisme. Operasi pelvis juga dapat menyebabkan DE akibat terganggunya suplai saraf otonom.

Endokrinologik

Androgen meningkatkan libido, namun peran pastinya terhadap fungsi ereksi masih tetap belum jelas. Seseorang dengan kadar testosterone yang rendah dapat mencapai ereksi dari stimulus visual atau seksual. Namun, kadar testosteron normal sepertinya penting untuk fungsi ereksi, terutama pada pria tua. Terapi alih androgen dapat memperbaiki fungsi ereksi yang menurun jika diakibatkan hypogonadism; namun, terapi ini tidak bermanfaat pada DE jika kadar testosterone masih normal. Peningkatan hormon prolactin dapat menurunkan libido dengan menekan hormone gonadotropin-releasing hormone (GnRH), dan juga dapat menurunkan kadar testosterone. Terapi untuk hiperprolaktinemia dapat menggunakan agonis dopamine yang dapat mengembalikan libido dan testosterone.

Diabetes

DE terjadi pada 35-75% pria dengan diabetes mellitus. Mekanisme patologis utamanya berkaitan dengan komplikasi vaskuler dan neurologik DM. Komplikasi makrovaskuler diabetes biasanya berkaitan dengan umur, dimana komplikasi mikrovaskuler berhubungan dengan durasi lamanya diabetes dan derajat pengendalian glikemia. Seseorang dengan diabetes juga memiliki penuruna nitric oxide synthase pada jaringan endotel dan neural.

Psikogenik

Dua mekanisme yang berkontribusi terhadap inhibisi ereksi pada DE psikogenik. Pertama, stimulus psikogenik pada sacral medulla spinalis dapat menghambat respon reflexogenik, akibatnya menghambat aktivasi aliran vasodilator menuju penis. Kedua, stimulasi simpatis berlebihan pada pria cemas dapat meningkatkan tonus otot halus penis. Penyebab paling umum dari DE psikogenik adalah kecemasan, depresi, konflik suatu hubungan, kehilangan rasa memikat, hambatan seksual, konflik dengan partner sex, pelecehan sexual pada masa kecil, dan ketakutan akan penyakit menular sexual. Kebanyakan pasien dengan DE yang sudah jelas memiliki dasar penyebab organic, dapat terkena efek psikologis sebagai reaksi terhadap DE, sehingga memberikan beban ganda.

Akibat Pengobatan

DE yang disebabkan oleh obat diperkirakan terjadi pada 25% pria yang ditemukan pada klinik rawat jalan. Diantara agen antihipertensi, diureik thiazida dan beta blocker yang paling sering menjadi penyebab. Calcium channel blocker dan ACE inhibitor lebih jarang dilaporkan. Obat-obat ini dapat bekerja secara langsung pada tingkat corporal (mis. Ca channel blocker) atau secara tidak langsung dengan menurunkan tekanan darah pada pelvis, dimana penting untuk mempertahankan kontraksi penis. Adrenergik blocker jarang menjadi penyebab DE. Estrogen, agonis GnRH, H2 antagonis, dan spironolactone menyebabkan ED dengan menekan produksi gonadotropin atau dengan menghambat kerja androgen. Agen antidepresi dan antipsikosis – terutama neuroleptik, tricyclic, dan SSRI – berhubungan dengan kesulitan dalam ereksi, ejakulasi, orgasme, atau kepuasan seksual lainnya.

Daftar obat yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi

Classification

Drugs

Diuretics

Thiazides, Spironolactone

Antihypertensives

Calcium channel blockers, Methyldopa
Clonidine, Reserpine, Beta-Blockers
Guanethidine

Cardiac/anti-hyperlipidemics

Digoxin, Gemfibrozil, Clofibrate

Antidepressants

Selective serotonin reuptake inhibitors
Tricyclic antidepressants, Lithium
Monoamine oxidase inhibitors

Tranquilizers

Butyrophenones, Phenothiazines

H2 antagonists

Ranitidine, Cimetidine

Hormones

Progesterone, Estrogens, Corticosteroids
GnRH agonists, 5-Reductase inhibitors
Cyproterone acetate

Cytotoxic agents

Cyclophosphamide, Methotrexate
Roferon-A

Anticholinergics

Disopyramide, Anticonvulsants

Recreational

Ethanol, Cocaine,Marijuana

Walaupun banyak pengobatan yang menyebabkan DE, pasien sering memiliki faktor resiko sebelumnya yang membingungkan gambaran klinis. Jika terdapat hubunfan kuat antara pemberian obat dan onset DE, pengobatan lain sebaiknya dipertimbangkan. Namun umum dilakukan di klinik untuk menambah pengobatan DE tanpa melakukan perubahan banyak pada pengobatan suatu penyakit, karena mungkin sulit untuk menegakkan peran kausal dari suatu obat terhadap DE.

Pendekatan Pada Pasien Disfungsi Ereksi.

Hubungan dokter-pasien yang baik membantu untuk mendapatkan kemungkinan penyebab DE, dimana banyak membutuhkan diskusi masalah privasi dan biasanya topic yang memalukan. Riwayat medis dan seksual lengkap sebaiknya didapatkan sebagai usaha untuk menilai apakah DE karena sebab organic, psikogenik, atau multifactor. Pertanyaan pertama sebaiknya memusatkan perhatian pada onset gejala, adanya dan lamanya ereksi jika masih bisa terjadi, dan perkembangan dari DE. Riwayat ereksi nocturnal atau pagi hari berguna untuk membedakan fisiogik dari psikogenik. Ereksi malam hari yang terjadi selama tidur REM (Rapid Eye Movement) membutuhkan sistem neurologist dan sirkulasi yang utuh. Penyebab DE organik biasanya ditandai dengan adanya perubahan perlahan dan menetap dalam ketegangan atau ketidakmampuan untuk mempertahankan ereksi nocturnal, coital (pada saat coitus), atau ereksi diprovokasi sendiri. Pasien sebaiknya ditanyai mengenai adanya pembengkokan penis atau nyeri pada saat koitus. Penting juga untuk menanyakan tentang libido, karena penurunan hasrat sex dan DE merupakan tanda awal dari abnormalitas endokrin (misal. peningkatan prolaktin, penurunan kadar testosterone). Tanyakan juga apakah masalahnya terjadi terbatas hanya pada satu partner sexual karena DE tidak jarang terjadi berkaitan dengan adanya hubungan partner sex baru diluar pernikahan. DE situasional yang berlawanan dengan DE konsisten, menandakan adanya faktor psikogenik. Ejakulasi lebih jarang terlibat daripada ereksi, namun sebaiknya ditanyakan apakah ejakulasi normal, dini, tertunda, atau tidak ada. Faktor resiko relevan sebaiknya diidentifikasi seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner (PJK), dan gangguan neurologis. Riwayat operasi pada pasien sebaiknya dieksplorasi dengan menekankan pada prosedur bedah pada usus, saluran kemih, prostat, atau prosedur vaskulatur. Riwayat pengobatan lengkap juga penting digali. Perubahan sosial yang dapat memicu DE juga krusial dalam pemeriksaan, termasuk kekhawatiran akan kesehatan, kematian pasangan hidup, perceraian, pertengkaran rumah tangga, dan permasalahan financial.

Gambar I. Skema hubungan dokter-pasien DE

Karena DE sering melibatkan faktor resiko sel endothelial, pria dengan DE dilaporkan memiliki insiden yang lebih tinggi terkena myocardial infark silent atau terselubung. Karenanya, pria DE tanpa gejala penyakit jantung tetap juga dicurigai memiliki gangguan vaskuler termasuk PJK.

Pemeriksaan fisis merupakan elemen yang penting dalam penilaian DE. Tanda hipertensi begitu pula dengan penyakit tiroid, hati, hematology, kardiovaskuler, atau ginjal sebaiknya dicari. Pemeriksaan sebaiknya melibatkan sistem endokrin-vaskuler, genital, dan kelenjar prostate. Penis sebaiknya dipalpasi dengan seksama di sepanjang korpora untuk mendeteksi adanya plak fibrotik. Berkurangnya ukuran testis dan hilangnya tanda seksual sekunder merupakan tanda dari hipogonadisme. Pemeriksaan neurologist sebaiknya mengikutkan penilaian tonus sphincter ani, refleks bulbocavernosus, dan memeriksa adanya neuropati perifer.

Walaupun hyperprolactinemia jarang terjadi, kadar prolaktin sebaiknya diperiksa karena penurunan libido dan/atau disfungsi ereksi merupakan gejala prolaktinoma atau lesi massa lain pada sella. Kadar testosterone serum sebaiknya diukur dan, jika rendah, gonadotropin sebaiknya diukur juga untuk menentukan apakah hipogonadisme primer atau sekunder (berasal dari hipotalamus-talamus). Jika sudah lama tidak dilakukan, pemeriksaan kimia darah, darah rutin, dan profil lipid dapat bernilai, karena dapat mengumpulkan informasi adanya anemia, diabetes, dan penyakit sistem lainnya yang berkaitan dengan DE. Penentuan prostate specific antigen (PSA) pada serum sebaiknya dilakukan berdasarkan panduan klinis kelainan prostate.

Pemeriksaan penunjang jarang dibutuhkan pada pemeriksaan DE. Namun, pada beberapa pasien tertentu, pemeriksaan khusus dapat memberikan panduan terhadap mekanisme patologis pada DE dan membantu pemilihan opsi terapi. Pemeriksaan penunjang khusus termasuk (1) Pemeriksaan pembesaran penis nocturnal dan ketegangannya, (2) Pemeriksaan vaskuler (injeksi zat vasoaktif, USG Doppler pada penis, angiography penis, infuse cavernosography dinamis/cavernosometri), (3) Pemeriksaan neurologist ( persepsi getaran biothesiometry, somatosensorik); dan (4) Pemeriksaan psikologis diagnostic. Pemeriksaan ini pasti seimbang antara biaya dan dalamnya informasi yang potensial didapatkan.

Disfungsi Seks Pria : Terapi

Edukasi Pasien

Memberikan edukasi pada pasien dan partnernya penting dalam menangani DE. Dalam terapi sukses, edukasi dapat memfasilitasi pemahaman mengenai penyakit, hasil pemeriksaan, dan pemilihan terapi. Diskusi pilihan terapi membantu mengklarifikasi pada keadaan apa suatu terapi diberikan dan menyusun terapi lini kedua dan pertama. Pasien dengan permasalahan pola hidup beresiko tinggi, seperti merokok, penyalahgunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, sebaiknya dikonsul bahwa faktor ini dapat berperan dalam perkembangan DE.

Obat Oral

Sildenafil (Viagra), tadalafil (Cialis), dan vardenifil (Levitra) merupakan agen oral efektif dan yang diakui untuk pengobatan DE. Ketiga pengobatan ini telah berkembang secara signifikan dalam pengobatan DE karena mereka efektif untuk menangani secara luas dari penyebabnya, termasuk psikogenik, diabetic, vasculogenik, postradical prostatektomi, dan cedera medulla spinalis. Mereka termasuk golongan pengobatan yang selektif dan penghambat potensial PDE-5, phosphodiesterase isoform yang dominant ditemukan pada penis. Obat ini diberikan dalam dosis yang gradual dan memperbaiki ereksi setelah stimulasi seksual. Onset aksi ini berlangsung sekitar 60 – 120 menit, tergantung dari pengobatan yang digunakan dan faktor lain yang berpengaruh seperti pola makan terakhir. Dosis inisial yang kurang diberikan pada pasien lanjut usia, sedang menjalani pengobatan alpha blocker, memiliki insufisiensi renal, atau yang dalam pengobatan yang menhambat jalur metabolisme CYP3A4 pada hati (misal., erythromycin, cimetidine, ketoconazole, dan, kemungkinan, itraconazole dan mibefradil), karena mereka dapat meningkatkan konsentrasi PDE-5 inhibitor atau menyebabkan hipotensi. Suplemen testosterone dikombinasikan dengan PDE-5 inhibitor dapat bermanfaat dalam memperbaiki fungsi ereksi pada pria hipogonad dengan DE yang tidak berespon dengan PDE-5 inhibtor saja. Obat ini tidak mempengaruhi ejakulasi, orgasme, atau hasrta seksual. Efek samping yang berhubungan dengan PDE-5 yaitu sakit kepala (19%), wajah merah merona/flushing (9%), dyspepsia (6%) dan kongesti nasal (4%). Sekitar 7% pria yang mengkonsumsi sildanefil dapat mengalami perubahan penglihatan warna transient (blue halo effect), sementara 5% pria yang mengkonsumsi tadalafil mengalami nyeri pada penis. Kontraindikasi PDE-5 inhibitors adalah terapi nitrat (yang diberikan lewat oral, siblingual, atau topical) pada pasien penyakit jantung. Agen ini dapat mengeluarkan efek hipotensinya dan dapat menyebabkan shock yang sangat serius. Begitupula pada amyl/butyl nitrat memiliki sinergestik fatal pada efeknya terhadap tekanan darah. PDE-5 inhibitors sebaiknya dihindari pada pasien dengan gagal jantung kongestif dan cardiomyopati karena adanya resiko kolaps vaskuler. Karena aktivitas seksual dapat meningkatkan penggunaan kalori fisiologis [5–6 metabolic equivalents (METS)], dokter dianjurkan untuk memberikan peringatan terhadap pemakaian obat untuk aktivitas seksual pada pasien dengan penyakit koroner, gagal jantung, hypotensi borderline, dan hypovolemia, dan pemakian regimen antihypertensive..

Walaupun diantara 3 PDE-5 inhibitors memiliki mekanisme yang sama, terdapat sedikit perbedaan diantara 3 agen ini. Telah lama tersedia di pasaran, sildenafil memiliki banyak data yang menyatakan aktivitas, keamanan, dan toleransinya. Obat ini baru-baru saja digunakan untuk hipertensi pulmoner. Tadalafil mempunyai keunikan dalam waktu panjang yang lama. Semua tiga jenis obat ini efektif untuk pasien DE dengan umur, keparahan, dan penyebab apapun. Walaupun terdapat perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik diantara obat ini, perbedaan klinis yang relevan tidak jelas.

Gambar II. Viagra, pil biru "sakti" yang mengandung sildenafil

Terapi Androgen

Terapi penggantian hormon testosterone digunakan untuk mengatasi penyebab primer dan sekunder hipogonadisme. Suplemen androgen pada keadaan testosterone yang normal tidak efektif dan tidak dianjurkan. Metode dari terapi ini yaitu dengan plaster (patch) dan gel transdermal, pemberian parenteral dari testosterone ester long-acting (enenthate dan cypionate), dan sediaan oral (17 -alkylated derivatives). Pemberian testosterone transdermal menggunakan patch atau gel (50-100mg/d) lebih mendekati kadar testosterone fisiologik. Pemberian 200-300mg intramuskuler setiap 2-3 minggu memberikan pilihan lain namun jauh ideal daripada terapi penggantian fisiologis. Sediaan androgen oral memiliki potensi hepatotoxic dan sebaiknya dihindari. Pria dengan kanker yang sensitive dengan androgen (mis. Kanker prostat) merupakan kontraindikasi untuk terapi testosterone dan tidak cocok juga diberikan pada pasien dengan obstruksi kantung kemiih (buli-buli). Dianjurkan untuk mengukur kadar PSA sebelum melakukan terapi testosteron. Fungsi hati sebaiknya diperiksa sebelum dan selama terapi testosterone berjalan.

Vacuum Constriction Devices

Vacuum constriction devices (VCD) merupakan peralatan terapi noninvasine yang tersedia. Alat ini merupakan pilihaan terapi untuk pasien yang tidak mau mengkonsumsi sildenafil atau tidak menginginkan intervensi lainnya. VCD mengalirkan darah vena menuju ke penis dan menggunakan semacam cincin penjepit untuk menahan aliran darah balik sehingga mempertahankan ereksi. Efek samping pemakaian VCD adalamah nyeri, kesemutan, memar, dan gangguan ejakulasi. Sebagai tambahan, kebanyakan pasien mengeluhkan alat ini sulit digunakan dan ereksi yang ditimbulkan memiliki penampakan dan rasa yang tidak fisiologis.

Gambar III. Contoh alat VSD yang tersedia

Alprostadil Intraurethral

Jika pasien gagal berespon terhadap terapi oral, pilihan berikutnya adalah intrauteral atau injeksi zat vasoaktif. Prostaglandin E1 intraurethral, dalam bentuk butir semisolid (dosis 125 – 1000 g), diberikan melalui sebuah aplikator. Sekitar 65% pria yang melakukan alprostadil intraurethra berespon dengan ereksi jika dilakukan di klinik, namun hanya 50% dari mereka yang berhasil melakukan coitus dirumah. Insersi intraurethral berkaitan dengan penurunan insiden priapismus dibandingkan injeksi intracavernosal.

Injeksi Intracavernosal

Injeksi formula sinteti alprostadil efektif pada 70-80% pasien DE, namun penghentian pemakaian selalu terjadi karena sifat yang invasive pada pemberiannya. Rentang dosisnya antara 1 dan 40 g. Terapi injeksi ini dikontraindikasikan untuk pria dengan riwayat hipersensitivitas terhadap obat tersebut dan pria yang beresiko priaprismus (keadaan hypercoagulable, penyakit sickle cell). Efek samping termasuk efek lokal seperti, ereksi berkepanjangan, nyeri, dan jaringan parut pada pemakaian lama. Kombinasi beragam alprostadil, phentolamine, dan/atau papaverine seringkali digunakan pula.

Operasi

Bentuk terapi yang lebih jarang digunakan untuk DE adalah operasi implantasi prosthesis penis semirigid atau yang dapat mengembang. Terapi pembedahan ini bersifat invasif dan memiliki banyak komplikasi. Biasanya diberikan pada pasien DE yang refrakter. Walaupun harga yang sangat mahal dan invasif, prostheses penis memiliki angka kepuasan pasien dan partner sexnya yang tinggi.

Gambar IV. Prosthesis penis yang ditanam didalam penis

Terapi Sex

Suatu pelatihan terapi sex dapat berguna untuk memperbaiki faktor interpersonal yang mungkin mempengaruhi fungsi sexual. Terapi sex biasanya mencakup diskusi dan latihan tertentu untuk pasien dan pasangannya. Terapi ini lebih baik dilakukan bersama dengan pasangan, jika pasien memiliki hubungan yang intim.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

FDA approved mens health medication viagra is not a drug to be taken lighliy you should read all about the pros and cons regarding the medication before you buy viagra!eig